Langit melangkah lebar mencari keberadaan adiknya. Ia sudah mengunjungi kelas gadis itu, mencari kemanapun namun tak kunjung berjumpa sampai-sampai Langit bingung ingin pergi ke mana lagi.
Di tengah berjalan, Langit melihat Lyora yang sedang berjalan berlawanan arah dengannya. Iapun langsung menghampiri gadis itu kalau-kalau Lyora tau di mana Ruby sekarang.
"Lyora!"
"Kak Langit?" Lyora mengerutkan kening heran, tidak biasanya Langit mau mengobrol duluan dengan perempuan selain Ruby.
"Ruby di mana?" tanya Langit tanpa basa-basi.
"Oh ... gak tau, Kak. Tapi sempat ketemu di uks habis itu gak ada liat lagi. Aku kira dia di kantin sama Kak Langit," jawab Lyora.
Langit mengusap rambutnya ke belakang disertai helaan nafas. Tanpa sepatah kata ia langsung nyelonong pergi membuat Lyora tambah kebingungan.
"Emang Ruby kenapa?" Ia bergumam.
Sedangkan di sisi lain sosok yang dicari sedang duduk nankring di atas pohon dengan santai sambil mengoyak kulit buah mangga dengan giginya. Ruby merasa puas di dalam hati saat menemukan pohon mangga berbuah matang di taman belakang sekolah. Tak sia-sia berjalan ke mari, pikirnya.
Lonceng masuk baru saja terdengar membuat gadis itu memutar bola mata malas. Mengapa waktu berjalan begitu cepat? Ruby belum puas dengan jam istirahatnya namun harus kembali belajar.
"Bolos satu jam gak papa kali ya?" ujarnya terlihat bodo amat.
Ingin kembali menikmati angin sepoi-sepoi di atas pohon, teriakan seorang lelaki dari bawah membuat perhatian Ruby teralihkan.
"Langit?" Ruby melotot kata melihat sang Abang sedang berkacak pinggang sambil menengadah.
"Turun!" ucap Langit tegas.
Ia mencari satu keliling sekolah hanya untuk memastikan bahwa Ruby baik-baik saja, tapi adik bandelnya itu malah santai-santai saja mendengar bel masuk berbunyi.
"Gak mau!" Ruby menggeleng cepat. Jika ia turun pasti Langit akan memarahinya.
Langit menghela nafas lelah menghadapi sifat keras kepala gadis itu. "Kalau gak turun, gue yang naik," ujarnya membuat Ruby gelagapan.
"Iya-iya gue turun!" sahut Ruby terpaksa.
Denger perlahan Ruby menginjakkan kakinya pada batang-batang kecil dan turun secara perlahan. Untung Ruby sudah menyimpan beberapa mangga di kantongnya, jadi ia tak khawatir kehabisan stok makanan.
"Siapa yang nyuruh lo naik ke pohon setinggi itu? Kalau Lo jatuh atau celaka, siapa yang sakit? Terus lo denger kan bel udah bunyi? Kenapa masih santai-santai? Mau bolos, iya?"
Ruby memanyunkan bibirnya ketika mendengar lelaki itu mengomel.
"Kalau orang ngomong di jawab."
"Iya!" sahut Ruby malas.
"Yang sopan," ujar Langit lagi membuat Ruby kesal.
"Iya, Bang Langit." jawab Ruby dengan nada lembut namun wajahnya sedikit tertekan.
Langit berkacak pinggang sambil menatap tajam sang adik. "Lo harus dihukum biar gak bandel lagi."
"Ihh! Gue kan gak ngapa-ngapain, pake dihukum segala. Emangnya lo osis?"
"Lo lupa?" Langit mengangkat satu alisnya.
Ruby menghentakkan kaki dengan wajah memelas. Mengapa ia harus punya Abang sepintar Langit? Diajak bolos saja tidak bisa.
"Gue adek lo, Lang. Masa dikasih hukuman juga? Harusnya gue VIP dong."
"Gue gak bakal hukum lo di sini. Tapi di rumah nanti," ujarnya ambigu membuat pikiran Ruby jadi kemana-mana.
"Heh? Maksudnya ape nih."
