Setelah ospek selesai, Aira dan Adrian masih terus berkomunikasi. Hubungan mereka tidak terlalu formal, lebih seperti teman baik yang sering bercanda dan menghabiskan waktu bersama. Aira memang tipe yang tidak suka berlama-lama dalam basa-basi, dia humble, ceria, dan ramah. Satu kali dalam obrolan mereka yang ringan, Aira tiba-tiba bertanya dengan nada santai, "Kak, nggak punya pacar, ya? Nanti pacar Kakak nggak marah kalau kita dekat begini?"
Adrian yang mendengar pertanyaan itu hanya tersenyum kecil. Ia merasa Aira memang ceplas-ceplos, tetapi ia tahu pertanyaan itu cukup serius untuk ditanggapi. "Iya, sih, aku punya pacar. Tapi LDR, dia di Palembang, aku di Jogja," jawab Adrian sambil menatap Aira sekilas, mencoba membaca ekspresinya.
"Oh, LDR, ya? Berat nggak tuh?" tanya Aira tanpa beban, seolah masalah pacaran jarak jauh itu hanya hal kecil.
Adrian mengangguk pelan, "Kadang berat, sih. Tapi ya, namanya juga hubungan, kan harus dijalanin." Jawabannya terdengar cukup bijak, tapi Aira tahu ada sesuatu yang tidak disampaikan sepenuhnya. Meski begitu, mereka terus berkomunikasi seperti biasa. Tidak ada yang berubah, sampai beberapa hari kemudian, komunikasi mereka perlahan mulai berkurang.
Waktu berlalu dengan cepat. Tanpa terasa, sudah hampir satu bulan Aira dan Adrian tidak lagi berkomunikasi seperti dulu. Aira juga tidak terlalu memikirkannya, menganggap mungkin Adrian sedang sibuk dengan kuliahnya atau dengan pacarnya. Hingga suatu malam, ponsel Aira berbunyi. Pesan dari Adrian masuk. "Hai, apa kabar? Udah lama ya nggak ngobrol."
Aira tersenyum membaca pesan itu. Sejenak, kenangan mereka yang sering bercanda saat ospek muncul di benaknya. Ia membalas dengan santai, "Iya, lama banget. Sibuk, Kak?"
Adrian menjawab dengan cepat, "Lumayan, sih. Tapi sekarang udah nggak terlalu. Kamu gimana?"
Dari situ, percakapan mereka kembali mengalir seperti air. Semakin lama, semakin intens. Aira mulai merasa dekat lagi dengan Adrian, tapi kali ini ada perasaan berbeda. Meski begitu, sebelum semuanya berjalan terlalu jauh, Aira memutuskan untuk bertanya langsung, "Kak, masih baik-baik aja sama pacar, kan?"
Adrian diam sejenak sebelum mengetik balasannya, "Aku udah putus, kok. Sebulan yang lalu."
"Oh, gitu." Aira membalas pesan itu dengan sedikit perasaan lega yang tak bisa ia sembunyikan. "Ya udah, kalau gitu kita bisa lebih sering ngobrol, kan? Aman nih sekarang."
Adrian hanya membalas dengan emoji senyum. Setelah itu, hubungan mereka semakin dekat. Mereka mulai sering jalan bareng, makan malam bersama, dan bahkan Aira tidak ragu lagi meminjam buku dari seniornya yang kebetulan juga dekat dengan Adrian. Setiap kali ada kesempatan, Adrian selalu memastikan bahwa Aira merasa nyaman berada di dekatnya. Perhatian Adrian terasa begitu tulus, dan hal itu membuat Aira semakin betah berlama-lama bersamanya.
Dua bulan berlalu begitu cepat. Aira dan Adrian semakin dekat, bahkan mulai ada perasaan di antara mereka. Adrian sering kali menyatakan rasa sayangnya kepada Aira, mengatakan bahwa dia nyaman berada di dekatnya. Tapi setiap kali Adrian mengungkapkan perasaannya, Aira hanya terdiam. Dia tidak tahu harus merespon seperti apa.
Di satu sisi, Aira merasa nyaman dengan Adrian. Tapi di sisi lain, ia juga sedang dekat dengan beberapa orang lain. Ada temannya satu angkatan yang selalu memberinya perhatian, ada kakak tingkat dari jurusan lain yang kerap kali membantunya dalam berbagai hal, bahkan ada teman lamanya dari SMA yang tiba-tiba muncul kembali dalam hidupnya. Aira merasa bingung. Siapa yang harus ia pilih? Siapa yang sebenarnya ia inginkan? Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, apakah Adrian yang sudah ada di sisinya sekarang adalah jawaban yang ia cari, atau apakah ada seseorang yang lain yang lebih cocok untuknya?
Lucunya, meskipun banyak yang mendekati Aira, hatinya selalu kembali ke Adrian. Ada sesuatu yang berbeda tentangnya. Adrian tidak hanya perhatian, tapi juga selalu bisa membuat Aira tertawa dengan hal-hal kecil yang ia lakukan. Setiap kali mereka jalan bersama, Aira merasakan ketenangan yang tidak ia rasakan saat bersama orang lain. Meski begitu, perasaan bingung itu masih tetap ada.
Aira sering berpikir, apakah ia harus memberikan kesempatan pada Adrian, ataukah ia harus menunggu lebih lama untuk melihat siapa yang benar-benar serius dengannya. Di dalam benaknya, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus berada di tengah-tengah. Ia harus membuat pilihan, tapi kapan waktu yang tepat? Dan apakah Adrian adalah orang yang tepat?
Hari-hari berlalu, dan Aira semakin menyadari bahwa ia tidak bisa terus bermain-main dengan perasaannya sendiri. Ada saatnya untuk memilih, dan mungkin waktu itu semakin dekat. Tapi satu hal yang pasti, Adrian selalu ada di pikirannya. Bahkan ketika ia sedang bersama orang lain, ia masih teringat pada Adrian dan senyum hangatnya.
Tapi kini, setelah dua bulan lebih mereka semakin dekat, Aira merasa tidak bisa terus mengabaikan perasaannya. Setiap malam, sebelum tidur, ia memikirkan kembali setiap momen yang mereka habiskan bersama. Dari pertama kali mereka bertemu di ospek, hingga kini, Adrian selalu membuatnya merasa spesial. Namun, ada rasa takut yang tak bisa dihindari. Apakah ia siap memberikan hatinya kepada Adrian, atau apakah ia akan terluka jika semuanya tidak berjalan seperti yang ia harapkan?
Adrian mungkin adalah pilihan terbaik, tapi Aira belum sepenuhnya yakin. Perasaan itu tumbuh perlahan, dan meski mereka semakin dekat, Aira masih butuh waktu untuk benar-benar yakin akan apa yang ia inginkan. Bagaimana jika Adrian ternyata bukan orang yang tepat? Atau, bagaimana jika ada orang lain yang lebih baik datang dalam hidupnya?
Aira tahu, waktu terus berjalan. Dan keputusan itu harus segera dibuat. Tapi untuk sekarang, ia hanya bisa menikmati setiap momen bersama Adrian, berharap bahwa waktu akan memberikan jawabannya.

YOU ARE READING
Mendung
RandomTerseok dalam gelapnya kebingungan dan kehilangan arah, seorang perempuan yang dulu penuh ambisi kini terjebak dalam bayang-bayang kegagalan. Setiap hari, dia berjuang melawan rasa takut dan perasaan tidak berharga yang membelenggu. Pernah memiliki...