Karena interview memerlukan persiapan, Adam bergegas pamit. Sementara Nesa bersandar di sisi meja kerjanya, bersedekap seraya memikirkan cara tepat untuk membawa Bram kembali ke jalur mereka.
...
Memenuhi jadwal rapat, maka di sinilah Mita sekarang. Ia mendengarkan pemaparan materi dengan seksama. Kendati lirikannya tak berhenti menyasar satu bangku kosong di antara peserta rapat.
"Dimana Cheline?" bisiknya pada Sarah, yang duduk tepat di belakangnya.
Sarah sempat melirik ke arah yang sama, sebelum akhirnya mendekat. "Saya kurang tahu, Bu. Saya juga belum melihat beliau sejak pagi."
Mita menghela napas dengan kasar. Menahan kekesalan di tengah rapat jelas tidak menyenangkan.
Entah terbuat dari apa telinga wanita itu hingga semua peringatan darinya tak pernah dihiraukan. Jika saja ia punya bukti bahwa surat penunjukkan itu direkayasa, Mita pasti sudah bisa mendepak Cheline sejak kemarin agar wanita itu jera dan tak lagi mengabaikan tanggung jawabnya begitu saja.
...
Sebuah tas kulit ular asli dengan warna mencolok yang menarik perhatian dibawa oleh seorang perempuan. Dengan hati-hati, ia mengeluarkan tas tersebut dari dalam kotak lalu meletakkannya di atas meja. Tas itu pun berhasil menarik perhatian seorang wanita paruh baya yang sejak tadi mengangkat dagu dengan angkuh.
"Seandainya kita punya lebih banyak waktu untuk pergi bersama, mungkin saya bisa memahami selera Nyonya dengan lebih baik lagi. Mohon maaf sekali jika pilihan saya tidak masuk dengan selera Nyonya. Apabila Nyonya tidak suka, Nyonya bisa melihat koleksi yang lainnya."
Wanita paruh baya itu tak merespon. Hanya matanya yang bekerja meneliti tas cantik di hadapannya tersebut dengan mata setajam silet.
"Tas ini mungkin tidak semahal tas Nyonya yang lain. Tapi, warnanya yang unik pasti bisa membuat orang bertanya, 'Dimana Nyonya membeli tas ini?'."
Peraturan pertama, merendah untuk mendapatkan hati lawan.
Itulah yang Cheline lakukan sekarang. Tas dengan tag harga bertuliskan 2 digit angka dengan 9 angka nol yang mengekorinya itu ia ambil lalu ia perlihatkan di depan sang lawan bicara. Senyum manis menyertai untuk meyakinkan wanita di hadapannya.
"Bukankah warnanya sangat cantik, Nyonya?" pujinya, dengan mata berbinar seolah mengagumi benda yang ada di tangannya itu.
"Ini akan menjadi penarik perhatian yang pas untuk melengkapi style keseharian Nyonya yang elegan namun tetap sederhana."
Setelah memilih bungkam selama beberapa lama, wanita itu pun mengulurkan tangannya untuk mengambil alih tas tersebut.
Sayangnya, Cheline tak langsung memberikannya. Entah apa yang dia pikirkan hingga ia menaruh tas itu di atas pangkuan.
"Apa-apaan ini? Kamu tidak berniat memberikannya kepada saya?" tanya wanita itu. Suaranya sedikit meninggi, seolah tak terima dengan apa yang Cheline lakukan.
"Ah, bukan begitu. Hanya saja, saya perlu memastikan beberapa hal," dalih Cheline, kemudian mengembalikan tas itu kepada pelayan yang tadi membawakannya.
"Apa?" Wanita paruh baya itu pun menjawab ketus. Gengsi harus dijunjung setinggi mungkin.
"Anda bersedia untuk ada di pihak saya, kan?"
Seraya meraih cangkir teh-nya, Cheline bertanya. Ia menyesap selagi menunggu wanita di hadapannya mempersiapkan jawaban.
"Suami saya sudah menyuntikkan banyak sekali modal di perusahaan suami Nyonya. Setidaknya, di kondisi suami saya yang sekarang, dukungan anda dan suami anda pasti bisa membuatnya senang."

KAMU SEDANG MEMBACA
4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]
RomanceKetika nominal empat miliar rupiah membuatmu mempermainkan kesakralan sebuah pernikahan. Ketika nominal empat miliar rupiah membuatmu rela kehilangan kehormatan demi mendapatkan hak yang sudah sepatutnya kamu dapatkan. Ketika nominal empat miliar ru...
:: Bab LXII ::
Mulai dari awal