抖阴社区

Akila

By xffdia

265 93 4

Duta tersenyum tipis. "Nad?" Akila rasa Duta punya kebiasaan memanggil namanya sekilas, baru kemudian menerus... More

Prolog
Pembunuh
Terlambat
Jatuh Sakit
Penasaran
Runtuhnya Topeng Distin
Makam Lagi
Insiden Berencana
Tempat Rahasia
Kunjungan Distin
Distin yang sakit
Akila Paham
Crucio dan Distin?
Tuan Putri dan Abang Pangeran
Penyesalan Panjang dan Makam
Tempat Rahasia dan Nama Asli
Makan Malam Keluarga
Awal Perjalanan?
Kehilangan jejak?
intermezzo (cerpen)
Rasanya Disayang Distin
Pembalap?
Mengunjungi

Kencan Bersama Distin

1 2 0
By xffdia

Untuk segala yakin yang hanya ada di dalam kepala,ketidakmungkinan selalu jadi yang paling mungkin.
~~~

Pagi menjelang dan semua baik-baik saja. Dua hari terlewat sejak terakhir Akila bertemu Duta di Tol Aceh sore itu. Tak ada pembicaraan lebih lanjut tentang maksud ucapan laki-laki itu, keduanya langsung pulang setelah Duta menerima telepon dari seseorang yang Akila tidak tahu siapa itu.

Hari ini Akila libur kerja dan tidak ada jadwal kuliah. Terbiasa disibukkan dengan berbagai jadwal membuatnya kebingungan harus mengahabiskan 24 jam hari ini untuk apa. Tak ada tugas kuliah yang harus ia selesaikan, pekerjaan rumah tangga juga tak ada.

Lama berdiam diri di atas kasur, Akila dikejutkan dengan suara pintu kamar yang tiba-tiba diketuk dari luar. Pasti Distin.

“Kilaa,” panggil Distin.

“Masuk. Pintunya gak dikunci!” seru Akila dari dalam.

Baru membuka pintu, Distin menjulurkan kepala dan bertanya, “Tuan putri, gak kerja? Udah jam berapa ini?”

“Nggak, libur.”

“Libur apa meliburkan diri?” Distin mulai mendekat dan akhirnya mendudukkan diri pada pinggiran ranjang Akila.

“Libur, Abang pangeran! Beneran!”

“Iya-iya percaya,” ucap Distin sambil terkekeh dan mengulurkan tangan mengusap surai lembut sang adik. Perlakuan sederhana yang rasanya seperti mimpi bagi Distin. Kadang pada malam-malam panjang saat Distin sulit tidur, ia masih belum percaya bahwa Akila kembali jadi adik kecilnya yang dulu.

“Udah kebiasaan kerja jadi bingung kalau libur begini mau ngapain,” keluh Akila dengan bibir mengerucut.

“Gak kuliah emang?”

“Gak ada jadwal hari ini,” beritahu Akila.

Distin tampak mengangguk. “Bagus dong!”

Akila mengernyitkan dahi. “Apanya yang bagus?”

Distin berdiri dari duduknya. Mengambil dua langkah ke belakang, laki-laki itu mengulurkan sebelah tangannya yang terbuka ke atas pada Akila. Dengan sedikit membungkukkan badan, sang laki-laki tampan bertanya, “Tuan putri, mau berkencan dengan Abang pangeran hari ini?”

Akila tertawa keras, mungkin tawa pertama sejak kejadian 7 tahun lalu. Ada-ada saja memang kelakuan Abangnya ini. Sejak dulu, memang hanya Distin yang tahu bagaimana cara menenangkan dan menyenangkan Akila. Semua orang tahu itu.

“Emang Abang gak kerja?”

“Bisa meliburkan diri,” jawab Distin enteng.

Akia mencibir sikap sang kakak yang seenaknya, namun tak urung ia terima juga uluran tangan pangeran gadungan itu. “Ya udah, Kila mandi dulu.”

“Oke, Abang tunggu di depan.”
Akila langsung bersiap. Celana kulot hitam dipadukan sweater oversize berwarna abu terang, pashmina hitam, serta sneakers putih kesayangannya jadi pilihan. Dengan selempang tali hitam yang berayun tak beraturan, Akila melangkah dengan ringan menuju teras.

“Ayo, berangkat, Abang Pangeran.”
Distin yang sedang memanaskan motor langsung berbalik saat mendengar suara sang adik.

Keduanya saling pandang selama beberapa detik, saling menelisik penampilan dari atas sampai bawah. Lantas, tak lama sama-sama tertawa. Penampilan Akila sama persis dengan Distin yang menggunakan celana jeans hitam, sweater oversize berwarna abu terang, serta sneakers putih berlogo centang.

“Kayak anak kembar,” kata Akila.

“Kayak pasangan, gak sih?”

“Sehati banget!”

“Kamu sih ngikut-ngikut, pasti tadi liat Abang pakai baju gini jadi kamu samain,” tuduh Distin dengan bercanda.

“Terserah Abang aja,” balas Akila dengan acuh, karena gadis itu tahu meladeni Distin itu tidak akan ada habisnya.

“Yah, gak seru!”

“Kita mau kemana?”

Tak langsung menjawab, Distin malah mengulurkan sebuah helm. Setelah diterima oleh Akila, baru laki-laki itu menjawab, “Belum tau, ada rekomendasi?”

Akila menggeleng dengan sedih. Tak tahukah Distin bahwa selama ini Akila tak pernah punya teman bermain selayaknya gadis seusianya, Akila tak pernah tahu rasanya hangout. Hari-harinya hanya diisi dengan belajar, kerja, dan membenci Distin.

Distin paham raut sedih itu. Dia salah bertanya. “Kita jalan aja dulu, keliling kota mau?”

Akila mengangguk.

“Ayo berangkat, Tuan putri!” seru Distin dengan semangat.

Akila terkekeh. Memasangkan helm pada kepalanya, gadis itu langsung naik ke boncengan Distin dengan semangat. Dikaitkan dua tangannya pada perut sang kakak, Akila bersender nyaman pada punggung tegap pangerannya.

Hampir 3 jam mengelilingi kota Banda Aceh yang dikenal islami itu, Distin dan Akila sama-sama setuju untuk tak berhenti di satu tempat apapun kecuali untuk beribadah dan makan, bahkan tak berhenti di monumen bersejarah yang menjadi saksi bisu bahwa Aceh pernah begitu berduka.

Hanya berkendara tanpa tujuan, membuat keduanya merasa bisa memaafkan 7 tahun masa kerenggangan yang terjadi. Mungkin 3 jam itu tak bisa menebus seluruh momen yang terpaksa mereka lewatkan satu sama lain, tapi setidaknya mereka punya pengganti. Bahwa setidaknya sepanjang jalan itu akan menjadi saksi bahwa Distin dan Akila sudah berdamai dengan masa lalu. Bahwa di sepanjang jalan itu, Distin dan Akila saling bercerita tentang beratnya hidup sendiri.

Kakak beradik itu baru pulang saat matahari sudah berada di ufuk barat. Sinar baskara yang menghilang ditelan tingginya pohon dan bangunan berlantai itu jadi penutup perjalanan Distin dan Akila.

“Terima kasih kencannya, Abang pangeran. Tuan putri pamit ke kamar dulu.” Turun dari boncengan Distin, Akila hendak langsung ke kamar untuk mandi. Itu sebelum tangannya dicekal oleh Distin.

“A—Abang mau ngomong sebentar, boleh?”

Akila tentu mengangguk, meski dengan raut bingungnya. Ada apa?

“Tapi, Kila jangan salah paham, ya?”

“Salah paham kenapa?”

“A—Abang pengin Kila berhenti kerja,” ungkap Distin dengan sedikit ragu dan gagu. Kalau boleh jujur ini adalah salah satu hal yang selalu ingin ia ungkapkan pada Akila. Adiknya yang belia, sangat tidak pantas menghabiskan masa muda untuk bekerja seperti itu. Distin ingin Akila bermain dengan teman-temannya, Distin ingin Akila bergaul, bersosialisasi atau apapun namanya itu. Terlebih, Distin ingin bertanggung jawab atas Akila, menafkahi adiknya selagi dia mampu.

“Kenapa?”

Untuk semua alasan yang ada dikepala Distin, laki-laki itu mempersingkatnya. “Kamu tanggung jawab Abang.”

Akila mengerti. Sangat mengerti. Hanya saja terbiasa mempunyai penghasilan sendiri membuatnya ragu untuk menggantungkan hidup pada orang lain, bahkan pada Distin sekalipun.

Distin menarik napas panjang karna tahu sang adik pasti berat mengambil keputusan.

“Kamu pikirin aja dulu. Gak harus buru-buru. Apapun keputusannya, Abang terima, asal kamu nyaman.”

Apapun, asal Akilanya bahagia.

***

Akila berdiri di belakang mesin kasir. Menarik napas lalu menghembuskan kembali dengan berat. Raut tegangnya sangat dominan. Matanya memang fokus pada layar komputer, namun siapapun tahu gadis itu hanya sedang melamun. Akila sedang memikirkan permintaan Distin kemarin.

“Huft!” Untung saja minimarket pagi itu sedang sepi, Akila jadi bebas melamun.

“Mbak, mau bayar.” Ternyata ada satu pelanggan.

“Bang Duta?!” Kapan laki-laki itu masuk? Akila sama sekali tak menyadari kedatangannya. Setelah beberapa hari, akhirnya Akila kembali bisa melihat paras rupawan itu.

“Makanya kalau kerja jangan melamun,” nasihat Duta.

“Mana belanjaannya?” tanya Akila saat tak mendapati keranjang belajaan di tangan laki-laki itu.

“Nih!” Duta meletakkan barang yang tadi dia sembunyikan dibalik telapak tangannya kehadapan Akila.

“Ini doang?”

“Iya,” jawab Duta.

“Permen?”

“Emang kenapa, sih, Nad? Ada larangan gak boleh beli satu permen doang?” Laki-laki itu tersenyum lebar dan Akila segera sadar betapa menyebalkannya Duta.

“Mau heran tapi ini Duta,” sarkas Akila yang membuat Duta tertawa keras.

“Udah kenal banget, ya! Hahahaha.”

“Lima ratus perak.” Akila sengaja menekankan kata perak.

Duta merogoh saku celananya, mengeluarkan dompet, lalu mengambil sebuah kartu di dalamnya. “Lima ratus perak, ya, Nad.”

Seriously? Debit card?

Cengiran Duta kali ini benar-benar membuat Akila darah tinggi. Mungkin hanya laki-laki itu diseluruh dunia yang membeli satu permen susu dan membayar dengan menggunakan kartu debit.

“Gak punya cash,” kata Duta.

“Gak usah bayar.” Akila mengembalikan kartu debit itu pada Duta dengan mendelik. Menggeledah kantung kecil di bagian depan tasnya, Akila mengambil satu uang koin miliknya untuk dimasukkan ke mesin kasir.

“Nih, permennya.”

“Terima kasih, Nadhifa.” Duta langsung membuka bungkus permennya, memegang gagang putih itu lalu memasukkan kedalam mulut.

“Gak balik kerja?” tanya Akila sebab Duta tak sedikitpun beranjak padahal laki-laki itu sudah rapi dengan kemeja biru muda yang dipadukan celana kain hitam.

Duta menggelengkan kepala dengan masih sibuk mengemut permennya sambil membaca beberapa tulisan yang ada pada bungkusan permen itu.

“Nanti telat, udah hampir jam 8,” beritahu Akila.

“Nad?” panggil Duta seperti kebiasaannya.

“Hmm.”

“Mama saya sakit,” ujar Duta dengan kepala masih menunduk membaca bungkus permen, seakan apa yang baru saja diberitahunya hanyalah komposisi permen yang baru ia baca.

Akila terkesiap. “Sakit apa?”

“Jantungnya kambuh.”

Meski terliat biasa saja, detik itu Akila tahu bahwa Duta hanyalah laki-laki biasa. Duta tak seceria yang biasa terlihat. Duta bukan lagi laki-laki dengan kemampuan menguasai motor di segala trek, Duta bukan lagi laki-laki yang punya sejuta tempat rahasia, Duta hanya seorang anak yang meskipun sudah dewasa dari segi umur, tetap akan selalu takut akan namanya kehilangan.

“Saya takut kehilangan,” kata Duta kala menaikkan kepala. Tidak ada lagi raut tengil laki-laki 22 tahun itu, hanya ada cemas yang begitu kentara.

Tidak ada orang yang tidak takut kehilangan. Akila bukan orang yang tahu bagaimana caranya menenangkan, tapi dia tahu rasanya kehilangan ibu. Akila berani bersumpah dia tak ingin Duta merasakan pedih itu.

“Nad,— ” Duta menjeda kalimatnya hanya untuk menarik napas yang dalam.

“Saya harus balik ke Jogja untuk jagain Mama.”

Akila kehilangan kalimatnya. Dia tak ingin semua berakhir seperti ini. Setidaknya sebelum menguatkan hatinya. Duta menyita hampir separuh waktu dan pikirannya semenjak kehadiran laki-laki itu 2 bulan lalu. Dan Akila tidak tahu bagaimana dunianya akan berjalan tanpa eksistensi laki-laki itu disekitarnya untuk waktu yang mungkin akan lama. Akila baru menemukan sosok hangat yang mengembalikan dunianya yang dulu, dia tak ingin kehilangan secepat ini.

