Langit Majapahit malam itu memeluk rembulan dalam cahaya temaram. Aroma bunga melati dan kenanga menyusup di antara angin yang lembut menyentuh pepohonan. Rumah tempat Puspa dipingit diterangi obor yang menyala redup, menciptakan suasana magis. Malam ini adalah malam midodareni—malam yang dipercaya menjadi waktu turunnya para bidadari untuk memberkahi dan menyempurnakan kecantikan calon pengantin wanita.
Puspa duduk bersimpuh di atas tikar pandan. Rambutnya sudah disanggul rapi, dihiasi bunga melati yang mengalir seperti tirai harum. Gaun adat berwarna gading membalut tubuhnya, anggun tapi tetap sederhana. Wajahnya cantik, tapi juga tampak cemas. Tangannya menggenggam erat selendang kecil yang dijadikan penenang.
“Ndoro ayu…” suara lembut memecah keheningan.
Puspa menoleh. Sosok renta dengan mata teduh dan senyum hangat masuk pelan ke ruangan. Ia adalah nenek tabib dari desa tempat Puspa pertama kali terdampar. Nenek itu menempuh perjalanan jauh hanya untuk menemui gadis yang dulu ia tolong—gadis asing yang kini akan menjadi istri seorang senapati.
“Nek…” Puspa memanggil lirih, langsung bangkit dan memeluknya. Hangat, seperti pelukan masa lalu yang lama hilang.
“Nenek tahu, malam ini pasti berat buatmu. Tapi juga malam yang istimewa, nduk,” ucap sang nenek sambil mengelus punggung Puspa.
Mereka duduk berdampingan. Puspa menyandarkan kepalanya di bahu sang nenek seperti anak kecil.
“Dulu, kau datang ke rumah nenek dengan mata bingung dan tubuh kotor kena lumpur. Tapi kamu tetap genit dan cerewet,” ujar sang nenek tertawa pelan.
Puspa ikut tersenyum malu. “Dulu Puspa nekat banget, ya, Nek?”
“Waktu pertama ketemu Senapati Arya, kamu juga begitu. Cerewet, centil, banyak tanya. Sampai Kangmas Aryamu itu ngedumel, 'Perempuan apa ini, ikut-ikutan latihan perang?'”
Puspa tertawa. “Dia galak banget waktu itu, Nek. Waktu Puspa tanya cara pegang keris, dia langsung bentak, ‘Ini bukan tempat perempuan. Pergilah jika tak ingin terluka.’”
“Kowe ki bocah kakean akal (kamu itu anak terlalu banyak akal), Puspa,” sang nenek mencubit pelan pipinya. “Tapi dari caramu melihat dia, nenek tahu… kamu jatuh cinta.”
Wajah Puspa memerah. “Kangmas juga lama-lama luluh, Nek. Tapi Puspa juga nggak ngerti, kenapa bisa sampai cinta banget…”
“Cinta bukan tentang ngerti, nduk. Tapi tentang ngrasakke (merasakan).”
Hening beberapa saat. Di luar, gamelan mulai dimainkan perlahan. Nadanya lembut, mengalun seperti doa yang dipanjatkan diam-diam.
“Nduk,” sang nenek melanjutkan, “jadi istri itu bukan hanya tentang cinta. Tapi tentang ngemong (mengasuh), ngayomi (melindungi), dan nampani (menerima). Seperti bumi yang selalu menerima langit, seperti sungai yang selalu mencari laut.”
Puspa menunduk, mengingat semua hal yang telah ia lalui bersama Arya. Dari gadis kota yang terlempar ke masa lalu, menjadi perempuan yang kini akan menyatukan hidupnya dengan seorang panglima kerajaan.
“Apakah Puspa siap, Nek?”
“Siap itu bukan tentang tahu segalanya. Tapi berani melangkah meski belum tahu semuanya.”
Puspa terdiam. Air matanya jatuh perlahan. Bukan karena takut, tapi karena hatinya terenyuh.
Di tempat lain, Arya juga duduk di depan balai bambu. Ia mengenakan jubah perang yang mulai pudar warnanya, warisan dari ayahandanya. Tatapannya kosong menatap langit. Suara gamelan dari kejauhan terdengar lembut di telinga.
Panglima tua, sahabat ayahnya, mendekat dan duduk di sampingnya. “Apa yang kau pikirkan, Senapati?”
“Aku merasa… takut,” jawab Arya lirih.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lintang Di Langit Majapahit [END]
Historical FictionPuspa Anggraini, seorang gadis modern, secara misterius terlempar ke zaman Majapahit di era kejayaan Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Tanpa mengetahui bagaimana ia bisa sampai ke sana, Puspa harus bertahan hidup di dunia yang asing baginya, di mana...