抖阴社区

11

7 3 0
                                        

WARNING!

Cerita ini adalah hasil fiksi dan sepenuhnya karya imajinasi penulis. Karakter-karakter yang ada mungkin terinspirasi dari tokoh atau idol terkenal, namun semua kejadian dan alur cerita tidak ada kaitannya dengan kehidupan nyata. Nikmati cerita ini sebagai hiburan semata!

Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini! Semoga kalian bisa menikmati setiap babnya dan menemukan sesuatu yang menarik. Jangan lupa untuk tinggalkan komentar, kritik, vote, atau saran. Semua itu sangat berarti untuk penulis. Selamat membaca dan semoga kalian suka!

Salam Hangat,
[nriverra]

Salam Hangat, [nriverra]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

★★★

Suatu sore, setelah hari yang panjang dan penuh kegiatan, Elara merasa sedikit kesal. Galleo, yang biasanya selalu ada untuknya, tiba-tiba sibuk dengan latihan basket dan jarang memberi perhatian lebih. Elara merasa sedikit terlupakan, meskipun tahu Galleo sedang mengejar tujuannya dalam olahraga. Namun, perasaan itu tetap mengganggu.

Saat Galleo menelepon Elara untuk bertanya apakah ia ingin keluar malam itu, Elara hanya menjawab singkat. "Aku nggak bisa, Gal. Ada banyak hal yang harus aku pikirin."

Galleo mendengar ketegangan dalam suara Elara, membuatnya langsung merasa ada yang salah. "Kenapa, El? Ada apa? Aku bisa temenin kamu kalau mau," jawab Galleo, mencoba tetap tenang.

Elara menahan diri untuk tidak terlalu mengungkapkan perasaannya. "Gak usah, Gal. Kamu sibuk banget. Aku nggak mau ganggu," jawabnya sambil menyembunyikan perasaan kesalnya.

Galleo merasa ada yang aneh. Biasanya, Elara tidak seperti itu. Ia memutuskan untuk langsung datang ke rumah Elara, berharap bisa bicara baik-baik.

Sesampainya di rumah Elara, Galleo mengetuk pintu dengan hati-hati. Tak lama kemudian, Elara membuka pintu dengan wajah sedikit cemberut.

"Aku tahu, El, aku salah," kata Galleo pelan, menatap Elara dengan penuh penyesalan. "Tapi kamu harus tahu, nggak ada niat aku buat ninggalin kamu atau bikin kamu merasa nggak penting. Aku cuma terlalu fokus dengan latihan dan segala yang harus aku lakukan."

Elara mendengus pelan, tapi tidak mengucapkan sepatah kata pun. Galleo melangkah sedikit lebih dekat dan dengan lembut meraih tangan Elara.

"Elara..." Suaranya lembut, penuh kelembutan. "Aku nggak pernah bermaksud nyakitin kamu. Aku sayang banget sama kamu, dan aku minta maaf kalau aku kelihatan cuek akhir-akhir ini. Kamu selalu jadi yang pertama dalam hati aku, dan nggak ada yang bisa gantiin tempat kamu di sana."

Elara menatap Galleo, matanya sedikit berkaca-kaca. "Tapi kamu nggak pernah ngajak aku ngobrol lagi, Gal. Kamu lebih sibuk sama basket, sama latihan. Aku jadi merasa jauh."

Galleo merasakan hatinya perih mendengar itu. "Aku ngerti, El. Aku nggak bisa ngelakuin ini tanpa kamu di sisi aku. Kamu bukan cuma pacar aku, tapi juga teman terbaik aku. Aku nggak mau nyakitin perasaan kamu. Cuma kamu yang bisa ngerti aku, dan aku janji bakal lebih perhatian."

Elara menunduk, mencoba menghapus air mata yang mulai menggenang. "Aku cuma pengen kita bisa lebih sering bareng, bisa ngobrol tanpa ada hal lain yang lebih penting."

Galleo menyentuh dagu Elara dengan lembut, mengangkat wajahnya supaya mereka saling menatap. "El, kamu nggak pernah jadi hal kedua buat aku. Selalu yang pertama. Aku tahu kalau aku sering gak nunjukin itu, dan itu salah. Tapi aku bakal benerin semua ini. Kamu cuma perlu kasih aku kesempatan, ya?"

Dengan suara lembut, Galleo melanjutkan, "Aku janji, sayang, aku bakal lebih bisa bagi waktu. Kamu penting banget buat aku."

Elara menatap Galleo dalam-dalam, merasakan ketulusan di mata Galleo. Perlahan, ia mengangguk. "Aku tahu kamu sayang aku, Gal. Aku cuma butuh kamu di sini, lebih sering."

Galleo tersenyum penuh kasih, mengelus rambut Elara dengan lembut. "Aku di sini, El. Aku selalu ada buat kamu. Kamu nggak perlu khawatir soal itu."

Setelah itu, Elara merasa tenang. Semua perasaan kesal yang sebelumnya menyelimutinya perlahan menghilang, digantikan dengan kehangatan. Galleo memeluknya dengan lembut, memberi kepercayaan bahwa ia tidak akan pernah pergi.

"Makasih udah sabar sama aku," kata Galleo pelan, merasakan kedekatannya dengan Elara semakin dalam.

"Makasih juga udah repot-repot datang, Gal," jawab Elara dengan senyum lebar. "Maaf ya, aku cuma butuh sedikit perhatian dari kamu."

Galleo tersenyum, menatap Elara dengan penuh cinta. "Kamu nggak perlu minta, El. Semua yang aku punya, pasti untuk kamu."

Malam itu, setelah percakapan yang penuh ketulusan dan saling mengerti, Elara dan Galleo merasa lebih dekat dari sebelumnya. Galleo belajar untuk lebih menjaga perasaan Elara, sementara Elara juga berjanji untuk lebih terbuka dan tidak membiarkan perasaan kesal merusak hubungan mereka.

Dengan langkah pasti, mereka melangkah maju, yakin bahwa cinta mereka bisa melewati segala hal, asalkan selalu ada komunikasi dan saling pengertian.

★★

★★

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
When Love Became a MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang