Rating 21+
Kara Periwinkle, seorang penyanyi pop terkenal yang sedang mengalami kejenuhan karier, memutuskan untuk cuti diam-diam ke Hawaii setelah konser dunia yang melelahkan. Di sebuah bengkel motor kecil di daerah North Shore, ia bertemu Zayan H...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
LEO baru saja keluar dari warung makan kecil yang berjarak hanya dua gang dari bengkel Zayan yang tadi sempat ia singgahi untuk berteduh. Suasana sore hari di North Shore benar-benar berbeda dengan Los Angeles. Di sini matahari belum tenggelam sepenuhnya tapi sudah turun perlahan, cahayanya menyorot ke langit dan dedaunan kelapa yang bergoyang tertiup angin. Udara lembab dan asin dari laut membuat napas terasa lengket tapi Leo tak masalah, justru ia menyukai rasa itu.
Perutnya sudah kenyang, ia tadi makan sepiring nasi dengan ikan panggang lokal dan sambal khas Hawaii yang cukup pedas. Mencium tangannya sendiri, uhh.. masih berbau bumbu, Leo tak mau berpikir lama, ia pun mengusapkan tangannya ke celana jeans-nya. Atasannya? Tetap polos, tanpa baju sejak tadi. Ia hanya menyampirkan jaketnya di bahu, benar-benar malas memakainya.
"Damnit... I miss Kara," gumamnya lirih, tapi ia cepat-cepat menggeleng sambil menatap ke depan.
Leo berjalan santai di trotoar, sesekali ia menyapa penduduk lokal yang tengah bersantai di kursi rotan depan toko. Anak-anak berlarian tanpa alas kaki. Seorang nenek tua melambaikan tangan padanya, Leo membalas dengan senyuman sopan yang ramah. Suasana seperti ini membuat Leo merasa di dunia lain jika dibanding kehidupannya yang terburu-buru di Los Angeles.
Langkahnya melambat ketika ia melewati bangunan sederhana bergaya industrial, bengkel yang tadi ia datangi.
"Zayan..." gumam Leo, mengingat nama cowok berotot dengan wajah cool itu. Ada yang aneh dari obrolan tadi siang, pikir Leo. Sikap Zayan seolah agak menutup diri. Tetapi Leo juga bukan tipe orang yang langsung menuduh atau sok tahu.
"Kayaknya dia kenal Kara deh... Tapi masa iya?" pikirnya.
Leo mengusap wajahnya, lalu tertawa sendiri. "Gue udah kayak detektif nyari cewek sendiri..."
Ia terus berjalan. Suara ombak dari kejauhan masih terdengar. Sinar sore membuat bayangannya panjang di trotoar. Ia menengok kiri dan kanan, mengingat rute ke hotel yang ia tempati. Tidak jauh, hanya sepuluh menit jalan kaki. Namun entah kenapa, langkahnya terasa berat. Mungkin tidak karena capek, tapi karena isi kepalanya terus berputar di situ-situ saja.
"Kara... where the hell are you hiding?"
Ia membuka ponselnya sambil berjalan, membuka aplikasi galeri dan melihat salah satu foto Kara. Foto candid waktu mereka nongkrong bareng setelah konser kecil di L.A. Rambut Kara waktu itu diikat tinggi, keringat masih menempel di wajah, tapi senyumnya, ah.. senyumnya masih sama seperti yang ia ingat sekarang.
Leo berhenti sejenak di trotoar, menatap layar ponselnya sambil menarik napas dalam-dalam. "Lo mungkin bisa lari, Kara... tapi nggak bisa ngilang terus."
Ia menyimpan ponselnya lagi ke saku celana, lalu menatap ke depan.
Tak sadar, di saat bersamaan dari kejauhan di sisi seberang jalan, seseorang juga sedang berjalan. Cewek, rambut panjang kecoklatan yang tergerai ke belakang. Memakai kaos putih longgar dan celana jeans pendek. Gerakannya cepat, langkahnya kecil-kecil seolah sedang terburu. Hanya saja Leo belum melihatnya.