抖阴社区

A Y A N A (Revisi)

By MeidaAzk

23.5K 1.5K 193

[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA] ~ Bukan tanpa alasan orang tua dari Ayana Xaviera Anastasya ingin sekali menjodohka... More

prolog
01.Tentang Dia
02.Dendam siapa?
03. Arranged marriage
Cash
04. Undangan
05. engagement day!
06. Teror
07. Gevano Alantra
08. Rumah Baru
09. Perjanjian
10. Teror lagi?
11. Perasaan?
12. Abang pulang
13. Tauran
14. Murid Baru
15.Jangan suka
16. Cemburu
17. Stalker
18. Terasingkan
19. Sella
20. EX
21. siapakah dia?
22. Insiden mati lampu
23. The Choice
24 A. pelindung
25. All About Ayana
B. Pelindung
26. Kenakalan
27. Terulang Kembali
28. Broken
29. Pengakuan
30. Kejujuran
31. Perjuangan
32. Surrender
33. Baikan
34. About Audrey
35. Flashback
36. Yang Sebenarnya Terjadi
37. Janggal
38. Sweet
39. Untuk Ke Sekian Kalinya
惭别苍驳颈锄颈苍馃檹
40. Gelang
41. Bad News
42. not infidelity
43. Hanya salah faham
44. What's Wrong With Saras
45. Membalas Dendam
46. One Problem Solved
48. Perampokan
49. Kembali
50. Duka Rachel
51. Happy Sweet Seventeen, Ayana!
52. Kembali bersama
53. Harus kehilangan
54. Berusaha mengungkap
55. Membebaskan
56. No Longer Love
57. Asing
58. Menyesal
59. End untill here
60. Start From Scratch
61. Kamu dan kehilangan
62. Waiting
63. Berita Buruk
64. Kalut
65. Surprise
66. Pergi dan Kembali
67. Another Suprise
68. Shield
69. Usai (End)
Epilog : Happiness

47. Sebuah Trauma

191 15 1
By MeidaAzk

Sebelum baca, pencet dulu bintangnya. Gak ngabisin kuota sampe 1Gb kok.

Udah pencet? Kalo udah, makasih pren😘

HAPPY READING❤

"Caca, tungguin aku." Kaki kecil Ayana mengejar adiknya yang berlari mengejar kucing liar.

Beberapa kali Ayana berteriak agar Caca berhenti berlari, tapi, adiknya tetap saja mengejar kucing yang semakin jauh berlari menuju luar perumahan tempat mereka tinggal.

Begitu juga dengan Rangga, dia ikut mengejar kedua adiknya agar berhenti berlari. Karena ini sudah terlalu jauh dari tempat mereka bermain. Akhirnya, Caca berhenti berlari dipinggir jalan karena kucingnya berlari tepat diseberang jalan.

"Kak Ana, Bang Langa, kucina pelgi." Kata Caca dengan wajah yang sudah berurai air mata. Gadis yang baru saja menginjak enam tahun itu berjongkok sambil menangis sesenggukan.

Ayana yang melihat adiknya menangis, merasa tidak tega. Akhirnya dia memutuskan menyebrang jalan untuk menyusul kucing yang sudah hilang dari pandangannya.

"Jangan dikejar, kata Mamah kita gak boleh ke luar gerbang kalo gak ada orang dewasa. Ayok kita pulang aja." Kata Rangga yang ikut menyusul Ayana agara adiknya tidak berjalan lebih jauh. Terlebih mereka meninggalkan Caca dekat gerbang perumahan mereka.

Ayana menggeleng, membuat kuncirannya ikut bergoyang. "Aku mau nyari kucing, kasian Caca kalo gak nem— eh itu siapa Bang?"  tunjuk Ayana pada dua orang pria bertubuh besar yang baru saja keluar dari mobil.

"Adik manis, kalian ngapain disini?" tanya salah satu pria dengan kepala plontos.

"Jangan dijawab, ayok pergi." Bisik Rangga pada Ayana. Dia bisa menyimpulkan dari penampilannya, kalau kedua pria itu bukan orang baik.

Tapi Ayana malah menghampiri dua pria itu. "Aku nyari kucing yang lari, Om liat gak?"

"Om liat, dia pergi kesana. Tapi tempatnya jauh, mau om anterin?" dengan semangat Ayana menganggukan kepalanya. Kedua Pria berperawakan tinggi itu membwa Ayana menuju mobil. Begitupun dengan Rangga yang mengikuti Ayana.

Mobil hitam itu melesat dengan kecepatan tinggi menjauhi perumahan. Pria besar dengan kumis melintang beberapa kali melempar senyum mengerikan pada Rangga dan Ayana, membuat kedua bocah berbeda gender itu meringis ketakutan. Apalagi mereka sudah hampir tiga jam didalam mobil, dan semakin jauh dari hiruk pikuk kota.

"Om, kita mau turun." Kata Rangga dengan nada bergetar.

"Sebentar lagi sampai," jawab salah satu pria yang sedang menyetir.

Setelah sekian lama, akhirnya mereka menurunkan Ayana dan Rangga di sebuah tempat yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Sebuah bangunan tua dengan rumput liar setinggi pinggang orang dewasa menghiasi bagian depannya. Ditambah lagi dengan tempat ini yang jauh dari manapun, menambah kesan mengerikan dari tempat ini.

Tangan mungil kedua bocah itu diseret secara paksa memasuki gedung bekas miras didepannya. Beberapa kali Rangga berteriak meminta tolong, tapi sebanyak itu juga pria berkumis tebal memukul kepalanya.

"Jangan berisik kalo kalian gak mau kenapa-kenapa!" Perintah mereka.

Tak lama datang seorang perempuan dengan dress merah menyala menghampiri mereka. Bibir yang dipoles lipstik merah darah itu menyunggingkan senyum licik, seolah sangat puas dengan hasil kerja anak buahnya.

"Rangga, kamu sudah besar yah. Padahal dulu kamu masih sebesar ini," ucap wanita itu dengan tangan yang mengukur tinggi Rangga saat masih berusia dua tahun. Tak lama tatapan datar itu beralih menatap tajam Ayana yang sedang menangis sesenggukan dibalik punggung Abangnya.

"Dan kamu, kalau saja kamu tidak lahir, DERIL BISA JADI MILIKU!"  Tangan lentiknya mencengkram dagu Ayana kecil dengan kuat.

" Tante jahat!" Rangga memukul perut perempuan itu cukup kuat. Perempuan itu meringis merasakan efek pukulan Rangga yang lumayan menyakitkan.

"BERANI KAMU YAH!"

Satu pukulan mendarat di pipi bagian kanannya, sampai membuat bocah lelaki itu terduduk lemas di lantai yang dingin. Sedangkan Ayana, anak itu diseret dengan kasar menuju pojok ruangan untuk diikat.

"Lepasin aku, aku takut. Tante jangan pukul Bang Rangga, kasian dia," rengek Ayana menggoyangkan lengan perempuan sadis itu.

Plak

"Banyak bicara kamu ini. Jangan berisik." Desis wanita itu tajam. "Saya tidak akan melepaskan kalian, sebelum orang tua kalian melihat tubuh tanpa nyawa kalian." Teriak wanita gila itu memenuhinya gudang ini.

"TANTE JAHAT!" Teriak Rangga lagi.

Brakk

"BANG RANGGA!" Ayana terbangun dari tidurnya saat mimpi buruk itu kembali hinggap di bunga tidurnya.

Gadis itu mengacak rambutnya frustasi karena terus dihantui oleh mimpi mengerikan itu. Tiada malam tanpa mimpi mengerikan yang kembali mengingatkannya pada kejadian sepuluh tahun lalu.

Tangan Ayana meraba-raba benda yang dia simpan dalam tas nya. Itu adalah obat tidur, penolongnya disaat mimpi buruk itu kembali mampir. "Please, gue pengen istirahat."

Ayana menenggak air putih hingga tandas lalu kembali menarik selimutnya. Dia memejamkan matanya, berharap mimpi mengerikan itu tidak datang lagi dalam tidurnya.

Baru sekitar tiga jam Ayana memejamkan matanya,  dia sudah terbangun kembali karena cahaya yang masuk melalui celah jendelanya. Ayana meregangkan badannya sebentar sebelum keluar kamar untuk cuci muka dan sarapan.

"Morning everyone!"  Seru Ayana dari anak tangga sambil mencepol rambutnya asal. Lalu kakinya berjalan menuju ruang makan, dimana asal bau makanan yang begitu menggoda.

"Lo gapapa?" tanya Rangga yang sudah ada di meja makan.

Mendengar pertanyaan Rangga menbuat Ayana mengernyitkan dahinya. "Lah, emangnya gue kenapa?"

Tuh kan, pasti gitu jawabannya. Rangga jadi menyesal bertanya pada Ayana. "Ca, mau berangkat sekarang?" tanya Rangga saat melihat Caca yang memasuki ruang makan.

"Iya," Caca melirik sinis kearah Ayana yang sedang mengunyah roti panggang buatan Rangga. "Aku berangkat sekolah sekarang yah,"

"Eh, gak sarapan dulu?" Caca menggeleng tanda dia tidak akan sarapan dirumah. "Yaudah hati-hati,"

"Sarapan mah sarapan aja, anggap gue gaada." Kata Ayana tanpa mengalihkan tatapannya. Caca tidak menghiraukan, dia tetap berangkat sekolah sendiri.

"Kapan coba bakalan akur lagi, kalian udah bukan bocah kali."

Ayana diam memilih untuk tidak menanggapi ocehan Rangga. "Rotinya enak, bikin lagi dong, hhe." Ayana nyengir, menampilkan giginya yang belum digosok.

Meskipun menggerutu, Rangga tetap membuatkan roti untuk adiknya. "Nih," Rangga menyodorkan sepiring roti panggang yang langsung dilahap oleh Ayana.

"Den Rangga, ini sarapan buat Pak Deril sudah siap. Mau diantar sama Mbak, atau sama den Rangga?" Kata Mbak Ayu, selaku ART dirumah ini.

"Biar saya aja Mbak," Lantas Rangga mengambil alih nampan berisi makanan untuk Papanya yang terbaring di kamar.

Sepeninggal Rangga, Ayana menyeruput lemon tea hangat yang baru saja dibuatkan Mbak Ayu. Sepertinya lemon tea buatan Mbak Ayu akan menjadi minuman favoritnya mulai sekarang.

"Dor!"

"Ayam!" Minuman yang hendak melewati tenggorokannya, terpaksa keluar lagi karena terkejut dengan kehadiran Alfan yang tiba-tiba.

Ayana menatap tajam Alfan yang mencomot rotinya dengan tampang watadosnya. "Ngapain lo kesini? Gak sekolah lo?"

"Kan lo gak sekolah, jadi gue juga enggak."

"Dih, apa hubungannya coba. Lagian lo udah pake seragam, kenapa gak berangkat aja coba?"

Tuh kan, emang nyebelin. Bukannya di jawab, Alfan malah terus makan. Udah gitu rotinya juga yang di abisin, untung sayang. Kalo gak sayang, udah di tendang. Tak berselang berapa lama, Rangga kembali lagi ke ruang makan. Menyapa Alfan singkat sebelum bertanya pada Ayana dengan mimik muka serius.

"Ay, nanti siang, ikut gue yuk?" ajaknya.

"Kemana?" Tanya Ayana penasaran.

"Ikut ajalah."

"Gue ikut boleh gak?" Tanya Alfan yang ikutan nimbrung. Rangga menyetujui, dia juga tadinya akan mengajak Alfan.

~A Y A N A~

Ceklek

Perhatian Alfan dan Rangga langsung teralih saat melihat Ayana yang keluar dari ruangan Dokter Riley dengan mata sembab.

Rangga sangat khwatir dengan kesehatan mental Ayana setelah kejadian kemarin. Untuk itu dia memutuskan membawanya ke Psikiater untuk mengecek kondisi Ayana. Terlebih lagi, Rangga tidak berani untuk menceritakan kejadian ini pada kedua Orangtuanya.

"Lo kenapa?" tanya Alfan dengan tangan mengelus pundak Ayana.

"Rangga, bisa bicara sebentar?" tanya Dokter Riley dari balik punggung Ayana. Rangga mengangguk menyetujui, dia membuntuti Dokter Riley masuk kedalam ruangannya.

"Tidak ada hal serius pada Ayana, dia hanya masih shock atas kejadian kemarin. Coba ajak dia untuk pergi ke tempat yang bisa menghilangkan rasa terkejutnya, agar kejadian kemarin bisa segera dia lupakan. Atau berikan hal-hal yang menyenangkan untuk dia." Jelas Dokter Riley. Beberapa detik berikutnya, mimik wajah Dokter Riley berubah serius.

"Hanya saja yang saya khawatirkan adalah, gangguan PTSDnya yang masih belum sembuh. Jika tidak diobati, bisa terjadi seumur hidup. Dan Ayana sudah tidak melakukan terapi sejak dia masih SMP, saya sangat khawatir karena ganguan ini akan sangat menganggu aktivitasnya dan juga cara dia bersosialisasi." Jeda sekian detik sebelum Dokter Riley kembali melanjutkan kalimatnya.

"Tolong kamu bujuk dia untuk melakukan terapi. Kalau seperti ini terus, dia tidak akan sembuh."

Helaan nafas nampak terdengar dari Rangga,dia jelas sangat menghawatirkan kondisi Ayana. "Saya juga semalem liat dia minum obat tidur Dok, apa itu gapapa?"

"Itulah, mimpi buruk yang selalu mengganggu tidur Ayana, membuat dia kesulitan untuk tidur. Jadinya dia ketergantungan obat tidur. Jika ini  semakin lama dibiarkan, akan memperparah keadaannya. Tolong kamu bujuk dia yah, dan akan lebih baik  jika dia mendapatkan dukungan dari orang-orang disekitarnya."

Setelah cukup lama berbicara, akhirnya Rangga keluar dari ruangan Dokter. Dia harus segera pulang karena meninggalkan Deril sendirian di rumah. Sedangkan Ayana dan Alfan memilih menuju Basecamp.

"Gak sekolah lo pada?" tanya Alfan saat melihat teman-temannya yang sedang main PS.

"Nih si Radit ngajak bolos, aliran sesat emang tuh anak."

Radit langsung melotot saat mendapat tuduhan fitnah dari Gio, enak saja. Padahal yang pertama ngajak bolos itu Gio, dengan alasan, kan-Alfan- gak-sekolah-jadi-kita-juga-gak-sekolah.

"Apaan banget lo Yo,"

"Ari mana?" tanya Alfan saat tidak menemukan temannya yang paling cerdas itu.

"Noh, lagi ngadem di belakang." Tunjuk Alvin.

Alfan menghampiri Ari, sedangkan Ayana menghampiri Bella yang sedang nonton drakor di pojok ruangan. Memang akhir-akhir ini Bella sedang keracunan drama dari negeri ginseng tersebut.

"Ri," Ari menoleh dan bertos dengan Alfan.

"Kusut bener muka lo," kata Ari melihat wajah Alfan yang seperti banyak pikiran.

Sepanjang hari ini Alfan terus menghela nafas, dan sekarang cowok itu kembali menghela nafas entah untuk yang keberapa kali. "Lo tau PTSD itu apa?"

Untuk beberapa saat Ari terdiam mendapat pertnyaan dari Alfan. Bukan apa-apa, dia hanya terkejut kenapa Alfan tiba-tiba bertanya masalah semacam itu. "Lo punya trauma?"

"Bukan gue, udah jawab aja apa. Gue penasaran banget, lo kan pinter pasti tau dong."

Ari mengeluarkan Handphone nya untuk mencari tahu lebih dalam apa yang dimaksud Alfan. "PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) yaitu ganguan stres pasca trauma."

"Gangguan yang ditandai dengan kegagalan untuk pulih setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa yang mengerikan. Kondisi ini bisa berlangsung berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun, dengan pemicu yang dapat membawa kembali kenangan trauma disertai dengan reaksi emosional dan fisik yang intens." Jeda beberapa saat sebelum Ari kembali melanjutkan membaca artikel yang dia baca dari ponselnya.

"Gejalanya dapat mencakup mimpi buruk atau kilas balik, menghindari situasi yang mengingatkan trauma, meningkatkan reaktivitas terhadap rangsangan, kegelisahan, atau suasana hati yang tertekan. Kira-kira gitu lah PTSD," Ari mengakhiri penjelasannya.

Alfan terdiam, pantas saja Ayana sangat takut dengan ruangan gelap, tentu saja itu ada hubungannya dengan penculikan yang pernah terjadi padanya. Alfan tidak bisa membayangkan bagaimana Ayana melewati harinya disaat dia harus melawan rasa takutnya sendirian.

Andai saja tadi dia tidak menguping pembicaraan Rangga dan Dokter Riley, mungkin sampai kapanpun dia tidak akan mengetahui hal yang dialami Ayana. Dan bodohnya, Alfan tidak pernah mencari lebih lanjut kenapa dan apa penyebab dari semua rasa takut yang Ayana rasakan.

"Gue yakin Ayana bisa lewatin semua ini," Alfan reflek langsung menoleh kaget pada Ari. Sedari tadi Alfan tidak membicarakan Ayana, tapi kenapa Ari bisa tau.

"Gausah kaget gitu anjir. Gue sebenarnya udah ngeh dari semenjak kejadian mati lampu di basecamp, cuman gue gak yakin juga karena gue fikir Ayana gak punya trauma. Tapi setelah denger lo nanya tentang masalah ini, gue jadi tambah yakin." Kata Ari menghapus semua rasa penasaran Alfan.

"Lo kenapa gak ngasih tau gue?" tanya Alfan jengkel.

"Lah gue kira lo udah tau."

Hening kembali. Keduanya sibuk dengan fikiran masing-masing.

"Terus kalo gak di obatin, apa dampaknya?" tanya Alfan memecah keheningan.

"Gejala PTSD bila tidak diobati bisa terjadi secara bertahun-tahun, bahkan seumur hidup. Sebaiknya lo bujuk Ayana buat secepatnya minum obat, atau terapi. Gue gak tega kalo sampe Ayana harus hidup ketakutan kaya gini."

Alfan sangat setuju dengan Ari, mulai sekarang dia bertekad akan menemani Ayana sampai tunanganya itu bisa sembuh dari ganguan mental ini.

~A Y A N A~

Guys, kalian boleh koreksi kalau aku salah mengartikan PTSD.

Aku bukan psikiater, aku cuman anak Sekolah jurusan pemasaran yang sama sekali gaada sangkut pautnya sama masalah kejiwaan ataupun masalah mental.

Semua ini hasil riset aku dari baca beberapa artikel dan tanya beberapa orang yang sedikit ngerti. Kalau kalian lebih ngerti, atau menemukan hal aneh atau menemukan hal yang salah, mohon dikoreksi.

Aku menerima segala bentuk koreksi dari kalian, tapi jangan sampe menghujat juga yah pren.  Kalian pasti udah bisa membedakan mana berpendapat dan mana yang menghujat. Oke pren❤

Continue Reading

You'll Also Like

648K 66.6K 35
Novela ini mengisahkan tentang gadis SMA berjenama Azelleea Czara Queen Ganendra, yang memiliki orang tua protektif, dan kembaran laki-laki yang sang...
407 65 27
Seorang gadis cantik dan manis berambut panjang dengan poni yang tergerai indah mampu membuat siapa saja terpesona oleh kecantikannya. Dia adalah Aya...
ALEXON [END] By taa

Teen Fiction

1.6M 77.6K 64
"Lo jadi milik gue." "Sesuai permainan kita. Lo baper, Lo kalah dan harus mundur dari pertunangan ini. Gue baper, Lo jadi milik gue dan nggak akan bi...
14.6K 528 64
"Maaf siapa?" "Angkasa." . . . Sedikit cerita tentang bagaimana seorang gadis yang memiliki prinsip untuk tidak berhubungan dengan lelaki manapun. T...