Hinata merasakan tubuhnya remuk setelah semalaman suntuk di garap oleh Naruto. Pria itu mabuk yang menyebabkan stamina nya tak kunjung habis dan dia benar benar membuat Hinata terjaga sampai pagi.
Lubang kemaluan Hinata terasa pedih bahkan sepertinya bengkak karena Naruto tak kunjung usai bermain-main di sana. Sudah tak terhitung Hinata mengalami orgasme sampai tubuhnya hanya bisa terkulai lemas saat ini.
Dia sudah melihat jam dinding menunjukan pukul sepuluh, ponselnya bahkan tak berhenti berdering namun dia masih berada di atas kasur Naruto yang sangat berantakan dengan pria itu yang tidur memunggungi Hinata.
Hinata mencoba bangun meski kakinya terasa lumpuh, tenaganya tersedot habis hingga membuatnya berdiri pun tak mampu.
Hinata jatuh tersungkur seperti anak kecil, sambil meringis kecil Hinata memegangi kemaluannya yang kian terasa pedih. Naruto yang menyadari Hinata terjatuh langsung bergrgas menghampirinya dengan sedikit sempoyongan.
"Sayang, kamu gak papa?" Padahal dirinya sendiri belum bisa berdiri dengan tegap namun Naruto sudah bersimpuh di hadapan Hinata berusaha membantunya berdiri.
"Aku bisa sendiri." Hinata menepis tangan Naruto, dia berdiri dengan susah payah namun gagal. Naruto menangkap tubuh mungilnya lalu dia memapah Hinata menuju kamar mandi.
"Kita berendam aja ya?" Tawar Naruto dengan nada bicara yang sudah kembali normal seperti biasa. Hinata hanya pasrah, dia menunggu dengan sabar ketika Naruto menyiapkan air hangat untuk mereka berendam.
Tubuh telanjang keduanya saling mendekap dalam bathup. Hinata mengabaikan itu semua, yang ada di kepalanya hanyalah bagaimana nasip pekerjaannya. Dia bolos tanpa penjelasan dan pasti akan dapat teguran.
"Aku minta maaf." Kali ini permintaan maaf itu datang dari Naruto. Pria itu memeluk tubuh Hinata dengan erat, menumpahkan penyesalannya yang mendalam. Dia terlalu gelap mata kemarin.
"Udah biasa." Sahut Hinata acuh.
"Aku udah belajar buat ngontrol emosi, tapi kamu-"
"Udah semua salah aku, kamu matiin aku pun gak papa."
Naruto membalik tubuh Hinata dengan paksa, kini posisi mereka berhadapan dan Hinata berada di pangkuan Naruto.
"Aku beneran minta maaf, aku hilaf.."
"Udah gak usah di pikirin, toh kamu berhak buat ngapa-ngapain sama aku. Kamu bilang aku punyamu, aku kan cuma benda jadi gak usah khawatir."
Ulu hati Naruto terasa di tikam saat mendengar ucapan Hinata. Gadis itu terlihat sangat sangat membencinya. "Aku gak ada bedanya sama pelacur, yang di bayar buat tubuhku."
Naruto memeluk Hinata, menyesal namun dia tidak bisa berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Karena dia sadar, mengendalikan emosi adalah satu hal terberat dalam hidupnya.
"Plis, kasih aku kesempatan lagi." Naruto tak sanggup melihat tatapan kosong di mata Hinata. Dia merasa bersalah pada gadis itu.
"Percuma, toh kamu juga bakal ngulangin lagi."
"Nat, kamu tau aku gimana-"
"Ya karena aku tau kamu gimana makanya aku nyerah, capek sama kamu tapi kamu egois."
"Aku bakal berubah,"
"Dari dulu juga ngomong gitu."
Dari nada bicaranya terlihat jelas, Hinata sudah tak berminat untuk melanjutkan obrolan mereka. "Kalau aku bisa berubah apa kamu bisa janji bakal sama aku selamanya?"