“Saya pasti akan kembali ke Aceh, tapi gak tahu kapan.”

“Semoga Mama cepat sembuh.” Ini bukan sekedar doa, ini harapan. Akila ingin Duta cepat kembali, bahkan sebelum kepergian laki-laki berkulit tembaga itu.

“Aamiin.”

“Berangkat kapan?” Akila hanya berharap Duta tak menyadari nada suaranya yang tercekat.

“Nanti malam.”

Secepat itu? Secepat itu Akila kehilangan?

“Oh, safe flight, Bang.”

“Kontak saya masih akan selalu sama. Kalau kamu ingin bercerita saya tersedia 24 jam, Nad.”

Akila terkekeh tapi entah kenapa matanya memanas. Tak tahu apa yang merasuki tubuhnya, Akila tiba-tiba saja beranjak keluar dari meja kasir. Memutar dan berhenti tepat di depan Duta yang kali ini tak bisa menyembunyikan sendu, Akila bergerak memeluk tubuh yang tepaut tinggi lumayan jauh darinya. Menyadari tubuh bergetar itu milik Duta, Akila semakin mempererat pelukannya.

“Saya cuma punya Mama, Nad. Dengar Mama sakit rasanya saya rela bertukar posisi dengannya.”

“Aku tahu.” Air mata Akila luruh seketika.

“Saya takut.”

“Aku tahu Abang kuat. Mama pasti sembuh.”

“Nad, Jogja bikin saya sesak napas.”

“Kalau begitu cepat kembali ke Aceh.”

Duta mengangguk pada bahu Akila. “Secepatnya.”

Begitulah pagi itu Akila kembali kehilangan sinar baru dalam hidupnya. Duta berjanji akan segera kembali, tapi Akila tentu tahu bahwa ada kalanya dia tak boleh percaya janji.

Duta pamit meninggalkan Aceh untuk sementara. Akila sama sekali tak mengucapkan perpisahan, sebab dia tahu akan kembali menjumpai Duta suatu saat.

Akila sengaja menyimpan ‘Terima kasih’ yang selalu ingin ia ucapkan untuk Duta, untuk segala nasehatnya, untuk kata-kata ajaibnya, untuk ramai yang ia ciptakan. Karna Akila akan mengucapkannya nanti, saat mereka bertemu kembali.

Meski tak bisa sepenuhnya fokus, Akila kembali ke bilik kasir setelah Duta Rajendra, si laki-laki pertama yang membuat jantungnya berdebar itu menghilang ditelan ramai jalanan Aceh pagi hari.

Merogoh ponsel dari saku rok panjangnya, Akila melihat profil whatsapp Duta masih hanya gambar sepasang sepatu dengan filter black and white. Tidak tahu akan seperti apa hubungan mereka besok atau lusa, Akila hanya berharap laki-laki itu tak lupa pada dirinya sebagaimana Akila tak akan mungkin lupa pada Duta.

Ketika tangannya bergerak melihat profil Distin tepat di atas nama Duta, ada foto Distin dan dirinya kemarin sore, berlatarkan langit senja yang membingkai Samudera Hindia, senyum Distin yang menatap teduh pada dirinya membuat Akila segera mengambil keputusan.

Ia memilih berhenti bekerja.

***

Haii, apa kabar?? Bagaimana puasa pertamanya? Lancar kan??

Tadi bangun jam berapa? Jaga kesehatan yaa!

Continue Reading

You'll Also Like

52 7 10
Banyak orang yang menyangka jika takdir itu adalah penghambat kisah cinta. Kalian akan bertemu sosok Eza yang keras dan kejam, juga mati perasaan, t...
119K 4.1K 49
[PART LENGKAP!] 馃摑Tahap revisi "Karna gw gamau kalo lo sampe pingsan!" Aldan Adijaya, si tukang ngatur, galak, acuh, dingin sekaligus tampan dan memp...
16.6K 739 30
鉂桞ELUM DIREVISI鉂 "Lo harus jadi milik gue, Lita!" Nada bicaranya berubah menakutkan. Lita segera melepas pelukannya dan berjalan menjauh. "Danil?" "...
312 60 15
seorang anak remaja yang sedang menikmati masa remaja nya dengan bermotor dan membentuk sebuah geng motor cewe "the blues" lalu datang lah geng motor...