Perfect Secrets ✓

By A-thenaa

9.4K 924 63

[COMPLETED!] [SERI-1] Aku tahu duniaku hanyalah berisi tentang hancurnya kepercayaanku pada sebuah hubungan... More

|As Always|
Intro; Who Am I
1. I Hate Man!
2. | Jeon skandal
3. | The Car
4. | Apartment
5. | Pool Party
6. | Run! But No!
7. | We done!
8. | Who dis?
9. | Actually, Never
10. | You've to stay
11. | Be Friend?
Outro; Still our
SEASON 2 ; BE KIND
Intro; Who Am I
1. | Hate Man!
3. | The Car
4. | Apartment
5. | Pool Party
6. | Run! But, No!
7. | We Done!
8. | Who Dis?
9. | Actually, Never!
10. | You've to stay
11. | Be friend?
Outro; Still Our
SEASON III ; TIC TAC TOE
Intro; Who Am I
1. | Hate Man!
2. | Jeon Skandal
3. | The Car
4. | Apartemen
5. | Pool Party
6. | Run! But No!
7. | We Done!
8. | Who Dis?
9. | Actually, never!
10. | You've to stay
11. | Be Friend?
Outro ; Still Our
The Ending was Never Ending
The End of Tic Tac Toe
Friendshi(t)p
JUST ANNOUNCE

2. | Jeon Skandal

195 20 0
By A-thenaa

Terkadang seseorang butuh lari untuk melampiaskan sesaknya. Tidak jarang seseorang butuh mendekam dalam jurang sesal untuk meredakan apa yang membuat dadanya seperti terhantam batu besar. Sesak dan panas. Sakit dan tentunya sangat menyiksa. Luka lama memang ditakdirkan ada guna membuat seseorang mampu memandang dunia dengan cara yang berbeda. Dengan pandangan baru dan dengan warna baru yang lebih indah pun lebih dari yang sebelumnya.

Ada kalanya sesuatu hadir sebagai cara Tuhan menbuatmu tersadar bahwa dunia ini memang tidak jarang mengajakmu bercanda. Bagaimana cara takdir menjungkir balikkan hidupmu kadang membuatmu tertawa sinting kemudian menangis tanpa bisa dihentikan sebelum ada yang merengkuhmu kelewat erat.

Ingin berteriak, menjerit sebisanya hingga pita suara tak lagi mampu membuat harmoni keluar melewati dua bilah bibir. Namun, pada kenyataannya diam adalah yang terbaik. Diam untuk membuat diri kembali pada jalan yang benar kendati sesak terus menjalari seluruh arteri. Kendati begitu, diam juga bukanlah satu-satunya jalan yang bisa membawamu keluar dari kegelapanmu sendiri. Ada cara lain, lebih indah, dan lebih menyenangkan dan lebih hangat. Yaitu; melebur bersama dengan semesta lain yang sama kelamnya.

Begitulah selama ini Yerin bisa bertahan hidup. Terkadang ia berlari sejauh mungkin meninggalkan kenyataan, menetap pada gua kesepian, lalu berakhir berjalan gontai untuk kembali pada hakikatnya yang semula. Kesakitannya seolah adalah kutukan semesta, mengikutinya layaknya bayangan. Tak ingin enyah kendati Yerin sangat ingin setidaknya untuk hidup tanpa bayang-bayang masa lalunya.

Malaikat. Seorang wanita yang harusnya Yerin panggil sebagai malaikat tak bersayap seperti yang teman-temannya katakan saat perayaan hari ibu, nyatanya hanyalah seseorang yang termakan oleh cinta palsu dari seorang pria lalu melahirkan dirinya dan meninggalkan dirinya di sebuah tempat penampungan anak yang tidak diharapkan. Namun kendati Yerin membenci ibunya, Yerin tak pernah berhenti untuk setiap malam merindukan seperti apa rasanya rengkuhan seorang ibu. Sehangat apa kasihnya hingga orang-orang mengatakan bahwa seorang ibu adalah sosok malaikat. Bukankah malaikat adalah makhluk terbaik Tuhan? Apa memang benar seorang ibu adalah sebaik malaikat?

Yerin hanya bisa tersenyum cemas, gelisah yang menjalar memenuhi setiap jengkal tubuhnya. Bibirnya menyungging mematri senyum lainnya; seringai. Nyatanya isi kepalanya bukan hanya terisi oleh haru yang merebakkan kelopaknya dengan air mata, namun lebih pada dia sedang menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan kenapa pula ia harus merindukan manusia yang tak pernah menginginkannya ada. Seseorang yang tak pernah mau melihat wajahnya. Seseorang yang tak pernah menganggap dirinya adalah berkat semesta.

Omong kosong. Nyatanya, yang harusnya ia panggil ibu, penyemangat kala ia merasa hancur, wanita itu telah menemui hancurnya lebih dulu dengan memilih bersama Tuhan yang mungkin tidak menghakiminya sama seperti manusia lain memandangnya.

Yang Yerin tahu selama ini adalah; ibu hanyalah manusia yang melahirkannya. Dan ia berterimakasih untuk itu. Setidaknya dulu ia tidak di aborsi dan itu mungkin akan terasa lebih menyakitkan. Bagaimana rasanya dibunuh sebelum melihat pelangi? Menyedihkan!

Terkait dengan apa yang Jungkook katakan tadi malam. Tentang dirinya yang sudah berjanji pada Yerin untuk bersedia menuruti perkataannya. Sekarang Jungkook benar-benar melakukannya; menemui sang ibu.

Untuk kali pertama kaki Jungkook pada akhirnya kembali menginjak lantai marmer rumahnya setelah sekian lama. Bertahun lamanya ia tak pernah lagi menginjakkan kakinya pada bumi dimana pernah ada keceriaan yang tak pernah bisa terulang. Kebersamaan yang pernah mengisi hari-harinya dengan senyuman. Lalu mendadak kilas balik memori itu membuat Jungkook hampir saja berbalik untuk kembali ke dalam mobilnya. Langkahnya hampir saja mengayun untuk kembali meninggalkan ambang masa lalunya itu, pintu rumah besarnya. Rumahnya. Namun dengan secepat kilat, pergelangan tangannya terasa dicekal kuat. Jungkook menoleh kebelakang, itu Kim Yerin.

Kim Yerin sudah berjanji pada Jungkook untuk menemaninya, membersamainya, dan selalu disampingnya. Dan Yerin tentu saja menepati apa yang dirinya ucapkan. Ia percaya bahwa janji ada hanyalah untuk ditepati, bukan untuk diingkari. Kendati terkadang pengingkaran dibutuhkan untuk beberapa janji, namun bagi Yerin, janjinya adalah apa yang telah ia pikirkan dengan baik. Dan Yerin tentu saja telah memikirkannya dengan baik sebelum mulutnya mengucapkan janji itu.

Pun karena dalam benak terdalamnya, ia juga hanya ingin Jungkook. Tak peduli pertemanan dua gender yang tak pernah akan berjalan dengan semestinya, Yerin hanya ingin Jungkook terus bersamanya sebagai temannya, sahabatnya.

"Jungkook..." lirih Yerin. Jungkook kembali mendekat. Langkahnya kembali kearah dimana Yerin berdiri. Berpijak ditempat yang seharusnya dirinya pijak. Didepan pintu, sebelum akhirnya Yerin menekan bel rumah itu.

"Yerin..." lirih Jungkook.

Jungkook tidak siap. Bukan karena ia akan menangis atau malah akan bersikap brutal karena bagaimana pun rasa kecewanya seolah tak pernah bisa mereda kendati sekarang ia telah dewasa. Kecewanya bukan hal yang bisa dianggap biasa, perpisahan itu menyakitkan untuk Jungkook. Bahkan bukan hanya satu atau dua hari, melainkan sudah bertahun-tahun berlalu dan rasa kecewa itu seperti terus membumbung tinggi diatas akal sehatnya. Jungkook hanya takut kalau nanti dirinya tidak bisa mengendalikan diri saat kedua obsidiannya memandang wajah ibunya. Ia hanya takut akan dirinya sendiri, bukan hal lain. Kendati ia meminta untuk waktu siapnya, Jungkook sebenarnya tidak pernah merasa siap.

Yerin menggenggam tangan Jungkook. Sementara manik hazelnya memandang lurus tepat di kedua galaksi indah milik sahabatnya. Disana dirinya bisa melihat, banyak benang merah yang jadi ketakutannya. Entah ketakutan akan hal apa, namun Yerin hanyalah ingin membuat Jungkook tenang. Ia tahu Jungkook sedang gelisah, maka sebenarnya yang Jungkook butuhkan bukanlah kalimat panjang lebar, melainkan hanya sentuhan menenangkan. Atau sebuah pelukan, atau hanya sebuah genggaman.

Yerin tahu apa yang sedang dirinya lakukan saat ini adalah memaksakan Jungkook, namun dengan berbekal ia tidak mau Jungkook menyesal dikemudian hari, Yerin memberanikan dirinya. Ia tidak peduli pun jika nanti Jungkook mungkin akan mulai membenci dirinya karena ia paham betul bagaimana Jungkook yang tidak akan pernah mau diperintah, apalagi bertindak bukan karena kehendaknya sendiri. Dan bagi Yerin, yang terpenting sekarang adalah Jungkook bertemu dulu dengan ibunya. Perkara nantinya Jungkook masih tidak bisa mengendalikan kekecewaannya, setidaknya Jungkook telah mencoba berdamai dengan dirinya sendiri.

Yerin melakukannya bukan tanpa dasar. Dan bukan tanpa alasan. Semua yang Yerin lakukan adalah berdasarkan apa yang menurutnya adalah benar. Meskipun yang sebenarnya terjadi, Yerin telah berusaha melihat dari berbagai sudut pandang dari waktu-waktu yang lalu. Tepatnya setelah dirinya sering bertemu dengan Taehyung dan membicarakan banyak hal. Disana dia mulai mengerti seperti apa dulu Jungkook benar-benar tidak pernah bisa menerima keputusan ibunya yang menikah lagi.

"Yerin..." ujar Jungkook lagi. Suaranya mulai terdengar gemetar, tangannya juga dingin luar biasa.

"Aku disini, Jeon," ucap Yerin sembari mengusap-usap punggung tangan Jungkook dengan ibu jarinya. Namun, semakin ia berusaha membuat Jungkook tenang, semakin gencar pula kegelisahan yang Yerin rasakan dari pergerakan asal dari jemari Jungkook didalam genggaman tangannya. Terlebih saat suara kenop pintu ditekan hingga dua pintu besar itu terbuka semakin lebar. Rasa-rasanya Yerin ikut bisa merasakan betapa sekarang tangan Jungkook menggenggam terlalu kencang. Ingin memekik protes, namun Yerin kembali sadar akan sikap Jungkook yang sekarang ditunjukkan.

Yerin sempat menoleh kearah Jungkook. Air mukanya telah memerah tersorot lampu yang begitu terang dari dalam. Rahangnya mengeras dan genggamannya kian menguat di setiap detiknya. Namun matanya mengatakan hal lain. Ada beberapa emosi yang melebur terlalu banyak. Kecewa, rindu, amarah, dan ketulusan. Semuanya tergambar begitu indah dalam sorotnya. Sorot obsidian yang menusuk lurus pada seorang wanita yang memakai pakaian formal dengan begitu elegan.

Wanita itu auranya begitu mahal dan indah. Pakaiannya sudah barang tentu adalah dari brand kenamaan Korea. Setelan blazer rok selutut. Warnanya biru dan kelihatannya wanita itu akan menghadiri acara resmi. Rambutnya sebahu dan dibuat melengkung kedalam, khas sekali wanita karir yang sukses. Dan dia adalah ibunya Jungkook. Secantik itu, Yerin jadi paham mengapa Jungkook bisa setampan dewa Yunani. Benar-benar berasal dari serbuk berlian.

Jika sedari tadi Yerin hanya memperhatikan bagaimana air muka Jungkook, maka detik berikutnya Yerin mencoba melihat dengan baik ekspresi apa yang wanita itu tunjukkan setelah melihat putranya yang tiba-tiba berada didepan pintu rumahnya. Tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, alias segalanya serba mendadak.

Nyatanya wanita itu menunjukkan wajah yang bisa saja Yerin katakan bahwa wanita itu mungkin terkejut setengah mati. Nampak sekali pada matanya bahwa wanita itu hampir saja membuat tubuhnya sendiri limbung kalau saja tangannya tidak langsung meraih gagang pintu. Yerin yang ikut terkejut pun, langsung berlari dengan cekatan membantu wanita itu untuk duduk didalam. Biarlah ia dikata tidak sopan, karena baginya yang terpenting sekarang adalah wanita itu bisa duduk dengan benar. Tidak jatuh pingsan karena melihat anaknya yang keras kepala itu.

Secara reflek saja wanita itu, Kim Nana. Ibu Jeon yang sekarang masih menggunakan marga aslinya. Berujar lirih. Begitu lirih, hingga Yerin yang sedari tadi terus memegangi lengannya pun hampir saja tidak mendengarnya. Bukan perkara Yerin yang mungkin sedikit tuli, namun nyatanya wanita itu berujar terlalu lirih. Tidak jelas apa yang dia katakan, namun samar-samar Yerin bisa mendengar kata; 'Anakku.'

Iya. Yerin paham. Jungkook itu anaknya. Terlebih adalah anak satu-satunya. Meskipun ada anak sambungnya, tetapi anak biologisnya hanyalah Jeon Jungkook. Bocah laki-laki yang telah mandiri sekarang. Telah tumbuh begitu baik, dengan wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang bagus. Jungkook, anaknya kini telah tumbuh dewasa.

Ketiganya sekarang telah duduk di sofa ruang tamunya yang begitu besar. Hanya ruang tamu saja, namun Yerin merasa seperti berdiri ditengah stadion bola. Luas sekali. Sulit menjabarkannya. Terlalu indah menurutnya. Interiornya juga berbau itali. Dari mulai gaya dan cat nya. Hampir semuanya putih dan coklat untuk segala meubel mahalnya. Belum lagi lampu kristal yang berada ditengah-tengahnya. Sangat cantik dan sudah pasti harganya selangit.

Yerin tak sempat duduk disisi Jungkook. Ia malah memilih untuk terus mendampingi ibunya Jungkook. Karena nyatanya memang ibunya Jungkook kelewat terkejut, seperti mendapatkan berlian atau bahkan lebih dari itu. Air matanya telah turun mengenai pipi, sedangkan disisi depannya, Jungkook memilih untuk memalingkan wajahnya dengan seringaian tajam yang menyebalkan. Apalagi dengan gerakan tambahan seperti mengunyah permen karet, padahal tidak sama sekali. Itu adalah sirat meremehkan. Dan kemungkinan besarnya sekarang , Jungkook hanyalah sedang menilai air mata ibunya hanyalah air mata buaya.

Jungkook telah sedari dulu menahan geram pada apapun itu, semesta dan dunianya. Dan dengan begitu, ia merasa apa-apapun yang berhubungan dengan rumah ini selalu saja membuat Jungkook rasanya kesal sendiri. Jengkel tetapi Jungkook pun tak tahu harus melampiaskannya kemana. Pada apa. Dan pada siapa. Pun jika ia memilih hanya diam, itu akan sama-sama membuat dirinya sendiri terluka kelewat dalam lagi. Luka lamanya kembali mengangah dengan pongah. Seolah menertawakan Jungkook untuk tangisnya yang merebak kembali tanpa dirinya sadari.

Jungkook pada akhirnya memilih untuk berdiri. Menatap wanita yang notabene nya ibunya dengan sorot kebencian yang Yerin baru lihat. Padahal sedari tadi ia hanya mampu membaca sirat kecewa,namun yang sekarang terlihat, semuanya begitu abu-abu.

Beberapa detik setelahnya Jungkook menatap Yerin. Seolah terjadi perbedaan yang begitu signifikan untuk sorot mata Jungkook yang menatapnya penuh kasih. Sangat berbeda kala Jungkook menatap wanita itu beberapa detik yang lalu.

"Maaf. Sepertinya aku harus pergi. Aku salah rumah."

Jungkook menunduk memberi hormat setelah menyelesaikan kalimatnya. Kemudian tanpa ada rencana, Jungkook menarik pergelangan tangannya dan membuat Yerin segera bangkit lalu menabrak tubuh Jungkook secara tidak santai. Meskipun tidak menyakitkan, namun tetap saja ia terkejut setengah mati. Jungkook harusnya tidak seperti ini. Rencana awalnya jelas tidak seperti ini.

Tidak anehnya, wanita itu tetap diam dengan sirat sendunya. Tidak menyahut ataupun melakukan hal lainnya. Pun Kim Yerin yang sekarang telah digenggam tangannya oleh Jungkook, rasanya canggung dan tidak enak sendiri. Jungkook telah berlari terlalu jauh dari garis rencana awal.

"Kita pulang. Aku tidak mau disini," ucap Jungkook dengan nada suara yang sengaja diperjelas.

Yerin tahu. Jungkook jelas sengaja melakukannya agar wanita itu mendengar sekalian. Itulah tujuan Jungkook. Rasanya terlalu muak masuk kembali pada masa lalunya. Ia dulu tidak pernah berpikir akan datang ke rumah ini lagi setelah memutuskan untuk kabur kerumah ayahnya. Namun sekarang semuanya hanya tinggal kalimat tak bertuah. Apa yang dulu ia yakini, sekarang telah terkikis habis. Karena nyatanya, Jungkook kembali ke rumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan manis yang jika diingat akan membuat pening isi kepala. Terlalu menyiksa. Karena Jungkook sadar bahwa sampai kapanpun, waktu-waktu dan momen-momen yang ada didalam kaset kenangannya tidak akan pernah bisa terulang.

Jungkook berbalik tanpa pamit, melenggang begitu angkuh dengan isi kepala kacau karena dengan melihat setiap sudut rumah yang sama sekali tidak mengalami perubahan itu,membuat Jungkook seperti melihat masa kecilnya sendiri. Dimana ia selalu berlarian kesana kemari memutari sofa didepan televisi. Bergelut dengan ayahnya diatas karpet beludru yang bahkan tetap berwarna hitam tanpa adanya pergantian selain baru dan lama. Lalu tangga yang menaik itu, tempat dimana Jungkook pernah berselancar pada pegangan tangga dari atas hingga bawah yang berakhir dengan Jungkook mendapat omelan dari sang ibu. Wanita itu. Wanita yang sama yang sekarang Jungkook abaikan keberadaannya.

Semuanya seperti terputar layaknya sebuah kaset kehidupan. Matanya menangkap hanya tempat kosong, namun hatinya mampu melihat Jungkook kecil sangat pintar memasang puzzle diatas meja dengan ayahnya memperhatikannnya sambil mengantuk didepannya. Jungkook masih ingat dengan begitu jelas kala ia berujar tanpa merasa sedikit pun rasa bersalah.

"Ayah, aku ingin berpacaran. Nanti bisa cium-cium seperti ayah yang cium-cium ibu."

Jungkook masih ingat ayahnya yang tertidur langsung terbangun karena terkejut. Ucapannya memang kadang dewasa sekali. Rasanya sekarang Jungkook malu sendiri menyadari apa yang dulu ada dipikirannya. Cium katanya. Dulu Jungkook adalah peniru ulung. Ia melihat ayahnya mencium ibunya di dapur sambil memasak, dan itulah yang Jungkook inginkan suatu hari nanti jika memiliki kekasih.

Namun kembali lagi, semua itu hanyalah tinggal bayangan yang akan senantiasa tinggal didalam isi kepala. Tanpa bisa disentuh, apalagi dibungkus untuk disimpan atau bila perlu dibuang tanpa bisa lagi diingat. Karena bukan hanya kenangan pahit yang menyakitkan, namun kenangan yang kelewat manis juga akan lebih menyiksa kala menyadari bahwa semuanya tak lagi sama. Jungkook memahami itu dengan sangat baik.

Langkah Jungkook barusaja habis 10 langkah, dengan Yerin yang tak mengucapkan apapun. Sedangkan dirinya yang terlalu dalam tenggelam dalam bahtera keceriaannya yang sudah hancur sedari lama. Dan tepat dilangkah yang ke sebelas, Jungkook menghentikan langkahnya. Begitupun Yerin yang melakukan hal yang sama. Berhenti ditempat.

Tentu saja ada alasan kenapa Jungkook mengehentikan langkahnya disaat ia sedang yakin-yakinnya untuk pergi. Yaitu; suara ibunya dean kalimat panjangnya.

Wanita itu telah berdiri, namun masih ditempatnya tanpa bergeser barang satu inchi pun. Air matanya merebak ke segala penjuru hatinya. Ia tak ingin membongkar karena wanita itu juga yakin bahwa ayahnya tidak sebaik itu. Dan untuk sekian lama terdiam, sang ibu akhirnya angkat bicara. Tentang kebenaran yang tanpa  sadar telah menjauhkannya dari anaknya sendiri. Mungkin jika dulu Jungkook sudah dewasa, maka Jungkook akan mengerti. Namun saat itu Jungkook belum cukup dewasa memahami sebuah perpisahan. Dan sekarang wanita itu pikir adalah waktu yang paling tepat. Wanita itu juga melihat bahwa Jungkook telah memiliki gadis yang sangat mencintainya. Gadis itu peduli padanya dan tak peduli masa lalunya.

"Apa kau begitu membenci ibumu hingga menatapku saja kau sudah tidak sudi, Jeon Jungkook?"

Jungkook masih tidak berbalik. Air mukanya tambah panas terbakar amarah.

"Apa aku salah jika aku menyelamatkan kita dari ayahmu yang brengsek itu? Aku berusaha melindungi diriku, dan juga dirimu agak kau tidak melihat seberapa indahnya luka ibumu saat melihat berkali-kali ayahmu pulang membawa simpanannya? Apa ibu harus bertahan karena itu? Katakan pada ibu apa yang harus ibu lakukan, Jungkook? Ibu sudah putus asa. Kau adalah harapan ibu satu-satunya, namun kau memilih meninggalkan ibu dan tidak kembali lagi. Ibu sakit, rasanya ibu kehilangan arah karena tanpa sadar ibu telah membuatmu terluka  begitu dalam kendati aku tidak pernah sengaja melakukannya.

Ibu memang egois. Ibu mementingkan perasaan ibu dan mengesampingkan perasaanmu. Ibu egois dan ibu tahu itu."

Lututnya telah lemas dan membuat wanita itu merosok ke lantai. Air matanya turun gila-gilaan. Frustrasi. Bibirnya bergetar. Wajahnya jelas basah. Hidungnya memerah dan isi kepalanya berantakan. Karena kenyatannya, wanita itu hanya ingin anaknya kembali pada pelukannya. Ia benci melihat sorot kebencian didalam manik yang dulu berbinar memujanya. Ia benci dirinya sendiri yang katanya terlalu egois itu.

"Tapi apakah ibu pantas menerima maafmu? Putraku?" imbuh wanita itu lagi.

Disisi lain Yerin tak bisa menahan air matanya. Setulus itu yang dirinya dengar. Penilaiannya menjadi berkali-kali lipat pada seorang pria. Benar, semua pria itu sama saja. Sama-sama bajingan serakah yang tak akan pernah merasa cukup dengan hanya satu orang wanita. Brengsek!

Jungkook tidak merubah posisi apapun. Tidak berbalik. Dan juga tidak peduli. Jungkook kembali melanjutkan langkahnya karena matanya telah menggelap oleh kekecewaannya yang masih belum bisa menerima penjelasan apapun.

"Omong kosong! Kalian memang tidak pernah peduli padaku!"

[]

Continue Reading

You'll Also Like

74.7K 6.9K 55
Book II (Sebelum baca ini, baca dulu Vengeance S1) Tiga tahun setelah kejadian 'malam itu' baik Kyra, Jungkook maupun Taehyung, mereka sama-sama masi...
48.2K 4.1K 42
°A first BL work from DamarAdzani1🐣 [COMPLETE ☑️] Ketika bencana itu terjadi. Kim Taehyung hanya memiliki satu tugas dalam hidupnya. Ya, melindungi...
13K 1.1K 53
Awalnya, Riyeon merasa dirinya hanya terjebak di antara kisah sang kakak dan Taehyung serta hasrat untuk membalas sebuah luka. Namun, nyatanya, pijak...
56.9K 3.2K 13
Isinya kumpulan oneshoot-twoshoot Taekook/Vkook. Gak akan ada konflik berat kok. Pokoknya baca aja deh kalau penasaran.. Rate sesuai cerita aja..ter...