Ashley benci berdebat, apalagi jika lawannya adalah seorang Dominick McCade. Bukan hanya karena dia berada di posisi tidak pantas untuk melawan, tetapi ini tentang seberapa keras kepala pria itu. Bahkan, jika mereka bertemu tanpa bayang-bayang jabatan, Ashley merasa tetap akan kalah melawannya. Pria itu bukannya memiliki bakat berdebat, melainkan caranya mengintimidasi lawan membuat Ashley pada akhirnya memilih mengalah.
Perdebatan tidak penting itu membuat Ashley berdiri di depan wastafel dengan wajah waspada. Di sana dia mempersiapkan air hangat dan alat cukur. Benar, setelah pria itu beberapa kali menerima penolakan ketika hendak menciumi Ashley—dikarenakan merasa geli oleh rambut di wajahnya—dia meminta wanita itu untuk membantunya bercukur.
Aslinya, rambut-rambut itu bukanlah alasan. Ashley hanya berusaha membatasi diri, meski berada di Toronto berarti mereka sedang menggunakan kartu bebas untuk melakukan hal-hal sesuka mereka tanpa memedulikan status. Namun, dia tidak bisa membiarkan pria itu terus menempel padanya. Kalau Ashley ibaratkan, Dominick seperti anak kecil yang baru tahu rasa permen dan ingin memakannya terus-menerus. Tentunya hal ini tidak boleh terbawa sampai mereka kembali ke New York.
Ashley secara sengaja berlama-lama di kamar mandi, dengan harapan Dominick tidak sabar dan melakukannya sendiri. Akan tetapi, Ashley sudah salah mengira. Ketika dia keluar bersama perlengkapan mencukur, dia dapati Dominick sudah menyamankan posisi—duduk di kursi panjang dekat jendela, dengan handuk putih kecil di atas leher sampai dadanya. Pria itu memakai celana panjang dari setelan piama tanpa atasannya.
Ashley memutar alat cukur kecil di tangan, memeriksa ujung mata pisau dengan seksama sebelum mulai. Itu bahkan bukan yang elektrik, hingga Ashley khawatir pisaunya akan melukai wajah pria itu. Kemudian mengambil sikat busa kecil dan gel shaving dari travel pouch milik Dominick.
“Kau yakin ingin aku yang melakukannya?” tanyanya, sedikit ragu. Matanya menatap ngeri bagian bawah wajah Dominick. Itu adalah aset, tidak boleh ada kesalahan.
Dominick mengangkat sebelah alis. “Aku selalu percaya padamu. Dan juga ... .” Dia menambahkan dengan suara lebih rendah, “Aku suka dilayani seperti ini, olehmu.”
Pipi Ashley memanas, tetapi pura-pura tidak mendengar nada godaan itu. Dia mulai bekerja dari rahang kanan, mengoleskan busa di sana dengan rapi. Gerakannya sangat pelan dan penuh kehati-hatian. Badannya sampai membungkuk hanya untuk melihat lebih dekat. Kulit Dominick terasa hangat di bawah sentuhannya, dan tangan kirinya diam-diam mencengkeram ujung kursi dengan tegang agar tidak kehilangan kendali.
“Akan lebih mudah melakukannya kalau kau duduk di sini.”
“Di mana?” Ashley menegakkan badan lagi untuk memastikan di mana posisi yang dimaksud Dominick.
Pria itu lantas menepuk pahanya. Sungguh, itu membuat Ashley kehabisan kata-kata. Setelah melakukan hal tergila yang membakar gairah kemarin, Ashley belum bisa berhenti terkejut dengan kelakuan Dominick.
“Tidak mungkin,” sahutnya dan kembali melanjutkan pekerjaannya, mengabaikan saran yang diberikan Dominick.
Mata Dominick tidak lepas dari wajahnya. Meski Ashley fokus pada pekerjaannya, tetapi dia bisa merasakan pandangan pria itu, seperti sentuhan tidak kasat mata di pipinya. Dia menjadi gugup dan tangannya seakan-akan bergerak tidak sejalan dengan pikirannya.
“Sepertinya aku memang harus duduk di situ.” Mata Ashley melirik pangkuan Dominick dengan malu-malu. Itu bahkan bukan kali pertama.
Dominick hanya tersenyum dan menepuk pahanya, mempersilakannya untuk segera duduk. Dia mengamati tubuh wanita itu dalam balutan kaos tipis dan celana pendek linen. Rambut Ashley berantakan karena diikat asal-asalan, tetapi justru itulah yang membuatnya terlihat nyata. Sangat hidup.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dare or Jomlo
RomanceSudah lima tahun Ashley berkarier sebagai asisten pribadi Dominick McCade. Selama itu pula dia sering kali melewatkan acara bersama rekan-rekan kerjanya dan tidak punya waktu untuk bersosialisasi di luar kantor, apalagi berkencan. Dia hanya punya sa...