Cerita Kita
***
Hari itu, Citraresmi benar-benar mati di pelukannya karena melindunginya. Tubuh mungilnya terkulai lemas di atas tubuhnya. Walaupun begitu, tubuhnya masih hangat dan napasnya masih terasa nyata. Setelah mengatakan sesuatu, perempuan itu menutup matanya untuk selamanya. Ia sudah menghabisi Prameswari yang sudah membunuh istrinya dengan menebas kepalanya. Patih Madu yang berdiri tak jauh darinya mulai mendekat. Para prajurit berhenti dan menyerah melihat pemimpin mereka berguguran. Para bangsawan juga, sebagian hidup dan sebagian mati. Yang paling jelas adalah, para pendukung Mahapatih yang mati.
"Patih Madu, tolong penggal kepala para pengkhianat. Pajang kepala mereka di belakang istana dengan nama mereka, baru kuburkan mereka dengan tidak hormat."
Begitulah perintah sang pemimpin yang telah kehilangan banyak orangnya. Para pengikutnya, bawahannya, dan juga cinta sejatinya. Ia tidak pernah bercita-cita untuk menghadapi perang seperti ini. Ia juga tidak berharap adanya pemberontakan dari para bangsawan yang tidak menyetujui pernikahannya dengan Dyah Pitaloka Citraresmi.
Setelah membereskan istana, Hayam Wuruk mengatur pemakaman untuk istrinya. Ibu dan ayahnya sama terpukulnya seperti dirinya.
"Patih, ganti pemakaman para pemberontak. Buang saja mereka ke jurang di pegunungan. Biarkan mereka membusuk di sana."
Patih mematuhinya. Ia langsung membawa jasad para bangsawan itu menuju keluar istana.
Semua orang sedang berkabung.
***
Satu bulan berlalu.
Hayan Wuruk melalui hari-harinya yang berat. Perlahan, ia mulai bangkit lagi dan Majapahit kembali bersinar. Ia melakukan pekerjaannya seperti biasa dengan lukisan istrinya yang dipajang di dinding yang bisa dijangkau oleh matanya. Ketika ia lelah, ia akan memperhatikan lukisan itu dengan cermat.
"Istriku, kau sedang apa? Aku memiliki banyak tugas. Tolong bantu aku."
Semilir angin menembus kulitnya seakan istrinya menjawab pertanyaannya. Ia terus-terusan berharap bahwa ia bisa kembali bertemu dengan Citraresmi. Ia juga mengingat janji yang sudah mereka buat untuk bertemu di Candi Bajang Ratu.
Ya.
Hayam Wuruk langsung bangkit dan menyimpan pekerjaannya. Ia langsung berlari keluar ruangan dan mencari pelayan. Ia memerintahkan untuk menyiapkan satu kuda untuknya pergi. Ia benar-benar harus ke sana.
Ia pun berangkat menunggangi kuda dengan cepat melesat pergi. Ia tidak memikirkan apapun, hanya rasa rindu yang semakin menggunung di dalam hatinya. Kerinduan itu bahkan tidak bisa dikalahkan dengan betapa luasnya galaksi bima sakti ini. Ia sudah sangat ingin bertemu dengan istri tercintanya.
Candi Bajang Ratu.
Ia pun turun dari kudanya dan berjalan masuk ke dalam. Ia melihat sebuah ruangan dengan kursi dan meja. Di atas meja ada dua gelas dengan satu teko berlapiskan emas. Ia pun berjalan perlahan dan duduk di salah satu kursi itu sambil menangis. Ini tempat persembunyian yang sempurna.
WUSH.
Angin itu membawa jiwa Raden Wijaya menampak di hadapan Hayam Wuruk. Jantungnya tiba-tiba akan melompat dari tempatnya melihat seseorang muncul di hadapannya.
"Si--siapa?!" tanyanya dengan tegang.
Raden Wijaya tersenyum. "Aku, Raden Wijaya."
"Kakek?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Change The History [Revision] ?
Historical FictionKalian percaya reinkarnasi itu ada? Tidak? Aku juga awalnya begitu. Aku sangat penasaran tentang memori yang bermunculan di otakku hingga aku memutuskan untuk kuliah jurusan Ilmu Sejarah. Beberapa kali, aku merasakan de javu saat dosen menerangkan s...