Langit menarik Ruby dan merangkul pundaknya lalu membawa gadis itu untuk kembali ke kelasnya untuk mengikuti pembelajaran. Langit adalah murid teladan, ia tak akan membiarkan Ruby kembali membolos karena itu suatu perbuatan yang tidak terpuji.
"Kembali ke kelas lo, belajar."
Ruby hanya bisa pasrah kemudian mengikuti langkah sang Abang. Lain kali ia pastikan Langit tak akan menemukannya jika ia pergi membolos lagi.
***
Tak terasa langit yang cerah mulai memancarkan warna jingga dari ufuk barat. Langkah dari ribuan kaki keluar dari pekarangan sekolah saat mengetahui waktu mereka untuk menuntut ilmu kini telah habis dan akan dilanjutkan esok hari.
Ruby berjalan gontai menuju parkiran, menghampiri Langit yang sudah duduk di atas motor sambil berbincang dengan teman-temannya.
"Lemes banget," cetuk Vino melihat adik dari temannya itu datang dengan wajah ditekuk.
"Itu kenapa lagi, rambut lo berantakan gitu? Belajar sambil ngereog ya lu?" sahut Eros mengejek.
"Gue habis adu otot. Puas lo?!"
"Berantem sama siapa?" tanya Langit.
Ruby menggaruk tengkuknya sambil mencari alasan. "Dia duluan kok!" ujarnya.
"Gue nanya sama siapa?" Langit melirik tajam.
"Sama nenek lampir! Males gue nyebut namanya." Ruby berdecak kesal.
"Ohh ... gue tau. Pasti Elva kan? Cuma dia musuh di kelas lo sekarang," tebak Eros.
Langit menarik lengan gadis itu untuk mendekat ke arahnya. Ia membenarkan helaian rambut Ruby lalu mengusap kepalanya dengan lembut. Meskipun menatap dengan wajah datar, Langit terlihat sangat peduli kepadanya.
"Kenapa berantem?" tanyanya sekali lagi.
"Emm ... dia duluan kok. Gue baru masuk udah diganggu sama dia. Sampai sekarang dia masih ngira gue yang dorong Sonya, kayaknya tuh orang makin keliatan benci sama gue," jawab Ruby jujur.
"Loh, kok elo?" Vino mendekati Ruby lalu bertanya dengan penasaran.
"Waktu Sonya jatuh, gue naik ke rooftop buat ngecek siapa yang udah dorong dia. Sebelum gue pergi Elva datang, kayaknya dia salah paham."
"Wahh ... gawat kalo tuh cewek bocor. Bisa-bisa lo jadi tersangka pembunuhan," ucap Eros membuat Ruby melotot kaget.
"Lo jangan nakutin gue gitu dong!" ujarnya.
"Jangan ngomong sembarangan sama adek gue," sahut Langit mengalihkan pandangannya ke arah Eros.
"Iya-iya, maaf. Gue cuma ngasih tau kok."
Ruby masih kesal dengan ucapan Eros barusan. Bagaimana jika yang dia ucapkan menjadi kenyataan? Meskipun Ruby tak melakukannya namun ia tetap harus berhati-hati dengan segala macam tuduhan yang datang.
Seketika Ruby termenung. Apakah ini yang dimaksud oleh Ara? Meskipun ia menghindar sekuat tenaga dari konflik, ia akan tetap terkena masalah karena itu emang takdirnya yang tertulis di novel sebagai antagonis.
Tapi gue bukan penjahat di sini. Gue gak bakal goyah gitu aja.
Langit yang melihat sang adik melamun menepuk pelan pipinya. "Ayok pulang," ajaknya.
Ruby tersadar kemudian mengangguk pelan. Ia naik ke atas motor dibantuin oleh Langit. Langit membuka jaket kulit yang ia kenakan, lelaki itu memberikan jaketnya kepada Ruby untuk menutupi pahanya yang terdapat bekas balutan kain kasa di sana.
"Makasih," ucap Ruby tersenyum tipis. Meskipun saat ini sebenarnya ia sedang menahan salting dan berusaha terlihat cool di mata mereka.
