Cuplikan:
Detik itu juga, bulu kuduk Mara meremang diikuti jantung berdebar kencang penuh antisipasi. Pasalnya hari mulai menggelap, terlebih kini dia dan Aksara hanya berdua. Dirinya takut jika lelaki dengan potongan rambut bermodel under cut di bagian depan motor justru melalukan tindakan gegabah.
"Menurut lo, enaknya kita ngapain di sini?" Suara rendah Aksara terdengar menyeramkan bagi Mara.
°°°
Mara benar-benar merasa kesal. Sesuai dugaan, dia terlambat sampai di tempat magang, sehingga pada akhirnya diri harus menjalankan hukuman. Beruntung hukuman yang diberikan tidak begitu berat, hanya diminta mengepel ruang divisi keuangan berisikan lima staff dan dua anak magang.
"Baik, Bu. Sekali lagi saya mohon maaf, saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan tersebut," kata Mara kepada sang direktur divisi.
Dengan berat hati, perempuan ber-rok hitam selutut itu pun mengambil air menggunakan ember kecil serta kain pel. Dia mulai menjalankan hukuman disela para staff serta teman magangnya yaitu Bulan mulai mengerjakan tugas masing-masing.
"Semangat, sorry gue nggak bisa bantu," kata Bulan dari kursi tempat dia duduk.
Mara mengangguk sembari menunjukkan telunjuk dan ibu jari yang disatukan membentuk huruf "O".
Hari ini, perusahaan memang sedang hectic. Maklum saja, para pekerja harus membuat laporan sesuai tugas pribadi mengingat hari ini menjelang akhir bulan. Untung saja tugas membuat power point Mara sudah selesai dan telah diserahkan kepada sang mentor. Setidaknya beban hari ini berkurang.
"Mara?"
Refleks Mara menghentikan kegiatan mengepel saat sosok tinggi muncul di depannya. Dia sontak berdiri tegap, tetapi tangan tetap memegang ganggang kain pel-pelan.
"Gimana, Mas? Apa ada yang perlu direvisi PPT-nya?" tanyanya kemudian pada lelaki berkemeja biru dengan bawahan celana hitam yang tak adalah sang mentor.
"Nggak ada, kok. Cuma ...."
Mara menjadi waspada saat perkataan mentor bernama Binta Dwijaya tersebut menggantung. Jangan sampai seluruh isi bahan presentasinya ternyata salah, sehingga dirinya harus membuat ulang sedari awal.
"Saya liat kamu lagi kerepotan. Jadi, saya bakal bantu kamu buat menyelesaikan hukuman ini."
"Hah?" Bibir Mara spontan sedikit terbuka kala mendengar pernyataan sosok di hadapannya kini. Dia takut jika telinga salah mendengar, sehingga salah satu tangan otomatis menggesek telinga kiri.
"Kamu nggak salah denger. Karena saya butuh bantuan kamu secepetnya buat nyusun laporan keuangan, jadi saya bakal bantu kamu buat ngepel ruangan ini," ulang Bintan memperjelas.
Pada akhirnya Mara memilih menolak, tak mengizinkan salah satu staff tetap di perusahaan tempat mengurus pensiunan para PNS ikut mengerjakan hukumannya. Lagi pula, dia tidak enak hati, terlebih beberapa staff lain diam-diam mencuri pandang ke arah mereka---termasuk Bulan yang justru senyum-senyum sendiri.
Namun, akibat lelaki pemilik dua lesung pipit tersebut terus memaksa, pada akhirnya Mara pasrah. Hingga pekerjaannya menjadi cepat selesai dan setelahnya dia memang benar-benar diberi tugas oleh Bintan.
"Kalo ada yang bingung, tanyain aja, ya," ujar Bintan lalu kembali fokus pada laptop pribadi.
Sedangkan perempuan yang duduk tepat di sebelah Bintan itu jua mulai berkutat menggunakan laptop sendiri. Berurusan dengan angka merupakan kebiasaan dan keharusan untuknya, maka tak mengherankan apabila dia merasa stress tatkala hasilnya belum balance.
"Maaf, Mas ... charger laptop Mas lagi dipake nggak, ya? Kalo nggak, boleh saya pinjem?" tanya Mara tiba-tiba.
Kesialan ketiga kali, dia lupa mengisi daya laptop pun tidak membawa charger lantaran terlalu terburu-buru.
"Oh, ini. Kamu pake aja dulu," kata Bintan.
Padahal Mara melihat jelas jika laptop lelaki berhidung mancung itu jua nyaris kehabisan baterai. Akan tetapi, dia malah meminjamkan pengisi daya padanya.
"Terima kasih, Mas."
°°°
Mara menghela napas pelan saat jarum jam pendek di dinding telah menyentuh angka lima, sementara jarum panjang menyentuh angka satu. Akhirnya dia bisa pulang ke rumah, mengistirahatkan diri setelah hari ini cukup melelahkan."Kamu pulang naik ojek online?"
Mara mengangguk mengiyakan pertanyaan sang mentor. Selama ini, dia memang acap kali menggunakan jasa ojek untuk mengantarkan ke mana-mana. Sebenarnya bisa saja perempuan pemilik kulit kuning langsat itu mengendarai motor pemberian mendiang sang ayah. Namun, dia merasa trauma dengan kepadatan kota, sebab dahulu pernah mengalami kecelakaan. Bahkan bekas lukanya masih tertinggal sampai sekarang di bagian lutut kanan.
"Saya antar kamu, ya. Kayanya kita bakal searah, daripada kamu ngeluarin duit 'kan? Kebetulan saya mau ada urusan lain sebelum balik nanti," tutur Bintan beranjak dari kursi kala melihat Mara sudah mengenakan tas di bahu.
"Eh, nggak perlu, Mas. Takut ngerepotin."
"Saya yang nawarin, tandanya saya siap direpotin."
Mara menggaruk tengkuknya canggung. Bener juga.
Hingga dia memutuskan menerima tawaran Bintan barusan. Sudah hampir satu bulan Mara berkontribusi di perusahaan ini, sehingga dua insan berbeda usia empat tahun ini terbilang akrab.
Namun, tatkala Mara keluar dari bangunan berlantai dua tempat dia magang, mata mendapati sosok familier di depan halaman. Sosok tersebut tak lain adalah kakak tirinya yaitu Aksara.
"Balik bareng gue," kata lelaki itu tanpa ekspresi.
"Masnya siapa, ya? Tukang ojek? Kalo iya, dibatalin aja, Mas. Soalnya dia bakal balik bareng saya."
Sebisa mungkin Mara menahan tawa. Perutnya terasa tergelitik saat Aksara yang penampilannya cukup rapi justru dikira seorang tukang ojek.
"Kalo gitu maaf, Mas Bintan. Karena tukang ojeknya terlanjur udah di sini, saya balik sama dia aja," ujar Mara kemudian.
Terlihat jelas riak kekesalan di wajah Aksara dan raut kekecewaan di wajah Bintan, tetapi Mara sama sekali tidak menyadari.
Pikir Mara, jika saja dia diturunkan lagi di tengah jalan oleh Aksara, dirinya bisa memesan ojek. Bukan masalah apabila pulang terlambat. Terpenting untuk sekarang adalah Mara bisa mengenang masa berduaan dengan Aksara di atas motor.
Jujur, dia merindukan kenangan manis mereka.
"Ini di mana, Sa? Lo nggak ngerjain gue lagi 'kan?" Netra Mara menjelajah, memperhatikan keadaan sekitar saat kendaraan beroda dua Aksara membawanya menuju area terpencil semacam hutan.
Detik itu juga, bulu kuduk Mara meremang diikuti jantung berdebar kencang penuh antisipasi. Pasalnya hari mulai menggelap, terlebih kini dia dan Aksara hanya berdua. Dirinya takut jika lelaki dengan potongan rambut bermodel under cut di bagian depan motor justru melalukan tindakan gegabah.
"Menurut lo, enaknya kita ngapain di sini?" Suara rendah Aksara terdengar menyeramkan bagi Mara.
Perempuan itu langsung turun dari boncengan begitu timbul sirine tanda bahaya dalam benak. "G-gue balik naik ojek aja kalo gitu."
Baru saja berbalik badan dan hendak berlari, pergelangan tangan kanannya justru ditarik paksa oleh Aksara. Spontan sang empu berteriak histeris saat tubuh mungilnya didekap erat oleh raga lelaki itu.
"Lo nggak usah macem-macem, Sa!" Ketika berkata demikian, kedua mata Mara berkaca-kaca.
Hingga mendadak dia merasakan tubuhnya ditarik ke belakang oleh orang lain. Mara berakhir bersembunyi di balik punggung lebar seseorang sebelum perempuan yang mulai terisak barusan menyaksikan Aksara tumbang.
Saking cepatnya pergerakan, dia sukar membaca situasi tatkala Aksara menerima bogem mentah di bagian perut dari Bintan yang entah bagaimana bisa berada di sini.
"Mas, jangan! Dia saudaraku!"
°°°
Bersambung

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka dan Lukanya [LENGKAP]
Romance[Squel KKN 1922] 17+ Jadwal update: Selasa & Jumat Nama Asmaraloka tidak seindah kisah cintanya. Awalnya dia sangat bahagia karena bisa mempunyai kekasih sebaik Aksara. Namun, semua itu berubah semenjak status Asmaraloka dan Aksara berganti menjadi...