Guys, Alhamdulillah Belenggu Hiro udah 100k, senang banget huhuhu. Itu semua berkat kalian. Terima kasih ya❤️
Selamat membaca
Hiro pikir Oliver hanya kesal sebentar dan akan kembali berbicara dengannya beberapa saat kemudian, ternyata tebakan Hiro salah total, Oliver betulan marah dan tidak mau berbicara dengannya sama sekali. Ia selalu bungkam sampai Hiro kelelahan untuk meminta maaf.
Namun, Hiro tidak akan pernah menyerah, apalagi Oliver adalah satu-satunya saudara yang ia punya. Sebenarnya Hiro tidak masalah jika Oliver marah dengan alasan yang jelas, tapi kali ini saudaranya itu hanya bisa memberi alibi tidak pasti dan terlalu tiba-tiba hingga Hiro penasaran letak salahnya di mana.
Karenanya, Hiro rela berdiri di depan pintu kamar Oliver yang terkunci, menunggu berjam-jam tanpa bersuara. Hiro tahu, Oliver sedang menghindar, jadi ia sengaja menutup mulut agar pintunya segera dibuka.
Di dalam sana, Oliver sudah mengenakan jaket hitam dan celana jeans senada karena ingin ke luar. Tapi sebelum membuka pintu, ia menempelkan telinga di sana untuk memastikan jika Hiro sudah pergi. Tidak ada suara apa-apa, sepertinya anak itu sudah betulan kembali ke kamarnya.
Oliver menghela lega. Setelah lama bermain game di kamar, akhirnya ia bisa keluar tanpa perlu bertemu Hiro.
Lalu tanpa ragu lagi, ia pun membuka pintu, dan betapa terkejutnya dia saat menemuka Hiro berdiri tegak sambil memegang salah satu kaki boneka kelincinya. Anak itu menyengir lebar, sementara Oliver tidak bisa berkata-kata, hanya bisa memandang boneka yang kepalanya terbalik itu.
"Saya pusing sekali memikirkan kamu, Oliver," ujar Hiro sangat-sangat jujur. "Harusnya kamu membuka pintu sejak awal dan menjelaskan semua masalahnya kepada saya, kamu tahu tidak, saya kelaparan berdiri berjam-jam di depan pintu kamar kamu."
"G-gue nggak peduli sama lo, mau lo kelaparan sampai mati juga itu bukan urusan gue," balas Oliver sedikit terbata, kali ini ia menatap telak pupil saudaranya.
Bibir Hiro langsung berkerut mendengar penuturan itu.
"Minggir, gue mau keluar."
Hiro langsung merentangkan tangan, menghalangi pintu dan menggeleng tegas. "Jelaskan dulu apa yang membuat kamu marah kepada saya seperti ini."
"Gue bilang minggir, sialan!"
Lagi-lagi Hiro menggeleng. "Saya tidak mau!" Dadanya naik turun.
Oliver berdecak geram, menambah kesedihan di dalam hati Hiro yang nyaris tidak bisa berkata-kata lagi. Oliver benar-benar membencinya kali ini.
"Minggir, gue mau keluar." Suara Oliver tidak tinggi, tapi penuh penekanan dan emosi. Mau tidak mau, Hiro menyingkir dari hadapannya untuk membuka jalan supaya Oliver bisa leluasa.
Setelahnya Oliver benar-benar menjauh tanpa menoleh lagi. Meninggalkan Hiro mematung dalam keheningan. Ia tidak tahu apakah Hiro menitikkan air mata atau tidak, sebab ketika Oliver melihat ke belakang, Hiro sudah memunggunginya dan menyeret boneka kelinci itu dengan kepala tertunduk dalam.
Malam ini, Oliver sungguh membuat hatinya terluka.
***
Hiro sedih, tapi ia tidak ingin menangis karena malam ini begitu banyak bintang yang menyaksikannya. Dia hanya memanyunkan bibir dan memasang wajah muram. Seolah-olah ingin disemangati oleh bintang dan bulan.
Dua jam duduk di balkon, Hiro hanya diam dan menggambar bintang yang sedang menangis dengan bibir melengkung ke bawah. Seperti ekspresi wajah Hiro saat ini. Ia menggambarnya hingga selembar penuh.
Hiro tidak menyanyikan lagu Bintang Kecil, tidak juga berbicara dengan bulan, sahaja geming karena hatinya terasa perih. Sangat perih.
"Bintang kecil, di langit yang biru, amat banyak menghias angkasa." Hiro membatu mendengar suara nyanyian tepat di belakang punggungnya. "Hiro ingin terbang dan menari, jauh tinggi ke tempat kau berada."
Itu... suara Papa.
Air mata Hiro langsung turun membasahi pipi begitu Elios duduk di sampingnya sambil tersenyum hangat.
