Armita menangis sesegukkan hingga matanya bengkak dan kepalanya berdenyut nyeri. Dia berusaha melepaskan segala hal yang mengganjal semenjak terbangun tiba-tiba di usianya yang ke dua puluh tujuh tahun. Hingga detik ini di benaknya, dia masih Armita tujuh belas tahun yang sibuk bermain bersama tiga sahabatnya dan sibuk menyelesaikan tugas akhir sekolahnya sebelum UN lalu ujian masuk universitas.
Ada sepuluh tahun yang berlalu begitu saja, apa yang terjadi pada sepuluh tahun itu sehingga segala hal yang dia kenali berubah begitu drastis? Ibunya, ayah tirinya, tiga sahabatnya, laki-laki yang bernama Ezra, bahkan adiknya Anindya yang lebih seperti teman ketimbang saudara.
Armita menyeka air matanya. Dia beranjak ke lemari, mengambil pakaian apa saja yang dapat menutupi badannya lalu memasukkannya ke dalam duffel bag yang Ezra bawa dari rumah sakit. Dia mengambil obat-obatan yang berada di nakas lalu ikut memasukkannya ke dalam tas itu. Terakhir, mengambil jaket milik Ezra lalu menyampirkannya ke badannya.
"Mita." Ezra terpaku melihat penampilan acak-acakan wanita itu dan tas besar yang berada di tangan kanannya. "Kamu mau ke mana?"
"Aku mau pulang." Armita bertekad untuk melewati pria itu, dia ingin kembali ke tempat-tempat yang dia kenali. Bukan rumah ibunya, bukan apartemen, bukan pula rumah ini.
"Rumah kamu di sini, Mit!" Ezra merasa seperti de javu, kejadian yang sama seperti ini pernah berulang sebelumnya, membuatnya tanpa sadar terhenyak dan menyadari ada berbagai hal berantakan yang juga terjadi pada hidupnya sebelum Armita kehilangan ingatannya.
"Ini bukan rumah gue." Armita menggeleng. Matanya mencari ke ruang tamu, tidak ada lagi ibu mertuanya, wanita yang tadi sempat menampar pipinya. "Gue ngerti kenapa kita mau cerai," Armita tersenyum getir. "Gue udah nemuin, senggaknya satu di antara sekian alasan lain."
"Mita!" Ezra memanggil namanya gusar. "Aku udah jelasin ke mama, kamu lagi sakit."
"Gue kehilangan ingatan, Ezra. Bukan berarti gue kehilangan akal." Armita bersikeras. "Di sini bukan tempat gue."
"Terus tempat kamu di mana? Rumah kamu sama ibu kamu?" Nada suara Ezra terdengar biasa saja, tetapi entah kenapa di telinga Armita pria itu seolah tengah mendecih dan mengejeknya.
Armita tahu betul bila tempat itu juga bukan rumahnya. Rumah yang megah dengan halaman luas itu terlalu ganjil baginya, baik di sana maupun di sini, dia tidak tahu di mana tempatnya yang sebenarnya. "Gue mau kembali ke tempat yang gue kenali. Bukan di sini, bukan juga di sana."
"Udah malam, Mita." Ezra berusaha bernegosiasi kembali, berusaha menyadarkan wanita itu. Dia mungkin brengsek dan membenci wanita yang ada di hadapannya ini, tetapi sebagai manusia, tentu saja dia tidak bisa membiarkan Armita berkeliaran di luar sana ketika wanita itu tengah kehilangan ingatannya.
Armita menangis, tangan kirinya yang terbalut gips mengusap pipinya yang basah dengan air mata yang bercucuran. "Aku mau pulang."
Ezra terpaku. Wanita culas ini berani sekali mengeluarkan air matanya dengan percuma hanya karena penolakan sekali yang ia berikan. Ia kembali teringat saat di mana wanita itu menangis tersedu-sedu di rumah sakit tanpa henti lalu kemudian memberikan sebuat jelangkung untuknya. Ezra menarik napas dalam, tahu dari pengalamannya yang singkat bila wanita itu akan terus menangis bila tidak ada hal yang bisa mengalihkan perhatiannya saat ini.
Mata wanita itu sudah membengkak sebesar bakso dan mungkin akan terus membesar bila dia tidak berhenti menangis. "Mit, jangan nangis ya." Ezra berusaha membujuk wanita itu, teringat gegar otak ringan yang wanita itu alami. Menangis berlebihan bisa membuat wanita itu sakit esok hari.
"HUAA .... " Armita malah menangis semakin keras.
Ezra memijit keningnya yang tiba-tiba pening, wanita itu kembali seperti bocah lima tahun, tidak tujuh belas tahun, apalagi wanita yang ia nikahi selama ini. "Oke, oke, aku antar kamu ke rumahmu." Entah rumah yang mana, Ezra pun tak tahu, dia hanya ingin wanita itu segera berhenti menangis.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Missing Years | ?
Mystery / ThrillerArmita tiba-tiba terbangun di usianya yang ke dua puluh tujuh, meski memori terakhirnya berada di usianya yang ke tujuh belas tahun, sepuluh tahun yang lalu. Di usianya yang ke dua puluh tujuh, Armita seperti tidak bisa mengenali dirinya sendiri. Di...