抖阴社区

41.| Malam Pengantin

569 20 0
                                        

Langit malam menaungi istana Majapahit dengan ribuan bintang yang tampak lebih terang dari biasanya. Angin berembus lembut, membawa harum bunga kenanga dan melati yang sejak pagi menghiasi seluruh penjuru kerajaan. Di dalam sebuah bangunan khusus yang menjadi tempat tinggal pengantin baru, lentera minyak bergoyang pelan, memantulkan cahaya hangat ke dinding kayu ukiran. Suara gamelan telah lama berhenti, digantikan oleh bisikan alam yang syahdu.

Puspa duduk di atas dipan kayu berukir, masih mengenakan busana pengantin dengan sanggul yang setengah dilepas. Matanya menatap ke luar jendela terbuka, menunggu. Degup jantungnya tak beraturan. Tangannya menggenggam sehelai kain halus yang tadi diberikan oleh sesepuh perempuan sebelum ia meninggalkan ruang pingitan.

“Kangmas Arya…” bisiknya pelan.

Baru pagi tadi, mereka menjalani upacara pernikahan adat khas Majapahit. Setelah malam midodareni yang penuh haru, pagi harinya dimulai dengan prosesi siraman, yaitu saat air suci dari tujuh sumber disiramkan ke tubuh Puspa oleh sesepuh wanita sebagai simbol penyucian lahir dan batin. Air itu harum, dicampur bunga setaman—mawar, melati, kenanga, dan kantil. Puspa sempat menggigil, tapi juga merasa damai.

Setelah itu, mereka melanjutkan ke upacara kacar kucur, ketika Arya menuangkan biji-bijian, uang kepeng, dan rempah-rempah ke dalam selendang yang digelar di pangkuan Puspa. Itu adalah lambang bahwa sang suami siap menafkahi istri dan keluarga mereka kelak.

Tangannya bergetar kala menerima biji-bijian itu, lalu ia menunduk. “Puspa bakal jagain semuanya, Kangmas,” ucapnya dalam hati.

Setelah itu, prosesi wijikan dilangsungkan. Puspa membasuh kaki Arya dengan air bunga. Awalnya ia merasa sungkan, karena sebagai perempuan Gen Z, membasuh kaki pria tuh kayak... agak canggung. Tapi saat ia menatap wajah Arya yang teduh dan dalam, ia mengerti. Bukan soal tunduk atau kalah, tapi tentang cinta yang dibingkai dengan pengabdian tulus.

Arya menatapnya waktu itu dan berkata pelan, “Mboten perlu isin, Puspa. Iki dudu tandha sira andhap (Tidak perlu malu, Puspa. Ini bukan tanda kau rendah). Nanging tandha katresnan (Tapi tanda cinta).”

Puspa nyaris menangis waktu itu.

Prosesi selanjutnya adalah panggih, yaitu pertemuan pengantin di pelataran istana. Diiringi bunyi gamelan dan tarian sakral, Puspa dan Arya berjalan dari dua arah berbeda, bertemu di tengah, lalu berjalan bersama menuju tempat duduk utama. Puspa masih ingat bagaimana Arya meraih tangannya saat itu. Hangat. Mantap.

Upacara pernikahan mereka dilangsungkan di istana atas titah Baginda Hayam Wuruk. Bagi Sang Raja, Puspa bukan hanya seorang perempuan, tapi simbol langit yang turun ke bumi. Ia disebut sebagai titisan Ken Dedes, karena kejadian upacara besar sebelumnya, saat tubuhnya memancarkan cahaya misterius. Maka, pernikahan ini tak boleh biasa-biasa saja.

Kini, malam telah datang. Dan pintu ruangan itu perlahan diketuk dari luar.

“Puspa…” suara Arya terdengar pelan.

Puspa bangkit dari tempat duduknya. Degup jantungnya makin kencang. Ia membuka pintu sendiri. Di baliknya, Arya berdiri mengenakan pakaian santai berwarna gelap, rambutnya sedikit terurai, matanya tajam tapi lembut.

“Hai…” sapa Puspa lirih.

Arya tersenyum. “Engkau sangat cantik.”

Puspa mengangkat alis. “Makasih, Kangmas. Tapi jangan terlalu formal dong. Santai aja.”

Mereka tertawa kecil. Arya masuk, menutup pintu perlahan.

Beberapa saat mereka hanya duduk berhadapan, diam. Tapi diam yang bukan canggung. Diam yang menyimpan terlalu banyak rasa.

“Kangmas…” ucap Puspa kemudian, “Aku… masih kayak nggak percaya. Kita udah sampai di titik ini.”

“Aku percaya sejak awal,” jawab Arya. “Akalku tak bisa menjelaskan, tapi hatiku sudah merasa.”

Puspa memiringkan kepala. “Kalau nanti… waktu memisahkan kita?”

Arya mendekat. “Aku ora wedi (Aku tidak takut). Wektu bisa owah (Waktu bisa berubah), jagad bisa owah… tapi raos atiku marang sira (tapi perasaanku padamu) ora bakal owah selawase (tidak akan pernah berubah selamanya).”

Puspa menghela napas pelan. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Arya. “Aku juga. Aku janji nggak akan lari lagi.”

Dan di malam itu, tanpa banyak kata, mereka saling mengikat dalam keheningan yang sakral. Lentera tetap menyala, harum bunga masih bertebaran, dan langit Majapahit jadi saksi cinta dua manusia dari dunia yang berbeda, tapi hati yang telah bersatu.

Di dalam dada mereka, hanya satu hal yang pasti—apa pun yang terjadi, cinta ini telah menemukan rumahnya.

Pelita-pelita kecil yang menggantung di langit-langit ruangan perlahan mulai meredup, tapi cahaya cinta di antara mereka justru makin terang. Udara terasa hangat, meski angin malam sesekali masuk lewat kisi-kisi jendela. Suara jangkrik dan gemericik air dari kolam kecil di luar bangunan menjadi nyanyian malam yang menenangkan.

Arya mengangkat tangan Puspa perlahan, menyentuhnya seolah ia memegang sesuatu yang rapuh namun berharga. Tatapan mereka bertemu, dan dalam tatapan itu, tak ada lagi keraguan. Yang ada hanya kepercayaan.

“Dulu, aku pikir hidupku hanya untuk perang dan kerajaan,” bisik Arya, jari-jarinya membelai pelan punggung tangan Puspa. “Tapi saiki aku ngerti. Tanpa cintamu, hidupku hampa.”

Puspa menatapnya, matanya berkaca. “Kangmas… Puspa juga pernah pikir hidup ini cuma kayak layar yang bergerak terus… Tapi sejak ketemu Kangmas, aku ngerti, ternyata waktu bisa berhenti… kalau hati kita tenang.”

Arya tersenyum tipis. Tangannya bergerak perlahan menyentuh wajah Puspa, menyapu helaian rambut yang jatuh di pelipis.

“Puspa…” ucap Arya, suaranya hampir seperti doa. “Apa engkau siap?”

Puspa mengangguk pelan dengan pipi yang bersemu merah. “Puspa sudah siap. Tapi… bukan cuma untuk malam ini. Aku siap jadi istri Kangmas. Jadi rumah buat Kangmas pulang, tiap hari.”

Lalu, tanpa tergesa, Arya mencium keningnya. Sebuah kecupan yang begitu dalam, bukan nafsu, tapi penghormatan. Pengakuan bahwa perempuan di hadapannya ini bukan sekadar pendamping, tapi cahaya yang memandunya pulang dari segala kegelapan.

Puspa merasa seolah tubuhnya melayang. Ia menutup mata, membiarkan semua rasa mengalir, melepaskan beban masa lalu, menyambut masa depan yang kini tak lagi asing.

Arya menariknya perlahan ke pelukannya. Hangat. Aman. Dekat.

“Karena engkau, aku tak takut lagi menghadapi dunia” bisiknya di telinga Puspa.

Waktu berjalan perlahan malam itu, seolah semesta tahu mereka butuh waktu untuk saling menyatu—bukan hanya tubuh, tapi jiwa dan rasa. Mereka saling membuka, bukan hanya kain dan sutra yang membungkus raga, tapi juga lapisan terdalam dari hati yang lama tertutup.

Gemetar yang terasa bukan karena dingin, tapi karena cinta yang tak terbendung. Malam itu adalah malam di mana dua takdir saling merangkul, menulis ulang garis waktu mereka sendiri.

Di luar, langit Majapahit menaburkan bintang-bintang terang, seolah turut merayakan penyatuan itu. Dan angin membawa bisik-bisik lembut, mungkin doa para leluhur yang menyaksikan dari kejauhan, bahwa cinta ini—yang melampaui batas zaman dan logika—telah menemukan jalannya.

Saat Puspa tertidur dalam pelukan Arya, wajahnya damai, senyum kecil masih tersisa di bibirnya. Arya menatap wajah istrinya lama, sebelum akhirnya memeluknya erat. Dalam hati, ia bersumpah

“Apa pun yang terjadi, aku akan menjagamu.”

Dan malam pun berakhir perlahan, meninggalkan jejak yang abadi dalam ingatan mereka berdua. Sebuah malam suci, malam ketika cinta tak lagi butuh kata—karena ia telah menjadi satu tubuh, satu napas, satu jiwa.

Lintang Di Langit Majapahit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang