抖阴社区

Part 4

1.2K 131 6
                                        

/Bruk/

"KAU HANYALAH AIB BAGI KELUARGA INI!"

/Duagh/

"JIKA PARA TETANGGA TAHU, BAGAIMANA TANGGAPAN MEREKA TENTANG KITA, HAH?!"

/Sret/

"MEREKA AKAN MENGUCILKAN KITA, MENGANGGAP KITA LAYAKNYA SAMPAH DAN DERAJAT KITA AKAN TURUN SAMPAI-SAMPAI SEPERTI PENGEMIS! KAU MAU ITU, HAH?!"

/Plak/

/Pyar/

/Bruk/

/Ceklek/

/BRAK/

Jaemin meringkuk dengan air mata yang tiada berhenti mengalir dari kelopaknya. Ayahnya baru saja datang dan langsung menghajarnya habis-habisan.

Tidak tahukah ayahnya jika tubuhnya sudah terasa remuk?

Tubuhnya hampir mati rasa dan kini ia tidak bisa bergerak lagi.

Jaemin hanya bisa meringkuk di atas lantai yang dingin, dengan darah dan air mata yang bercampur menjadi satu di lantai itu pula. Tiada isak tangis, hanya ada rintihan lirih yang terdengar. Terdengar begitu memilukan dan menyayat hati.

Ingin mengucapkan sebuah huruf saja tenaga yang ia punya tidak ada. Tenaganya terkuras habis. Satu mata masih bertahan walau dengan pandangan sayup-sayup. Namun, tak lama kemudian kedua mata itu kembali terpejam, dan mungkin untuk waktu yang lebih lama kali ini.

.•*¨*•.¸¸¸¸.•*¨*•.

Terhitung seminggu sudah Jaemin lewati dengan berat. Setelah hari di mana sang ayah memukulinya itu, kedua orang tuanya tidak lagi nampak di dalam rumah. Di rumah besar itu hanya ada dirinya seorang yang dalam keadaan sekarat.

Susah payah ia mencoba bangkit dan menguatkan diri serta hati. Mengobati luka-luka yang ada dengan teratur walau ringisan tak dapat dicegah keluar begitu saja dari mulutnya.

Senyum tipis mengembang, memberikan setitik harapan kepada lelaki Na tersebut saat melihat ponselnya yang banjir akan pesan dan panggilan tak terjawab dari sang sahabat– Haechan.

Setelah melihatnya, semangat dalam dirinya kembali hadir dan membuatnya bertekad untuk menyembuhkan diri sebelum berangkat ke sekolah. Ia harus menceritakan apa yang terjadi padanya seminggu ini kepada Haechan agar lelaki manis itu tidak khawatir akan dirinya yang tidak dapat dihubungi.

Namun, semua itu menguap entah ke mana saat Haechan Memberondongnya dengan banyak pertanyaan, ditambah dengan wajah lelaki manis tersebut yang memancarkan kekhawatiran yang sangat jelas.

"Maaf, Chanie... Nana seminggu kemarin ada di rumah nenek dan Nana juga lupa meminta izin. Maaf ya, membuat Chanie khawatir seperti ini."

Begitulah yang Jaemin katakan pada Haechan.

Haechan menghela napas lega mendengar ucapan Jaemin. Kedua tangannya ia tumpukan di pundak si lelaki Na dan memberikan sedikit remasan di sana.

"Berjanjilah padaku jika kau tidak akan seperti ini lagi. Aku benar-benar khawatir, Na Jaemin." ujarnya lantas memeluk Jaemin dengan begitu eratnya.

Jaemin balas memeluk Haechan dengan tak kalah eratnya. Dalam hati ia terus merapalkan kata maaf kepada sang sahabat karena sudah berbohong.

Hatinya sakit melihat Haechan yang begitu khawatir akannya. Ia tidak mau membuat Haechan semakin panik dan cemas akan dirinya sehingga ia rela berbohong pada sang sahabat tentang apa yang sebenarnya terjadi.

"Maafkan aku, Chanie."

.•*¨*•.¸¸¸¸.•*¨*•.

"Oh, sudah berani berangkat sekolah, ya?"

"Sudah menjadi pelacur, huh?"

Jaemin berjengit kaget mendengar suara kedua orang tuanya yang bersahut-sahutan. Dengan takut-takut ia mendongakkan wajahnya secara perlahan, dan saat melihat wajah ayahnya, sebuah tamparan keras mendarat mulus di pipinya hingga ia terpelanting.

Lagi, siksaan itu harus ia terima lagi.

Pukulan, tendangan, tamparan, caci-makian, semua itu kembali ia dapat dan rasakan.

Baru saja dirinya bisa leluasa bepergian dengan luka luar yang sudah mengering, namun sekarang apa? Ia harus menelan pil pahit jika sekarang kondisinya bahkan lebih parah dari sebelumnya.

Jaemin tidak bisa berucap apa pun lagi, dirinya hanya bisa menangis dan berteriak kesakitan. Kedua orang tuanya sudah tidak mempercayai dirinya lagi, jadi semua ucapannya tidaklah akan berguna. Semuanya akan terdengar seperti omong kosong bagi mereka.

Lelah, marah, kesal, kecewa menjadi satu dalam diri sosok Na Jaemin.

Ia tidak menyangka jika di dalam hidupnya, ia akan mengalami kejadian mengerikan seperti ini. Kejadian yang tidak akan pernah bisa ia lupakan seumur hidupnya. Kejadian yang akan terus berputar dalam memorinya, dan menghantui dirinya.

Ini sudah tiga hari sejak dirinya dihajar habis-habisan dan kemudian dibuang layaknya kantung sampah ke dalam kamarnya. Pintu kamarnya memang tidak terkunci, tapi apa gunanya hal itu jika ia saja tidak bisa bangkit dari posisinya saat ini?

Mereka meninggalkan dirinya sendirian, lagi. Tanpa makan dan minum, seharian hanya bisa menangis dan merintih di atas lantai yang dingin tanpa suatu gerakan yang berarti.

Genangan darah sudah mengering di bawah tubuhnya. Itu bahkan tampak seperti danau kecil.

Banyak kali ia berpikir apakah ini takdir yang dituliskan Tuhan untuknya. Tapi, mengapa begitu menyedihkan dan menyakitkan seperti ini?

Ini...

Tidak bisakah kedua orang tuanya menerima apa pun yang ada pada dirinya?

Tidak bisakah mereka tidak selalu menuntut kesempurnaan? Manusia itu tidak selalunya sempurna, dan kenapa mereka menuntut hal itu padanya?

Ia sudah menurut sedari kecil. Sudah menuruti apa pun kemauan kedua orang tuanya. Bahkan bisa dibilang jika ia itu bagaikan robot untuk orang tuanya. Robot yang dibuat untuk suatu keuntungan di masa depan, robot yang akan membuat mereka semakin tinggi dan tinggi lagi.

Dan... Dan apakah ini balasan yang diterima robot saat melakukan satu kesalahan?

Apakah ini balasan bagi robot penurut yang layaknya budak selama ini?

Tidak bisakah kedua orang tuanya mengerti dirinya jika inilah takdir yang mungkin telah Tuhan tuliskan untuknya dan harus ia jalani dengan lapang dada? Walau ia tidak mau, tapi jika sudah takdir mau bagaimana lagi? Bisakah ia menentangnya?

Bisakah ia menentang kehendak Tuhan?

Dan jawabannya tentu saja tidak!

To be continued

[2] My First And Last || Nominren ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang