抖阴社区

:: Bab LXV ::

Mulai dari awal
                                    

"Baru saja. Dokter juga baru selesai memeriksanya dan bilang kalau kondisi Mas Putra akan segera membaik," jawab Anggi, begitu antusias. Berbanding terbalik dengan Ashraf yang tak menampakkan emosi apapun. Ia menyembunyikan apa yang bergemuruh di dalam dadanya dengan sangat baik.

"Begitu? Syukurlah. Senang... mendengarnya."

Anggi hanya manggut-manggut karena ia pikir Ashraf pasti sama bahagianya dengan dirinya. Namun, ia tidak mengenal Ashraf sebaik itu. Karena pada kenyataannya, kedua rahang Ashraf sudah mengetat keras. Menahan diri untuk tidak menggeram marah.

'Tua bangka ini tidak seharusnya sadar sekarang. Ini belum saatnya.'

...

Keduanya sampai di parkiran, dan Bram tak bisa menahan dirinya lebih lama. Ia hampir merosot jatuh jika saja Mita tidak dengan sigap menahannya.

"Bramasta!"

Berusaha keras, Mita berhasil membawa Bram masuk ke dalam mobil. Ia mendudukan pria itu di kursi penumpang dan tak lupa memasangkan sabuk pengaman.

Setengah sadar, Bram menahan Mita yang hendak beranjak ke kursi pengemudi, "Biar saya yang menyetir."

"Dengan keadaan kamu yang seperti ini? Saya belum mau mati," tolak Mita, kemudian melepaskan diri dari genggaman Bram.

Setelah mendapat posisi nyaman dan memastikan sabuk pengaman melingkari tubuhnya, Mita langsung tancap gas. Meski sudah lama tidak mengemudikan mobil sendiri, dasar-dasar mengemudi sudah tertanam bahkan di luar kepalanya.

Di sepanjang perjalanan yang hening dan tidak banyak suara, Bram melempar pandangan keluar. Kata-kata Felix sangat menampar dirinya.

"Ashraf memberi pengaruh yang tidak baik."

Felix terlihat percaya diri akan pernyataannya itu. Namun sedetik kemudian, ia menunduk lesu.

"Seandainya dia tidak diterima sebagai sekretaris Pak Putra, pasti semuanya bisa terkendali. Tidak ada nyawa yang melayang hanya untuk memenuhi ambisi salah satu pihak."

Jeda diberikan selama beberapa menit. Melupakan kesaksian Felix yang dinilai paling mengerti akan semua hal dibalik tragedi kebakaran itu, mereka pun menyantap makanan masing-masing. Walau harus ditemani pikiran yang terus bersuara, menyampaikan ribuan tanda tanya.

"Valerie adalah perempuan yang baik. Seandainya saya bisa memberikan perlindungan untuknya, dia pasti tidak akan berakhir begini."

Celetukan Felix sukses menarik Bram untuk mengangkat wajah. Felix menampilkan senyum tipis begitu tatapan mereka bertemu.

"Dia sudah seperti anak saya sendiri. Saya bahkan pernah berpikir untuk mengangkatnya sebagai kakak sambung untuk Juan."

"Kata-kata 'seandainya' tidak akan bisa mengembalikan nyawa seseorang," balas Bram pada akhirnya, terdengar dingin.

"Kalau dia tidak menjadi korban dalam tragedi itu, dia pasti bisa mewujudkan keinginannya untuk membangun rumah kayu untuk hidup bahagia bersama pria pilihannya dan keluarga kecil mereka di pinggir danau."

Sendok yang dipegang Bram seketika terjatuh. Tanpa ditanyakan, ia sangat hafal bahwa itu adalah keinginan terbesar Erie selama menjalin hubungan dengannya.

Tak bisa dipungkiri dirinya terkejut. Ia tak menyangka Erie dan Felix ternyata lebih dekat dari yang ia bayangkan.

"Setiap saya datang ke pabrik untuk melakukan audit, dia akan membuatkan kopi susu racikannya sebagai sogokan agar saya mau mendengarnya bercerita. Dia selalu cerita bahwa kekasihnya tidak seperti kekasih orang lain, hingga rasanya dia ingin menyerah dalam hubungan itu. Saya bahkan pernah melihat matanya membengkak, dia menangis semalaman karena merindukan dan mengkhawatirkan kekasihnya yang dikirim untuk misi khusus."

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang