"Mas Bram juga diberi tugas untuk segera membuat putrinya Putra Adiswara hamil, kan? Ambil saja kesempatan itu, Mas. Lalu, buat dia sengsara. Habis itu, kita bisa lebih fokus untuk menghancurkan Putra Adiswara. Setahu saya, wanita yang hamil jauh lebih rapuh."
"Kita tidak bisa tergesa-gesa, Dam."
"Saya tidak memaksa Mas Bram untuk tergesa-gesa. Lebih cepat itu lebih baik, Mas. Saya udah gak sabar lihat Putra Adiswara hancur. Kalau bisa sekalian menderita karena melihat putrinya yang sengsara. Supaya dia bisa merasakan bagaimana sakit yang saya dan Bunda Ira rasakan, saat melihat putri kami tersiksa dan mati begitu saja."
"Tidak ada. Paling tidak Papa kamu tahu kalau tiket yang sudah dipesannya tidak terbuang sia-sia di tong sampah." Bram akhirnya menjawab setelah cukup lama diam karena memorinya dibawa kembali ke pembicaraanya dengan Adam tadi siang.
Kini, Mita yang bungkam. Ia tak tahu harus membalas apa. Kepalanya dipenuhi oleh gambaran waktu yang harus dihabiskannya selama di Santorini dengan kehampaan yang sama seperti sekarang. Karena perjalanan bulan madu mereka bukanlah untuk bulan madu yang sesungguhnya.
"Kamu tidak akan menyentuh saya sedikit pun?"
Bram tak bisa memahami isi kepala Mita saat ini. Mengapa selalu ada pertanyaan aneh yang gadis itu lontarkan?
"Sepertinya kamu butuh istirahat," saran Bram, bermaksud menyudahi pembicaraan ini. Ia pun bergerak meninggalkan meja makan. Namun, Mita dengan cepat meraih pergelangan tangannya, menahannya untuk pergi.
"Boleh saya ajukan satu pertanyaan lagi?"
Kening Bram mengkerut bingung. Bola matanya berputar malas. Dengan ia yang tak berupaya melepaskan genggaman Mita dari pergelangan tangannya, secara tidak langsung ia memberikan izin.
"Siapa nama anaknya Bunda Ira, sahabat dekat kamu itu?"
...
Jam 1 pagi, Mita sudah membuat dapur menjadi lebih berantakan. Ia berniat memasak bekal sarapan untuk ia makan bersama Bram selama perjalanan ke bandara. Penerbangan mereka ke Santorini terlalu pagi. Ia takut tak sempat sarapan.
Ia yang pada dasarnya tidak tidur pun menguap sepanjang waktu. Matanya yang sudah memerah sampai berair karena menahan kantuk.
Mita berusaha mengingat apa saja yang bisa ia ingat untuk membuat pikirannya tetap segar. Hingga akhirnya ia teringat pada hal yang terakhir kali ia bicarakan dengan Bram semalam.
"Namanya Valentino." Bram menarik tangannya dari genggaman Mita secara perlahan. Lantas menyembunyikan kedua tangannya di dalam saku celana. "Kenapa menanyakannya?"
Mita sempat diam sebelum menggeleng pelan, "Tidak, hanya bertanya. Boleh saya tahu, apa yang terjadi dengan dia? Bunda Ira kelihatan sangat sedih ketika membicarakannya di pesta kemarin."
"Gugur dalam operasi penyelamatan sandera di perbatasan Thailand."
Jawaban itu menjadi yang terakhir sebelum Bram beranjak dengan cepat untuk masuk ke dalam kamar. Seolah hendak menghindari pertanyaan Mita yang lain.
Hal itu membuat Mita beristirahat sejenak dan meraih ponselnya. Ia mengetikkan 'Misi Penyelamatan Sandera di Perbatasan Thailand' di kolom pencarian untuk membuktikan jawaban Bram.
Ribuan artikel muncul dalam sekejap. Beberapa menyematkan foto dokumentasi di bagian headline.
Mita membaca satu persatu artikel dengan konsentrasi penuh. Namun, ia tak menemukan satupun artikel itu menyebut nama Bram.
Hanya ada 'Komandan Bravo' yang tertulis sebagai pemimpin operasi penyelamatan itu dan disebutkan ada satu prajurit yang tewas tertembak oleh Kelompok Kriminal Bersenjata saat hendak menyelamatkan salah seorang sandera. Setelahnya, artikel tersebut mengatakan bahwa operasi tersebut dianggap gagal dan 'Komandan Bravo' yang bertanggung jawab sebagai pemimpin dicopot dari jabatannya dan diberhentikan secara tidak hormat.

KAMU SEDANG MEMBACA
4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]
RomanceKetika nominal empat miliar rupiah membuatmu mempermainkan kesakralan sebuah pernikahan. Ketika nominal empat miliar rupiah membuatmu rela kehilangan kehormatan demi mendapatkan hak yang sudah sepatutnya kamu dapatkan. Ketika nominal empat miliar ru...
:: Bab XXXI ::
Mulai dari awal