Hinata terkekeh pelan, tawanya cenderung sumbang dan tidak mengenakkan.
"Kamu jangan sampai lupa Nar, kita udah jadi saudara."
***
Hubungan gelap yang terjadi di antara Naruto dan Hinata masih tersembunyi dengan rapih. Naruto sudah menyuap para pegawai rumahnya untuk bungkam jadilah semua akal bulusnya bisa berjalan mulus.
Ketika kedua orang tua mereka datang, Naruto dan Hinata bertingkah seperti biasa. Pura-pura canggung dan segan padahal sesungguhnya berbagi ranjang sekalipun sudah biasa mereka lakukan.
Bukan keinginan Hinata, namun tubuhnya selalu gagal menolak kedatangan Naruto ke kamarnya.
Pelik sekali, Naruto begitu sulit di peringatkan dan Hinata begitu bodoh, berulang kali jatuh pada lubang yang sama, luka yang sama, dengan orang yang sama pula.
Naruto memberikan sebuah jaket baru pada Hinata karena cuaca sudah memasuki musim hujan Hinata butuh untuk menghangatkan diri.
"Jangan kasi gue hadiah lagi, uang, atau apapun. Gue gak butuh." Hinata mengembalikan jaket yang baru saja di beri Naruto tadi malam.
"Tapi sekarang musim dingin sayang, kamu butuh ini."
Hinata refleks melotot saat Naruto memanggilnya demikian. Masalahnya mereka masih berada di depan rumah, Hinata tidak mau kedua orang tuanya sampai mengetahui hal ini.
"Nar! Pelan-pelan kalau ngomong."
Naruto menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil meringis tanpa dosa. "Kelepasan." Ujarnya pelan.
Hinata menghela nafas lagi, dia tetap mengembalikan paperbag itu namun Naruto lagi-lagi protes. "Kenapa sih gak mau nerima kado dari aku?"
"Kamu tuh ngasih aku kado kebanyakan! Lemari aku sampai gak muat."
"Besok aku beliin lemari baru!"
"Gak gitu konsepnya!" Hinata mengerang kesal, sementara dari dalam rumah terdengar tawa Ibunya yang merdu di ikuti Ayahnya.
"Kalian debatin apa sih, serius banget."
Nyawa Hinata melayang sepersekian detik saking kagetnya, dia tidak menyangka sang Ibu akan menghampiri mereka. Perasaan was-was sudah menghantui Hinata.
"E-enggak bu," jawab Hinata gugup.
"Hinata ni Ma, masa dia nolak kado dari aku." Naruto menyodorkan paperbag itu ke arah Hanami yang langsung di terima oleh wanita baya itu. "Padahal kan lagi musim hujan, dia butuh jaket."
"Bener lo sayang, kamu butuh jaket. Kakak mu perhatian." Hanami memberikan jaket itu pada Hinata, "Gak baik nolak pemberian orang, di terima aja." Sambungnya. Perkataan Hanami itu mendapat senyuman lebar dari Naruto dan tatapan penuh kekesalan dari Hinata.
"Puas?" Ujarnya kesal.
"Puas banget! Ayo berangkat bareng Kakak aja, kebetulan aku ada ketemu klien di arah sana."
Hinata tak mampu menolak ajakan Naruto, padahal dia sangat tau modus dari pria dewasa itu.
Dia tidak mungkin mengantarkan Hinata dengan cuma-cuma.
Dia tidak mungkin membiarkan pagi Hinata berjalan dengan damai penuh warna.
Tbc___

KAMU SEDANG MEMBACA
Step Brother | Mr. Namikaze
FanfictionBagaimana jadinya jika Ibumu menikahi seorang duda kaya raya yang ternyata adalah ayah dari mantan kekasihmu dulu? Hubungan mereka yang rumit dan toxit membuat Hinata tersiksa dan akhirnya memilih pergi menjauh. Segala upayanya itu harus hancur kar...