抖阴社区

29.| Ni Ratri

265 19 0
                                        

Hari itu, Puspa duduk di bawah pohon mangga yang rindang, menikmati angin sore yang sejuk. Tubuhnya terasa lelah setelah menjalani hari yang penuh dengan tatapan dan komentar dari abdi dalem yang seakan tak pernah habis mengomentari penampilannya. Namun, kehadiran Ni Ratri, gadis yang ceria, sedikit banyak menjadi pelipur baginya.

Ni Ratri datang seperti biasa, membawa kendi kecil berisi air dan sepotong kue ketan di tangan. Dengan langkah ringan, ia menghampiri Puspa sambil tersenyum. “Mbakyu Puspa, ini saya bawakan air dari dapur. Masih segar, lho!” katanya ceria.

Puspa menerima kendi itu dengan senyum lembut. “Terima kasih, Ni Ratri. Kau selalu baik sekali pada Mbakyu.”

“Tidak apa-apa. Mbakyu kan baik juga pada Ratri,” jawab Ni Ratri sambil duduk di sampingnya. Ia mulai menggigit potongan kue ketan dengan lahap, sementara Puspa menyesap air dari kendi.

“Apa yang kau lakukan hari ini?” tanya Puspa, mencoba mengalihkan pikirannya dari komentar para abdi dalem yang tadi siang terdengar menyinggung kulitnya yang terlalu putih dan cara bicaranya yang dianggap ‘aneh’.

“Saya membantu di dapur tadi pagi, lalu ke pasar sebentar bersama suami,” jawab Ni Ratri santai, sambil menyeka remah kue dari bibirnya.

Puspa hampir saja tersedak mendengar jawaban itu. Ia menoleh cepat ke arah Ni Ratri, memandangnya dengan mata melebar. “Suami?” tanyanya, suaranya setengah berbisik.

Ni Ratri menoleh, tampak bingung dengan reaksi Puspa. “Iya, Mbakyu. Saya sudah menikah.”

Puspa terdiam sejenak, memandangi wajah Ni Ratri yang polos. Gadis kecil itu terlihat seperti anak-anak pada umumnya, dengan tubuh mungil dan pipi bulat yang masih terasa kekanakan. “Tapi... usiamu berapa, Ratri?”

“Duabelas tahun,” jawabnya ringan, tanpa sedikit pun menyadari keterkejutan Puspa.

Puspa merasa otaknya berhenti bekerja sejenak. Sebelas tahun? Menikah? Ia tidak dapat membayangkan bagaimana hal itu mungkin terjadi. “Kau menikah di usia berapa?” tanyanya, suaranya hampir tak terdengar.

“Saya menikah dua tahun lalu, Mbakyu. Waktu itu saya sepuluh tahun,” jawab Ni Ratri dengan santai. Ia bahkan tersenyum kecil, seolah apa yang dikatakannya adalah hal biasa.

Puspa merasakan dadanya sesak. Ia mencoba menenangkan dirinya, tapi pikirannya berputar-putar dengan kebingungan. “Tapi... sepuluh tahun itu masih anak-anak,” gumamnya pelan.

Ni Ratri tertawa kecil, seperti mendengar sesuatu yang lucu. “Di desa saya, kalau anak perempuan sudah bisa membantu pekerjaan rumah dan memasak, biasanya orangtua akan mencarikan jodoh. Itu hal biasa, Mbakyu.”

“Hal biasa?” ulang Puspa dengan suara hampir berbisik. Dunia yang ia tinggali sekarang terasa semakin asing baginya. Bagaimana mungkin seorang anak kecil seperti Ni Ratri sudah menikah dan menganggapnya hal yang wajar?

“Mas Bagus baik sekali pada saya,” lanjut Ni Ratri sambil memandang langit, matanya berbinar-binar. “Dia selalu membantu saya menimba air dan tidak pernah marah. Kalau ke pasar, dia juga sering membelikan saya jajan.”

Puspa hanya bisa memandang gadis kecil itu dengan campuran simpati dan keterkejutan. Ia tidak tahu harus berkata apa. Baginya, pernikahan adalah sesuatu yang seharusnya terjadi ketika seseorang sudah dewasa, sudah siap menghadapi tanggung jawab besar. Tapi Ni Ratri, dengan tubuh kecil dan kepolosannya, tampaknya menjalani pernikahannya seperti menjalani permainan anak-anak.

“Ratri, apakah kau tidak ingin bermain dengan teman-temanmu, seperti anak-anak lain?” tanya Puspa hati-hati.

Ni Ratri tersenyum kecil. “Saya masih bermain kok, Mbakyu, kalau pekerjaan sudah selesai. Mas Bagus juga tidak melarang saya bermain. Dia baik sekali.”

Lintang Di Langit Majapahit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang