"The stillness was too perfect—like a trap set with care."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Langit sore di Illionis tampak teduh, dilapisi gumpalan awan tipis yang membiarkan cahaya mentari menyusup perlahan ke sela dedaunan.
Angin semilir berembus pelan, menggerakkan helaian rambut dan menggoyangkan baju pasien yang dikenakan Serena, mempertegas pucatnya kulit wanita itu yang memantulkan rona sinar langit.
Ia duduk bersandar di bangku kayu yang mulai berlumut di sisi bawah pohon, bersama Benjamin yang duduk dengan posisi menyamping, satu tangan bertopang di sandaran kursi, sedangkan tangan lainnya bergerak bebas mengikuti irama ucapannya.
"... dan kau tahu apa yang terjadi setelahnya? Pak Lawson malah menuduh Jerry yang mencuri data marketingnya! Padahal jelas-jelas itu ulah si bajingan---Maggie," ucap Benjamin seraya tertawa kecil, mengguncang pelan bahunya sendiri.
Serena mengangkat alis pelan. "Maggie? Yang selalu membawa kopi jahe ke kantor itu?"
Benjamin terkekeh. "Iya. Ternyata kopi jahenya tidak hanya pahit, tapi juga penuh dengan konspirasi."
Serena tertawa kecil. Tatapan matanya melunak, bibirnya melengkung membentuk senyum yang sangat jarang muncul sejak ia sadar dari koma satu setengah tahun silam.
Dari luar, barangkali orang akan menilai momen itu sebagai potongan damai dari kehidupan Serena yang perlahan kembali normal. Namun, di balik kedamaian semu itu, matanya sesekali bergerak gelisah.
Pandangannya menelusuri area taman, lalu melirik tak kasatmata ke seberang jalan. Ada perasaan yang belum bisa ia namai. Bukan takut, bukan pula cemas. Melainkan ... terpantau. Seolah mata seseorang menelisik setiap gerak tubuhnya dari kejauhan.
Serena berusaha menepis firasat itu dengan logika, tetapi tidak bisa. Ada sesuatu yang terus mengusiknya. Ia tahu, dirinya sedang diamati.
Lalu, kesempatan datang ketika Benjamin sibuk menggambarkan betapa kacaunya jadwal rapat pagi ini.
Serena menoleh pelan, mencoba menelusuri arah rasa waspada yang sejak tadi menggelayut. Ia menyapu seberang jalan dengan mata hijaunya ... dan saat itulah pandangannya bertemu dengan sepasang mata lain.
Pria di seberang jalan. Duduk di bagian luar sebuah kafe. Tak terlalu jauh, tetapi juga tak cukup dekat untuk melihat dengan jelas rupanya.
Rambutnya legam, wajahnya terlindung separuh oleh bayang-bayang atap kafe, tetapi Serena bisa merasakan getaran aneh yang menjalar dari ujung jari hingga tengkuknya.
Ia menatap pria itu dalam diam. Sampai ketika, sebuah denyut tajam menyerang pelipisnya.
Serena mengerjap. Kilatan samar menyergap pikirannya---kenangan akan sepasang mata biru yang menatapnya cemas di dalam air, dalam kehampaan, dalam detik-detik di mana hidup dan mati bersaing.