Raihan memberikan obat tersebut pada Shafa
"Harga empat ratus ribu." ucap Raihan.
Shafa tampak mengecek uang di tasnya. Astaghfirullah, uangnya kurang. Ia tampak bingung, bagaimana mungkin ia mau ngebon di apotek. Ia mencoba berfikir tapi otaknya sudah tak bisa diajak kompromi karena semua orang yang mengantri menatapnya dengan pandangan heran.
Raihan menatap Shafa yang menunjukkan raut bingung.
"Kenapa?"
Mau tak mau Shafa harus jujur. "A--anu, itu mas ini uang saya kurang." ucap Shafa dengan menunduk.
"Saya cuma punya dua ratus lima puluh ribu." ucap Shafa sambil meletakkan uang itu didepan Raihan.
Raihan tersenyum penuh arti dibalik masker nya. Selama ini, ia kurang memperhatikan Shafa. Ia terlalu sibuk dengan tujuannya.
"Yaudah gak papa."
Shafa membulatkan matanya. "Beneran gak papa?"
Raihan mengangguk. "Ini obatnya."
"Saya janji besok saya bakal bayar. Terimakasih."
"Gak usah, gak papa."
"Besok saya ke sini lagi. Terimakasih ya."
Raihan tersenyum menatap kepergian Shafa. Ia harus segera memberitahu Shafa karena ia ingin melamarnya.
***
Raihan memasuki rumahnya dan mendapati papah serta mamahnya menonton tayangan televisi. Aluna tersenyum dan menghampiri putranya tersebut.
"Kok baru pulang?" tanya Wijaya pada Raihan yang melepaskan kaos kakinya.
Raihan menatap mamahnya yang tersenyum padanya.
"Raihan habis kerja Pa."
"Apa?!?"
Raihan menghela nafas. "Maaf sebelumnya kalau Raihan belum sempat cerita ke Pala. Raihan ingin melamar Shafa."
Lagi-lagi ucapan Raihan membuat papahnya kaget. Namun, beberapa detik kemudian Aluna mengusap bahu suaminya agar sedikit tenang. "Kerja apa kamu?" tanya Wijaya.
"Asisten apoteker."
"Itu kan gak di kebidangan kamu Raihan. Lagian kamu belum lulus kuliah lo."
"Raihan sudah memikirkan ini dengan matang Pa. Raihan ingin segera melamar Shafa."
"Yasudah, tapi kalau ada apa-apa langsung kasih tau Papa jangan kaya gini lagi."
Raihan tersenyum, Alhamdulillah papahnya tidak marah dan tidak mempermasalahkannya.
"Terimakasih Pa."
***
Di kantin kampus seperti biasa, penghuni sangat ramai hingga para penjual sedikit kewalahan. Sampai ada mahasiswa yang membantu mereka berjualan saking banyaknya. Shafa memilih untuk membawa bekal sendiri dari rumahnya. Ia berfikir itu lebih praktis dan hemat juga tentunya. Fathia dan Meysha tampak membawa se-mangkuk Bakso dan segelas lemon tea.
"Haih, lapar banget." ucap Meysha lalu berdoa dan memakan bakso di depannya.
"Eh, nanti pulang kuliah kalian sibuk gak?" tanya Shafa disela ritual makannya.
"Gue sih nggak, emangnya kenapa?" ucap Fathia.
"Bantuin hias kedai dong, pliss." ucap Shafa dengan memelas.
"Kedai? Kedai apaan?" tanya Meysha.
Jadi Shafa harus menjelaskan tentang kedai tersebut. Tentang keuntungan dari seorang lelaki yang memberinya sebuah gerobak dengan senang hati, namun hasil penjualan tersebut di bagi dua dengan lelaki tersebut.
Fathia dan Meysha tampak menganggukkan kepala. "Oke, kita bantuin." ucap Meysha dan diangguki dengan Fathia.
"Fa, lo gimana sama Raihan? Gue udah gak pernah liat kalian bareng lagi." tanya Meysha yang telah menghabiskan baksonya.
"Emm--itu, gak tau sih. Aku juga jarang ketemu dia." ucap Shafa dengan ekspresi yang mulai berubah.
"Posthink aja, mungkin dia banyak urusan kali Fa." Fathia memang tahu kalau Raihan sedang bekerja di apotek, Regan yang memberitahunya. Tetapi ia tak boleh memberitahu hal tersebut pada Shafa. Entah karena apa, mungkin Raihan menguji kesetiaan Shafa kali ya.
Shafa hanya bisa mengangguk dan tersenyum pengertian. Tapi hatinya tak bisa dibohongi, ia rindu sosok Raihan yang selalu di dekatnya.
TbC

KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu [SELESAI]?
RomanceTak ada yang tak mungkin di dunia ini. Sepucuk kertas yang kutulis dengan torehan tinta sederhana mampu merubah kenyataan hidupku. Aku selalu dan akan selalu percaya akan takdir yang Allah gariskan untukku. Kuharap, esok nanti dirimu masih sama sepe...
25. Teruntuk [Kamu]?
Mulai dari awal