Bersahabat dengan Brian memberikan kebahagiaan berbeda bagi Ben. Namun, tanpa sengaja dirinya menjadi tahu bahwa Brian ternyata penyuka sesama jenis.
Terlebih Ben tahu, sosok yang diam-diam disukai sahabatnya adalah dirinya. Ben murka dan merencanak...
Ini adalah hari ke tiga Ben tidak kuliah karena mencari Brian. Jalan provinsi yang dipenuhi kendaraan bermotor di jam produktif sama sekali tidak membuat lelaki itu urung untuk meneruskan pencariannya.
Lengket, berpeluh, disertai perut keroncongan yang protes minta diisi. Ben malas makan karena hilang sudah kenikmatan makan dan minum.
Di perjalanannya, Ben ingat kembali kata-kata Nika.
"Lo gak usah break-breakan sama Joey, langsung aja putusin dia karena gue yakin hati dan cinta Lo bukan buat dia. Jangan nyakitin Joey lebih jauh lagi."
Nika ada benarnya, Ben segera putar balik menuju kampus. Bukan untuk kuliah tetapi menemui Joey.
Alangkah lebih baiknya jika dia selesaikan masalah satu per satu. Dengan begitu, tumpukan masalah yang menggunung seperti sampah di tempat pembuangan akhir sedikit demi sedikit bisa berkurang.
Ben berlari dari parkiran menuju meja marmer bawah pohon kenari. Benar saja, dua orang yang dia cari ada di sana. Dia membatin, andai saja mencari Brian semudah mencari Nika dan Joey.
"Masih ingat jalan ke kampus, Lo?" sindir Nika. Ben sama sekali tidak menggubrisnya dia meraih pergelangan tangan Joey dan membawanya jauh dari Nika.
Joey sempat berontak, tetapi akhirnya patuh karena dia merasa percuma berontak pun. Perempuan itu pikir Ben berubah pikiran dan memilih dirinya karena tak tahan lama-lama Break.
"Joey, denger gue, Oke. Gue udah memutuskan dan udah punya jawaban. Lo denger baik-baik." Lelaki itu berucap. Dia tatap wajah Joey, mencari kesedihan dan penyesalan, untungnya Joey tersenyum sehingga membuat Ben semakin leluasa untuk mengungkapkan semuanya.
"Setelah jauh dari Brian, setelah jauh dari lo gue sadar bahwa yang gue butuhkan itu Brian, bukan lo. Sedikitpun gue gak pernah mikirin lo sejak lo nyatain kita break. Gue gak mau jika nanti gue putuskan untuk kembali menjalin hubungan dengan lo, gue masih nyakitin lo. Gue putuskan buat melepas lo sepenuhnya, gak perlu break seperti yang lo mau. Kita udahan aja, gue yakin di luar sana lo bisa dapetin cowok yang lebih baik dari gue. Sorry, Joey, dan makasih untuk waktu singkat yang indah yang Lo berikan buat gue."
"Ben, plis jangan begini, sorry gue udah cemburu. Jangan buang gue setelah lo ...."
"Ssstttt, gak ada yang buang Lo, Lo tetep sahabat gue kayak si Nika. Kita masih bisa ketemu dan kerjain tugas bareng kaya biasanya. Oke, Joey."
"Ben, gak bisa gitu, dong, Ben. Gue janji bakalan biarin Lo cari Brian, gue janji gak bakalan mengusik urusan Lo sama Brian asalkan Lo gak putusin gue kayak gini. Kita baru sebentar, kita belum jelajah dunia bareng-bareng kita belum–"
"Sorry, Joey," potong Ben. "Semua yang lo ingin lakuin itu, ingin gue lakuin bareng Brian. Gue sadar, rasa yang gue punya buat itu anak bukan sekadar rasa biasa."
Ben tersenyum tipis mengingat wajah Brian. Lalu dia mengangkat tangannya, meletakkan di kepala Joey, mengelusnya untuk yang terakhir kali.
"Pergilah, pacaran sama gue hanya akan bikin Lo darah tinggi, Joey, mending temenan. Oke. Jangan nangis, Lo jelek kalo nangis. Bilangin sama Nika gue cabut lagi."
Tangan yang ada di kepala Joey digerakkan hingga membuat rambut panjang perempuan itu kusut di bagian atas. Ben pergi dengan perasaan lega, tidak memedulikan Joey yang kini berlinang air mata.
"Dasar homo sialan!" teriak Joey dengan tangan gemetar dan terkepal.
Perempuan itu terduduk di rumput dan menangis pilu, "awas aja kalian, gue gak akan biarin kalian berdua hidup tenang."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.