"Aku... turut berduka," katanya.
Nicola tersenyum tipis, tetapi tidak ada kehangatan di sana.
"Tentu," balasnya singkat, sebelum membalikkan badan dan berjalan pergi.
Ia tidak perlu mendengar lebih banyak lagi dari pria itu.
***
Perjalanan pulang terasa sunyi. Nicola duduk di dalam mobil dengan pandangan menerawang keluar jendela. Addam yang mengemudi sesekali meliriknya, tetapi ia tidak bertanya apa-apa.
Saat mereka tiba di rumah, Nicola langsung berjalan menuju kamar tanpa berkata apa-apa. Addam tidak menghentikannya.
Begitu masuk ke dalam kamar, ia langsung masuk ke kamar mandi. Ia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri dengan tatapan kosong.
Matanya yang sembab, wajahnya yang pucat, dan kalung yang masih menggantung di lehernya—kalung pemberian ibunya.
Tiba-tiba, semua kenangan bersama ibunya membanjiri pikirannya.
Suara lembut ibunya saat memanggil namanya, tangan hangat yang selalu mengusap kepalanya, senyum yang selalu membuatnya merasa tenang... semuanya kini hanya tinggal kenangan.
Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga.
Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan suara isakan, tetapi napasnya mulai tersengal. Tangannya mencengkeram wastafel dengan erat, berusaha mencari pegangan, tetapi rasanya seluruh dunianya berguncang.
Ia ingin menangis lebih lama, tetapi ia tahu, itu tidak akan mengubah apa pun.
Jadi, dengan napas tersendat, ia menyalakan air dan membasuh wajahnya, berusaha menghapus jejak kesedihan yang terlalu jelas tergambar di wajahnya.
Ketika ia akhirnya keluar dari kamar mandi, ia tidak melihat Addam di kamar.
Penasaran, ia melangkah keluar dan turun ke lantai bawah.
Saat sampai di dapur, ia melihat Addam tengah berdiri di depan kompor, tampak sibuk memasak sesuatu. Nicola melangkah pelan mendekat. Dari dekat, ia bisa melihat Addam tengah mencicipi masakannya, memastikan rasanya cukup baik.
Nicola dengan langkah pelan memeluknya dari belakang.
Addam terkejut, tetapi ia segera menunduk, melihat tangan Nicola yang melingkar di pinggangnya.
"Bagaimana keadaanmu? Apakah sudah lebih baik setelah mandi?" tanyanya lembut sambil tetap mengaduk masakan.
Nicola tidak menjawab. Ia hanya mengeratkan pelukannya.
Addam mematikan kompor, kemudian berbalik. Ia menangkup wajah Nicola dengan kedua tangannya, membuat wanita itu mendongak.
Mata Nicola masih tampak bengkak, jejak tangis masih terlihat jelas di sana. Addam menatapnya dalam diam sebelum menunduk, mengecup ujung kedua matanya dengan lembut.
"Duduklah. Aku sudah memasak untukmu," ucapnya lirih.
Nicola menurut. Addam menyajikan semangkuk sup di hadapannya.
"Makanlah."
Nicola menatap sup itu sejenak sebelum melirik Addam yang masih berdiri.
"Kau tidak makan?" tanyanya pelan.
Addam menggeleng. "Aku tidak lapar."
Lalu, ia duduk di hadapan Nicola, menatapnya dengan penuh perhatian. "Aku belum melihatmu makan sejak pagi. Aku tidak mau kau sakit, jadi makanlah."
Nicola mulai makan, tetapi tangannya sedikit bergetar. Air mata kembali jatuh tanpa bisa ia cegah.
Addam tidak berkata apa-apa. Dengan tenang, ia menghapus air mata itu dengan ibu jarinya.
Setelah Nicola menghabiskan makanannya, mereka memutuskan untuk segera beristirahat. Saat mereka sudah di tempat tidur, Addam memeluk Nicola erat.
Namun, ia mulai merasa ada sesuatu yang aneh.
Ia menyentuh dahi Nicola.
"Kau panas," gumamnya khawatir. "Apa kau merasa pusing?"
Nicola menggeleng kecil. "Aku baik-baik saja... Aku hanya ingin istirahat."
Addam masih ragu. Tetapi saat Nicola mengeratkan pelukannya, ia akhirnya menghela napas dan membalas pelukan itu dengan lebih erat.
"Tidurlah, Sayang," bisiknya lembut. "Aku di sini."
Di dalam kehangatan itu, Nicola akhirnya memejamkan matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan yang membuatnya merasa sedikit lebih aman.
Namun, malam itu tidak berjalan semulus yang diharapkan.
Beberapa jam setelahnya, Addam terbangun karena merasakan gerakan gelisah dari Nicola. Awalnya, ia mengira istrinya hanya berpindah posisi dalam tidur. Namun, ketika ia menyentuh tubuh Nicola, kehangatan berlebihan yang menyengat telapak tangannya langsung membuatnya waspada.
Dahi Nicola semakin panas. Napasnya juga terdengar lebih berat. Keningnya berkerut seakan sedang mengalami mimpi buruk.
"Nicola," panggil Addam lembut, mengusap wajahnya dengan khawatir. "Sayang, bangun sebentar."
Nicola menggeliat kecil, bibirnya bergerak tanpa suara sebelum akhirnya sebuah gumaman lirih keluar. "Jangan pergi..."
Addam menegang.
"Aku sendirian..." suara Nicola terdengar lirih, hampir seperti anak kecil yang ketakutan. "Jangan pergi..."
Addam mengerutkan kening, hatinya mencelos mendengar suara Nicola yang terdengar begitu rapuh. Ia tahu ini pasti efek demam tinggi yang mulai membuatnya mengigau.
Dengan sigap, Addam turun dari tempat tidur dan berjalan ke lemari penyimpanan di kamar. Ia mengeluarkan cooling pad dari dalam kotaknya. Sesuatu yang memang sudah ia siapkan di rumah untuk keadaan darurat seperti ini.
Ia kembali ke sisi Nicola, dengan hati-hati menempelkan cooling pad ke dahinya. Nicola sedikit menggeliat, tetapi tubuhnya langsung terlihat lebih rileks begitu hawa dingin dari pad itu mulai bekerja.
Addam duduk di sisi ranjang, menatap istrinya dengan perasaan campur aduk. Melihat Nicola yang biasanya selalu mencoba terlihat kuat kini terbaring lemah seperti ini, membuat dadanya terasa sesak.
Tangannya terulur, mengusap rambut Nicola dengan lembut.
"Aku di sini, Sayang," bisiknya. "Aku tidak akan pergi ke mana pun."
Nicola tidak menjawab, tetapi tubuhnya yang sebelumnya tegang kini mulai lebih tenang. Demamnya masih tinggi, tetapi Addam memastikan akan terus menjaganya.
Malam itu, Addam tidak tidur. Ia tetap terjaga di sisi Nicola, mengganti cooling pad beberapa kali, memastikan suhu tubuhnya turun.
Sesekali, ia mengecup kening istrinya, berharap bisa sedikit mengurangi ketidaknyamanan yang dirasakannya.
***
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
Let The Light In
Short StoryNicola Gracelle Archie sudah lama kehilangan kepercayaan pada laki-laki. Trauma ditinggalkan ayahnya di usia 10 tahun, ditambah dengan pengkhianatan pahit dari mantan kekasihnya yang berselingkuh dua kali, membuat Nicola bersumpah untuk menjaga jara...
Chapter 13: Leaving Behind Sorrow
Mulai dari awal