Semuanya berubah setelah kepergian sang Ayah untuk selama-lamanya. Ditakdirkan menjadi anak pertama, Kayana dituntut mengambil alih tanggung jawab sang Ayah dalam hal menafkahi keluarganya.
Lelah? Sudah pasti. Memberontak? Sudah pernah, namun hanya...
Maaf kalau ada typo dalam penulisan. Sebagai bentuk dukungan, jangan lupa VOTE dan KOMENTARNYA ya
••• H A P P Y R E A D I N G •••
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tidur Kayana terusik saat sinar cahaya menyeruak masuk melalui celah-celah tirai, dan menyorot langsung ke matanya. Sesaat ia mengerjap, berusaha menyesuaikan dengan cahaya pagi yang menyilaukan.
Saat Kayana hendak bangun, suara Awindya, sang Ibu langsung menyentaknya.
"Apakah tidur di ruang keluarga lebih nyaman daripada tidur di kamar bersama suamimu? Kamu tidak mendengar apa yang Mama katakan kemarin?" tanya Awindya dengan nada ketus.
Belum sempat Kayana menjawab, Awindya kembali menghujani putrinya dengan kalimat menohok.
"Baru sehari Mama tinggal di sini, tapi sudah banyak menemukan kebiasaan buruk kamu, Kayana!" tuduhnya.
Sesaat Kayana meringis, dahinya mengernyit atas rasa sakit yang menusuk. Alih-alih menanggapi sang Ibu, tangan kanannya dengan spontan memegangi kepalanya yang berat, sementara tubuhnya terasa pegal.
"Bangun Kayana!" Suara Awindya semakin meninggi, membentak keras saat melihat Kayana yang kembali terbaring, seakan tak mengacuhkan kata-katanya.
"Kepala aku sakit, Ma. Tolong biarkan aku tidur sebentar lagi." Kayana memohon dengan suara lirih. Tubuhnya terlalu lemah untuk beradu argumen dengan Awindya, Ibunya.
"Jangan banyak alasan kamu! Cepat bangun, sebentar lagi Damar pulang dari olahraga. Siapkan sarapan untuknya, jangan menjadi istri yang tidak berguna!"
Kata-kata Awindya menusuk tanpa beban, tak peduli dengan perasaan putrinya yang terluka. Mendengar itu, Kayana merasa seperti dihantam ombak besar, sebab tak ada belas kasihan atau empati dalam nada bicara Ibunya. Kata-kata itu hanya berisi tuntutan dan kritik yang terasa mencabik-cabik tanpa rasa ampun.
Sontak Kayana menggenggam erat bajunya, menahan rasa sakit yang menggerogoti dan berharap kata-kata Ibunya itu tak terlalu lama bersemayam di hatinya. Tak ingin mendengar lagi tuduhan yang tak berdasar, Kayana berusaha bangun dan mengabaikan rasa sakit di kepala yang semakin menyiksa.
"Mandi dan rias diri sekarang juga! Meskipun di rumah, kamu harus tetap tampil cantik di mata suamimu. Setelah itu, siapkan sarapannya," perintah Awindya dengan ketus.
Tanpa membalas kata-kata sang Ibu, Kayana berjalan acuh tak acuh menuju kamarnya, mengabaikan Indira yang sedang tampak asik dengan ponselnya, lalu ia masuk ke dalam kamar mandi. Sebenarnya tanpa sang Ibu katakan, Kayana sudah biasa melakukan itu di setiap pagi.
Di dalam kamar mandi, Kayana terdiam dalam keheningan, sorot matanya memancarkan kepedihan yang terpendam. Tanpa suara, air mata jatuh perlahan seakan mengungkapkan rasa sakit yang tak terucapkan. Kenyataannya kata-kata sang Ibu menusuk tepat di sanubari, dan hal itu semakin membuat kepala Kayana berdenyut.