抖阴社区

1. Di Depan Gereja Calvary Chapel.

Mulai dari awal
                                        

Putra keduanya adalah aku. Yang tidak sepatuh, sepintar, dan serajin seorang Syawal Alhakim. Jika ada sesuatu yang tidak kusukai atau bukan atas kemauanku sendiri, aku akan melawan. Paling tidak, aku akan menyuarakan apa yang aku rasakan. Salah satunya adalah memakai celana pendek ini. Larangannya tidak tertulis, tetapi jika Abi yang melihatnya, maka habislah aku. Abi akan memberi kultumnya sampai subuh.

Abi merupakan seorang dosen filsafat di salah satu kampus tiga besar di Indonesia. Seorang imam besar masjid di lingkungan kami sekaligus Ketua DKM. Seseorang yang begitu disegani oleh warga. Umi pun bukan orang sembarangan. Bidadari cantik yang turun ke bumi untuk menjadi ibuku itu terlahir dari sebuah keluarga yang sangat taat agama seperti keluargaku sekarang, tetapi keluarga Umi jauh lebih daripada itu. Orangtua Umi merupakan seorang alim ulama besar di Indonesia.

Singkat cerita, Umi dan Abi berjodoh, lalu memiliki dua putra yang sifatnya sangat berlawanan. Si bungsu ini bisa jadi sumber masalah, karena tak jarang aku terlalu keras membangkang Abi. Aku hanya ingin menjalani hidup dengan campur tanganku sendiri terutama ketika aku menginginkan sesuatu dan harus memutuskannya.

Abi sebetulnya ingin aku segera menyusul Bang Syawal ke Kairo untuk melanjutkan S2. Tetapi aku menolak. Sejak itu pula, aku tak jarang dibanding-bandingkan oleh Abi di hadapan keluarga besar dengan Bang Syawal yang berada jauh dari kami.

Dan dengan keputusanku, hanya aku seorang diri yang bukan lulusan Al Azhar di keluarga ini.

Selama memikirkan Bang Syawal, ternyata aku sudah mengendarai sepeda motor dan melaju menuju Gereja Calvary Chapel untuk menemui seseorang.

***

Di bawah matahari yang akhir-akhir ini sangat terik meski jarum jam baru menunjuk pukul 10 pagi, aku menunggunya. Ternyata aku terlalu awal dan begitu bersemangat ingin menemuinya hari ini. Sepertinya Olivia baru akan keluar dari Gereja sekitar setengah jam lagi.

Merasa sedikit jenuh, aku turun dari motor dan menghampiri seorang pedagang kaki lima yang menjajakan barang dagangannya di seberang Gereja. Seorang bapak-bapak yang aku perkirakan usianya tidak jauh berbeda dengan Abi, menjual es tebu murni.

"Pak, satunya berapaan?" Tanyaku begitu sampai. Si Bapak yang semula terduduk lesu kepanasan di balik gerobaknya terlihat sumringah. Aku melihat jelas senyumannya yang membuat garis keriput di wajah seketika lenyap.

"Satunya lima ribu aja, Mas."

"Saya mau dua ya, Pak."

Si Bapak langsung membuatkan pesananku. Beliau mengambil satu batang tebu utuh, lalu mengupasnya, dan memasukkannya ke dalam mesin penggiling. Sari tebu yang keluar sudah ditampung sebelumnya ke dalam sebuah wadah. Si Bapak mengambil gelas platik dan mengisinya dengan es batu. Sari tebu kemudian disaring dan dituang ke dalam gelas plastik berisi es batu tadi.

Aku menginterupsi pekerjaan si Bapak dengan mengajaknya bicara. "Kalau hari Minggu memang biasa mangkal di sini, Pak?"

"Iya setiap Minggu, Mas. Soalnya lumayan ramai kalau hari Minggu."

"Kalau hari biasa mangkalnya di mana, Pak?"

"Ke mana aja, keliling, Mas. Kadang juga di depan sekolahan."

Aku mengangguk. "Sehari biasanya omset berapa, Pak?"

Begitu aku menanyakan omset, hela nafas berat keluar dari mulut si Bapak.

"Waduh, orang dagang nggak bisa ditetapkan atau diprediksi penghasilannya, Mas. Minuman begini sekarang juga kalah sama yang itu tuh yang ada item-itemnya kenyal. Boba apa ya namanya." Bola mata si Bapak mengerling, mencoba mengingat nama si hitam-hitam kenyal yang ia maksud.

Di Tanah Gersang ??Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang