抖阴社区

BAGIAN 41 (Obat Terbaik)

20 2 0
                                    

"Kamu itu obat buat setiap lelah dan sakitnya Bapak. Jangan kemana-mana. Kita harus tetap bersama."

.
.
.
.
.

"Lo mau tahu sesuatu gak? Soal Retha dan sketsa gambar yang dia kasih ke lo?" Tanya Arfan menatap saudara kembarnya dengan serius.

Namun nampaknya Ardan tidak peduli. Lihat saja, cowok itu sibuk dengan sabun pada tangannya. Entah setan apa yang merasukinya malam ini, Ardan tengah mencuci piringnya.

"Ternyata itu bukan bikinan dia." Lanjut Arfan membuat Ardan berdecak menghela nafas kasar.

"Gak peduli, bukan urusan gue juga." Balasnya dengan dingin.

"Maksud gue, kek... ya gue nggak nyangka aja gitu. Dia kan ekskul seni nih, dan beberapa waktu lalu juga ngajarin lo les gambar kan? Tapi kenapa minta jasa orang lain buat sketsain gambar lo?" Jelas Arfan dengan panjang lebar.

Arfan membasuh alat makannya dengan khidmat. Ia terdiam sejenak, "sibuk banget lo mikirin urusan yang nggak penting itu."

"Yeh! Gue nganalisis lo tahu. Ini hal yang menurut gue nggak tepat aja." Kata Ardan dengan cengengesan di akhir.

Ardan beebalik setelah selesai mencuci piringnya. "Semua hal yang berkaitan sama dia. Bukan urusan gue." Lanjutnya sambil melangkah pergi meninggalkan dapur.

"Ya oke sih. Gue juga gak peduli." Balas Arfan dengan bergumam. Ia mengikuti langkah saudara kembarnya yang memasuki kamar miliknya.

"Gue masih nggak nyangka aja, kalo sketsa gambar sebagus itu murid SMA Merdeka yang buat. Padahal kalo guru-guru tahu, di lombain oke juga." Kata Arfan mulai mengambil selimut milik Ardan dan memangkunya pergi ke luar untuk tidur di ruang utama yang minimalis.

"Gue tidur di ruangan depan. Kamar sekecil ini lo muatin banyak barang-barang, sumpek gue liatnya." Lanjut Arfan sambil segera berlalu. Ia takut kena timpuk jam weker yang ada di sebelah Ardan.

Sementara Ardan termenung memikirkan ucapan Arfan. Siapa murid SMA Merdeka yang saudara kembarnya itu maksud? Mau bertanya, tapi gengsi, pikirnya.

***

Keesokan harinya, Ayesha benar-benar membawa Bapaknya untuk pergi melihat kostan di mana tempatnya bekerja part time.

Setelah pulang sekolah tadi, ia langsung di jemput oleh Bapaknya dan mampir ke sini untuk memenuhi janjinya semalam.

"Pak," sapa Wijaya sambil tersenyum sopan pada Pak Satpam yang membukakan gerbang.

Ayesha tersenyum, ia menatap Pak Satpam dan Bapaknya secara bergantian. Terlihat sepantar dari kondisi fisiknya. Mungkin saja, mereka memang se-usia. Ayesha terkekeh dalam hati saat melihat keduanya, perutnya sama-sama gembul.

"Saya Wijaya. Bapaknya Ayesha." Ucapnya sambil perkenalan.

Pak Satpam tersebut terlihat sedikit kaget. "Walah, Bapaknya Neng Yesha toh..." ujarnya sambil terkekeh.

Wijaya tersenyum membalasnya, ia menatap sekeliling. Tempat di mana putri semata wayangnya bekerja. Sebenarnya hati kecilnya tidak setuju akan hal ini, tapi kalau bukan Ayesha sendiri yang memohon dengan sangat, maka pasti dirinya tidak akan bisa menolak.

Gadis itu sedikit keras kepala, selalu merasa keputusannya adalah benar dan selalu berkata tidak apa, seolah semua beban yang berat ia tanggung semua, ia tetap berkata 'tidak apa'.

"Mau ketemu pemiliknya, Pak?" Suara Pak Satpam membuat Wijaya kembali tersadar.

"Oh, nggak Perlu, Pak. Saya cuma mau antar anak saya kerja." Balasnya langsung dipahami oleh Pak Satpam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

? Terakhir diperbarui: Mar 26 ?

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Unspoken Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang