Siang hari ini ditemani hujan rintik dan sedikit cahaya matahari memancar. Aku menunggu Bunisora dan Giri Dewata, untuk berbicara mengenai hal yang terjadi selama perjalanan saat penjemputan hari itu. Dua pelayan itu mengantarkan paman dan sepupuku ke dalam ruang tamu istana. Mereka pun duduk di hadapanku setelah memberikan hormat.
"Bagaimana kabar kalian?" tanyaku basa-basi sebelum pembicaraan inti.
Bunisora menarik sedikit bibirnya membentuk senyuman. "Sekarang aku mengerti apa yang sedang kau lakukan."
Aku tersenyum. "Apa mereka merusak kereta delmanmu?"
"Hanya mengecek keberadaanmu. Mereka benar-benar mengincarmu."
"Apa yang dia lakukan pada kalian? Apakah pria itu bekerja sama dengan mereka untuk membunuh kalian?" tanya Giri Dewata.
Bunisora menepuk pundaknya. "Jangan terlalu dipikirkan."
"Hal yang biasa bagi para bangsawan untuk saling menjatuhkan satu sama lain."
"Ah menyebalkan," gerutu Giri Dewata.
"Kalian semua berhati-hatilah. Mereka bisa saja menyerang Sunda tanpa kita sadari. Tetap waspada," ucapku, sebagai pengingat.
***
Dua hari berlalu.
Seperti biasa, aku hanya berdiam di kamar ayahku sambil membantunya menguatkan diri. Aku selalu berharap mereka hidup dengan baik dan sehat sampai tua nanti. Bahkan jika aku sudah memiliki cucu pun, aku ingin mereka tetap hidup. Jika dipikirkan kembali, masa-masa mereka hidup dengan baik membuatku terpukul. Kenapa mereka harus mengalami kejadian seperti ini?
"Citraresmi."
"Ya, Ayahanda?" sahutku terhadap panggilannya.
Perlahan, tangan yang gemetar itu merayap ke atas telapak tanganku. Ia mengusapnya pelan. "Kau harus ... menjadi seseorang ... yang kuat," ucapnya terbata-bata.
"Apa Ayahanda butuh dipanggilkan Tabib?"
"Tidak."
Aku memurungkan ekspresiku. "Aku masih ingat, saat aku kembali membuka mata setelah tidur terlalu lama, Ayahanda sangat panik sampai memanggilkan Tabib. Aku akan selalu mengingat kebaikan hati Ayahanda."
Pria itu tersenyum kecut. Air matanya muncul dari sudut matanya. "Kau itu ... putriku."
Sekarang gue harus terima kenyataan bahwa mereka tetep orang tua gue walaupun beda dimensi.
"Ayahanda, aku sangat senang ketika Ayah mengizinkanku belajar ilmu bela diri. Di saat Ibunda menentangku, Ayah selalu mendukungku. Ayahanda adalah sosok ayah yang diidamkan semua putrinya di dunia ini. Aku tidak pernah merasa terkekang oleh Ayah."
"Itu ... kewajibanku."
Aku tersenyum. "Ayahanda, aku sangat mencintaimu."
Gue belum pernah bilang kayak gini sebelumnya ke orang tua asli gue. Malu emang, tapi gimana pun juga, Prabu Lingga Buana ini sayang banget sama gue, Citraresmi. Nggak ada salahnya gue sebagai putrinya buat bilang kayak gitu, kan?
"Aku lebih mencintaimu, Putriku."
Setelah itu, kami dilanda keheningan. Aku hanya memandang wajahnya yang bersinar sambil tersenyum. Tak sadar, aku juga membalasnya. Rasa sedih itu kusimpan di dalam dada hingga sesak. Aku tidak boleh lemah lagi di hadapan ayah seperti kemarin.
Matanya pelan-pelan menutup. Genggaman tangannya melonggar. Aku kembali menggenggam tangannya. Menciumi punggung tangan yang sudah lemas itu.
"Ayahanda!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Change The History [Revision] ?
Historical FictionKalian percaya reinkarnasi itu ada? Tidak? Aku juga awalnya begitu. Aku sangat penasaran tentang memori yang bermunculan di otakku hingga aku memutuskan untuk kuliah jurusan Ilmu Sejarah. Beberapa kali, aku merasakan de javu saat dosen menerangkan s...