Langit memang selalu bertindak serta memiliki inisiatif sendiri. Hal-hal kecil yang Langit lakukan padanya kadang tanpa sadar membuat Ruby baper sendiri. Tapi Ruby juga harus ingat, mereka adalah saudara.
***
Seorang lelaki dengan hoodie supreme abu-abu menatap foto polaroid yang ditempelnya di meja belajar. Sambil duduk bersandar di kursi, cowok itu melepaskan kacamata belajarnya lalu menutup semua buku yang telah habis ia pelajari.
Getaran handphone yang terletak di atas meja mengalihkan perhatian Damian. Nama kontak yang sang sangat amat tak diinginkan terus menghubunginya dari kemarin, namun tak ada satu panggilan pun yang ia jawab.
Damian berdiri dari kursi, membawa benda pipih itu ke atas kasur. Damian menggeser tombol hijau yang tertera di layar dengan perasaan penuh terpaksa. "Hmm?"
"Kenapa lo gak ngangkat telpon gue dari kemaren? Sengaja?" Nada mengejek terdengar dari sebrang sana.
"Males, to the point," sahut Damian membaringkan tubuh lelahnya.
"Lo udah tau kan soal cewek yang punya kalung itu? Lo gak bilang ke gue."
"Emang kenapa?" Damian mengerutkan keningnya.
"Dia satu sekolah sama lo. Lo deket sama dia?"
"Gak," jawabnya singkat.
"Gue liat lo sama dia pas malam itu. Gak deket apanya?" Terdengar suara tawa kecil seakan tak percaya.
"Itu bukan urusan lo," ujar Damian. Inilah alasannya malas berbicara dengan sepupunya itu, terlalu bertele-tele dan banyak basa-basi.
"Ingat misi dari awal. Kita cuma ngincar kalungnya buat ngembaliin 'dia'. Jangan sampai lo lupa hutang lo sama gue."
Damian membuang nafas kasar. Ia mematikan teleponnya sepihak tanpa membalas perkataan sang lawan bicara.
Ia menatap layar hp yang terdapat banyak nomor tak dikenal dari gadis-gadis di sekolah yang mengirim pesan kepadanya. Padahal Damian sering mengganti nomor, namun entah dari mana mereka bisa mendapatkannya. Chat dari mereka tak pernah ia respon sama sekali, Damian terlalu malas berurusan dengan cewek yang menurutnya hanya penasaran.
Namun saat ingin menutup kembali handphonenya, Damian salfok kepada nomer paling atas, pesan yang baru 3 detik di kirim oleh seorang gadis. Biasanya ia tak penasaran, namun saat membuka foto profil, terdapat foto seorang cewek yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya.
Damian terdiam sejenak.
Lelaki itu menatap datar layar ponselnya. Entah mengapa tangannya gatal ingin membalas pesan, padahal biasanya Damian hanya membiarkan saja. Namun ini kali pertama setelah sekian lama kalinya ia memiliki rasa penasaran terhadap seseorang.
Jujur Damian sedikit menyesal karena membalas chat gadis itu bahkan menyimpan nomernya. Damian takut Ruby kepedean dan mengira ia juga menyukainya.
Namun jika dilihat-lihat lucu juga.
Damian segera menggelengkan kepala, menyadari isi pikirannya yang mulai terpengaruhi oleh gadis itu.
Damian langsung menutup ponselnya. Kali ini ia berjanji untuk tidak membalas pesan dari Ruby sama sekali. Anggap saja barusan adalah sebuah ketidaksengajaan.
Lelaki berkaus hitam polos itu memejamkan matanya dengan kedua tangan di bawah kepala. Ia membuang nafas kasar saat menyadari perasaannya sendiri terhadap gadis aneh itu.
Damian sadar, baru-baru ini ia juga merasakan ketertarikan kepada Ruby. Ia juga bingung bagaimana bisa, padahal yang gadis itu lakukan setiap hari hanyalah mengganggu aktifitasnya.
"Gue gak bakal jatuh dalam perangkap lo," ucapnya yakin.
Damian tak akan menyerahkan perasaannya begitu saja kepada sembarang orang. Apa lagi cewek bar-bar yang tidak jelas kelakuannya seperti Ruby.
***
Next???