Takdir mempertemukan mereka, mereka berbeda, tapi memiliki satu kesamaan, luka yang tak kasat mata. Hidup membawa mereka ke dalam perjalanan penuh kehilangan, harapan, dan perjuangan. Dalam dunia yang terus melukai, mereka menemukan tempat untuk ber...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
♧♣︎♧♣︎♧
“Jadi… bokap lo udah pulang?” tanya Bayu di sela-sela makan siang mereka—nasi goreng kantin, dua botol air mineral, dan topik obrolan yang kadang ringan, kadang menyayat, kadang-kadang juga kidding.
Tirta mengangguk pelan, tanpa beban. Seolah jawaban itu tak butuh penjelasan panjang.
Bayu mengerutkan dahi, matanya melirik plester luka di pelipis Tirta, “Itu gara-gara bokap lo juga?”
Tirta kembali mengangguk, masih dengan nada santai. “Iya.”
Bayu meringis kecil, refleks menyentuh pelipisnya sendiri seolah ikut merasakan ngilu yang sama. Mereka sudah cukup lama berteman untuk tak perlu banyak basa-basi. Sudah saling terbuka dan tahu luka masing-masing. Tirta tahu soal drama dan kekerasan dalam rumah tangga yang disembunyikan ayah Bayu di balik nama besar dan pencitraan keluarga harmonis. Dan Bayu tahu bagaimana bapak Tirta bisa jadi monster dalam wujud manusia—keras, temperamental, dan penuh tuntutan yang menyakitkan.
“Lo bela diri sekali-kali gapapa kali, Ta,” celetuk Bayu, setengah bercanda, setengah serius.
Tapi Tirta menggeleng pelan. “Gabisa. Semalam dia pulang mabuk. Gue nyaut dikit aja bisa makin babak belur.”
Bayu tak membalas. Hanya mengangguk pendek, menahan cerita lain yang sebenarnya ingin ia bagi—tentang pertengkaran keras antara kedua orang tuanya semalam, suara benda pecah, dan ibunya yang kembali mengurung diri di kamar. Tapi ia tahan, karena menurut nya Tirta sudah cukup terbebani.
Beberapa saat kemudian, Bayu mengalihkan topik, matanya menelusuri area kantin. “Lo liat Bang Shaka gak? Biasanya jam segini dia nongol di kantin, atau minimal mampir beli kopi.”
Tirta mengangkat bahu. “Jangan tanya gue. Dari pagi kita bareng terus, inget? Kita beda jurusan, beda semester juga.”
Obrolan mereka terpotong saat Yuda muncul dari arah belakang, membawa seporsi siomay dengan aroma menggoda. Ia duduk santai di sebelah Bayu.
“Gue duduk sini ya,” ucapnya singkat.
“Eh, Bang Yuda.” Bayu menyambut dengan senyum nakal. “Udah doyan makanan kantin sekarang?”
“Nyoba aja. Wanginya enak,” jawab Yuda, lalu mulai menyendok siomay ke mulutnya. Enak juga, pikirnya.
Sambil makan, ia melirik ke arah Tirta dan Bayu. “Eh, lo berdua satu gedung sama Hanan, kan? Ketemu dia nggak tadi?”