Ternyata benar Tiara tidak seberani itu untuk minta maaf secara langsung pada kedua orang tua Deka. Tepat satu hari setelah pemakaman, kedua orang tua kandungnyalah yang mendatangi rumah duka dan mengatakan maksud kedatangan mereka. Tak di sangka kedua dokter itu memaafkan bahkan mengatakan kalau Tiara tidak bersalah, ini semua sudah menjadi takdir anak mereka yang tak bisa di elak lagi. Dua orang baik itu juga mengatakan kalau semua biaya rumah sakit Tiara akan di tanggungnya karna mereka merasa ikut bertanggung jawab akan kecelakaan itu.
Kini sudah hampir satu tahun berlalu setelah kejadian itu dan Tiara hampir setiap harinya merasakan perasaan bersalah. Beberapa bulan belakangan, dia berkali-kali datang ke rumah besar kedua orang tua Deka, tapi sayangnya baru sampai di pagar tiba-tiba nyalinya menciut hingga memutuskan untuk kembali ke rumah.
"Foto siapa di tangan lo, Ti?" Tanya seseorang sambil merebut selembar foto di tangan Taira yang sedang melamun. "Ih, ganteng banget. Pacar lo ya?"
Tiara menggeleng lemah tanpa repot-repot merebut foto di tangan Lisa. "Bukan, dia sahabat gue yang udah meninggal."
Lisa buru-buru mengembalikan foto itu pada pemiliknya dengan wajah ngeri. "Bercanda lo ngga lucu ah, Ti. Serius dia udah... meninggal?"
"Gue ngga bercanda." Ucap Taira sambil menunduk untuk menatap foto remaja laki-laki yang sedang tersenyum lebar. Di lihat dari manapun sosok Deka memanglah idaman perempuan-perempuan di mulai dengan memiliki wajah ganteng, terlahir dari pasangan dokter, bersikap kalem dan terlihat seperti anak yang tidak banyak tingkahnya. Tapi jika Tiara mengatakan pada orang baru melihat foto ini kalau sebenarnya Deka adalah orang yang jail serta keras kepala maka bisa di pastikan tidak ada yang akan mempercayainya. Sama seperti kenyataan saat ini, kalau sosok itu telah menyatu dengan tanah selama nyaris satu tahun lamanya dan itu semua terjadi di depan mata Tiara.
"Tapi cowok itu kelihatannya masih muda banget, Ti. Kayak seusia lo, masa sih udah meninggal?"
"Kenyataannya dia memang meninggal di usia muda, lebih tepatnya saat usianya delapan belas tahun." Tiara mengusap foto itu dengan tangannya kemudian meletakkan di ranjangnya.
"Kenapa? Kecelakaan atau sakit?"
Karna permintaan gue sayangnya perkataan itu hanya mampu di ungkapnya di dalam hatinya. Tiara datang ke Jakarta tak hanya untuk kuliah saja melainkan untuk kabur dari rasa bersalahnya, tapi alih-alih sembuh rasa itu semakin membesar hingga berkali-kali dia ingin pulang untuk sekedar meminta maaf secara langsung kepada dua orang tuanya Deka. Namun, baik ayah dan ibunya menentang keras keinginannya selain karna tiketnya yang mahal mereka juga meyakinkan kalau orang tua Deka sudah memaafkannya.
"Kok ngga di jawab, Ti? Padahal gue penasaran."
"Kecelakaan." Tiara kemudian mengambil lembar foto itu lalu bangkit meninggalkan ranjangnya untuk mendekati lemari. Dia meletakkan lembar foto itu di dalam laci dan kembali mendekati Lisa yang masih duduk di tempat tidurnya. "Lo ngga ke kamar, Lis? Gue ngantuk soalnya."
"Malam ini gue boleh tidur di sini aja ya... Ti? Gue takut balik ke kamar dan tidur sendirian," ungkapnya sambil memasang wajah permohonan.
"Ngga ada ceritanya tidur di kamar gue!" Tolak Tiara tegas sambil meraih satu tangan Lisa dan sedikit menariknya mendekati pintu. "Sana, tidur di kamar lo sendiri!"
"Tapi, Ti, gue tak–"
"Takut apaan sih, Lis? Hantu itu ngga ada." Tiara masih mendorong Lisa untuk keluar dari kamar asramanya, tapi temannya itu mengeraskan tubuh hingga membuatnya tidak bisa bergerak dari pintu yang sudah terbuka.
"Mereka ada, Ti. Gue dulu–"
"Oke, hantu itu emang ada tapi bagi siapa yang tidak menjalankan salatnya." Tiara tidak lagi mencoba mendorong Lisa. Sekarang dia menatap perempuan yang berkuliah jurusan yang sama dengannya itu dengan malas. "Gue heran sama lo sumpah, takut sama hantu tapi ngga takut sama mayatnya!"
"Mayat dan hantu dua hal yang ber–"
"Sama," potong Tiara cepat. "Sama-sama berawal dari manusia."
"Tapi alam mereka itu ngga sama, Ti!"
"Nah lo tahu mereka udah beda alam sama kita, tapi masih aja di takuti?" Tiara menggeleng lalu dengan dorongan pelan, dia berhasil membuat Lisa keluar dari kamarnya dan tak lupa menutup pintu sebelum temannya itu sadar apa yang sudah di lakukannya. "Udah, berhenti aja kuliah kedokteran, Uni Lisa!"
"Ti... Tiya... Tiara! Tolong, Ti... buka pintunya, gue takut." Ucap Lisa sambil mengedor pintu kamar Tiara yang sudah melangkah santai mendekati ranjang. "Tiara...! Siapa suruh tadi cerita orang meninggal sama gue? Kan sekarang gue jadi takut dan pastinya gue bakalan sulit tidur."
"Pejamkan mata aja, Lis, pasti lo bakal tertidur." Tiara menjawab dengan suara kecil agar tidak bisa di dengar Lisa. Bukannya Tiara tidak ingin mengizinkan Lisa atau siapapun tidur dengannya, tapi baik kamar atau ranjang miliknya berukuran kecil.
Dari pertama kali Tiara menempati kamar asrama ini lebih tepatnya beberapa bulan yang lalu, dia sudah mendapati ukuran ranjang yang muat untuk satu orang saja. Selain itu kamarnya juga berada dekat dengan dapur berbeda dengan kamar Lisa atau ke tiga teman satu asrama lainnya. Tapi walau begitu Tiara tidak mempermasalahkannya yang penting dia bisa kuliah dan tidur di tempat yang nyaman.
Kedua keluarga baru dari kedua orang tuanya juga sudah melihat kondisi kamarnya dan sempat menawarkan untuk mencari indekos saja, tapi dengan sopan Tiara menolak. Dia tidak ingin semakin merepotkan mereka, cukup memberikannya uang jajan bulanan saja sebenarnya sudah membuat Tiara tidak enak, tapi sebagai anak dia juga merasa kalau itu sudah kewajiban mereka.
"Apa sih Lis malam-malam berisik ngga jelas?" Tiara memasang kedua telinganya dengan baik untuk mendengar teguran dari salah satu pemilik kamar yang ada di asrama ini. "Mana di depan pintu kamar Tiara lagi."
"Dian, tolong gue."
"Apapun asalkan tidak numpang tidur di kamar gue," ungkap perempuan bernama Diandra itu.
"Kenapa sih lo sama anak-anak di sini ngga mau banget gue tidur di kamar kalian? Oke, kecuali kamarnya Tiara soalnya kecil, tapi waktu Kak Dini masih nempatin kamar itu... gue bisa tidur di bawah beralaskan tikar kok. Tapi kalau kamar lo dan yang lainnya kenapa–"
"Andai aja tidur lo ngga lasak kayak Aurel, gue mah oke-oke aja biarin lo tidur di kamar gue. Tapi nyatanya... udah lasak, berisik dan suka berjalan malam-malam lagi! Lo pasti tahu juga, Lis, tiap malam kami bergantian memastikan... bahkan berkali-kali kalau sudah mengunci semua pintu dan jendela dengan baik. Coba deh lo pikir itu semua untuk siapa? Untuk lo, Lisa! Supaya kebiasaan tidur lo yang jelek itu ngga membuat kita semua dapat masalah."
Penjelasan panjang lebar dari Diandra membuat ras bersalah yang di rasakan Tiara terangkat. Sebenarnya hampir setiap malam apa lagi malam Jumat, Lisa selalu merecoki mereka semua agar bisa tidur di kamar mereka. Tapi baik Tiara, Diandra, Aurel dan Saskia, selalu punya cara untuk menolaknya lalu besok harinya mereka akan bersikap biasa saja. Seolah tak pernah terjadi apapun masalah.
•••
Masih tes ombak serta berusaha menyelesaikan cerita Tidak Seharusnya Jumpa jadi semoga kalian mau bersabar menunggu Kontrak 365 Hari update lagi. Tapi tenang aja, aku akan usahakan update satu Minggu sekali.
Terima kasih dan jangan lupa tinggalin jejaknya...
Note : Bab selanjutnya kalian akan bertemu Jovandra

KAMU SEDANG MEMBACA
Kontrak 365 Hari
Romance"Mau saya maafin, kan? Tapi ada syaratnya kamu harus jadi pacar saya selama satu tahun." Tiara tidak pernah menduga perjuangan untuk mendapatkan maaf dari Jovandra malah membuatnya terjebak dalam hubungan yang tidak di inginkannya. Note: Di saranka...