"Hiro-nya Papa kenapa, hm?" tanya pria itu lembut dengan tangan mulai mengusap punggung anak angkatnya. "Kasih tahu Papa, siapa yang membuat Hiro-nya Papa sedih seperti ini?"
Hiro tidak langsung menjawab, bukan karena tidak bisa, tetapi takut jika Elios masih marah seperti kemarin. Alhasil ia hanya menatap gambar bintang sedih yang telah ia gambar dengan pandangan buram.
"Bintangnya kenapa sedih semua? Sini Papa gambar yang lain." Elios mengambil spidol merah itu dan mulai melukiskan bintang pelan-pelan, kemudian menambahkan ekspresi tersenyum lebar di bagian tengah. "Lihat, bintangnya sudah senyum sekarang, berarti Hiro juga harus senyum seperti bintang ini."
Bukan tersenyum, anak itu malah mengusap-usap kedua matanya dengan punggung tangan di saat yang bersamaan. Benar-benar seperti balita yang berhenti menangis usai dikasih mainan.
"Papa tidak marah lagi kepada Hiro?" Dia bertanya, dengan ekspresi lugu seperti yang sudah-sudah.
Seketika senyum Elios melebar. "Papa tidak pernah marah kepada Hiro."
"Tapi kemarin... Papa--"
"Sht...." Elios tidak membiarkan Hiro merampungkan kalimat itu karena lebih dulu membawanya ke dalam dekap yang sangat erat. Di sana, anak itu kembali menangis tersedu-sedu. "Waktu itu Papa marah karena khawatir Hiro-nya Papa kenapa-kenapa. Sekarang Papa sudah tidak marah lagi kepada Hiro." Ia mengusap rambut Hiro berkali-kali. "Sudah nangisnya, ya."
Hiro mengangguk patuh, tapi entah kenapa, tangisnya tidak bisa berhenti sekalipun kemeja Elios sudah basah karena air mata dan ingusnya.
"Memangnya Hiro tidak malu dilihat bintang?" tanya Elios lembut sebab Hiro terus menangis dan memeluknya. Tadinya, ia tidak menduga jika anak itu akan terus menempelkan kepala di dadanya seperti ini.
"Malu, Pa," gumamnya begitu. "Tapi Hiro rindu sekali kepada Papa. Sejak kemarin Papa tidak berbicara dengan Hiro sedikit pun."
"Papa sibuk, Hiro." Perlahan Elios mencoba merenggangkan pelukan itu. Ia membersihkan jejak air mata anak angkatnya dengan ibu jari.
"Hiro kira Papa tidak berbicara dengan Hiro karena Papa marah."
"Papa tidak marah, Hiro. Papa hanya khawatir Hiro-nya Papa kenapa-kenapa." Elios memberi alasan yang sama. "Buktinya sekarang Papa datang menemui Hiro di sini."
"Hiro lega jika Papa sudah tidak marah lagi." Anak itu tersenyum senang, percaya dengan semua yang Papanya katakan.
Elios pun sama, meski yang dia katakan tidak sepenuhnya benar, tetap saja ia merasa lega setiap kali senyum Hiro terpancar. Karena itu artinya, anak itu baik-baik saja dan masih bisa dimanfaatkan.
"Pa," panggil Hiro pelan, ia sudah tidak memeluk Elios lagi sekarang. Hanya duduk di sebelahnya dan menyandarkan kepala di bahu pria itu. "Hiro sayang sekali kepada Papa."
Elios menghela pelan ketika Hiro mulai memainkan jemarinya.
"Jangan sakit ya, Pa."
"Kenapa?" Pria itu nyaris kehilangan kata-kata mendengar kalimat yang keluar dari mulut anak angkatnya.
Hiro tersenyum hangat dan memandang wajah Papanya. "Karena Hiro ingin melihat Papa sehat dan bahagia selalu. Seperti sekarang. Hiro ingin memegang tangan Papa terus seperti ini. Sejak dulu Hiro selalu suka berada samping Papa, rasanya hangat sekali."
Hening. Elios tidak menemukan kalimat yang tepat untuk membalas ungkapan itu.
Dan dia semakin kehilangan kata-kata saat Hiro mengatakan lebih banyak hal dengan penuh ketulusan. "Jika suatu hari, semua orang membenci Papa, pulang kepada Hiro ya, Pa. Lalu kita akan menggambar bintang lagi seperti ini."
"...."
"Karena ketika semua orang membenci Hiro, Papa datang dan membawa Hiro ke tempat yang aman. Papa tidak pernah membiarkan Hiro kedinginan dan kelaparan seperti di panti asuhan. Papa melindungi Hiro dari dunia luar dengan baik, walaupun kadang-kadang Hiro penasaran kenapa harus mencoba obat-obat itu. Padahal rasanya sakit sekali, Hiro seperti akan mati setelah disuntik karena tidak bisa bernapas. Tapi... Hiro percaya, semua akan baik-baik saja karena Papa ada di sana, karena yang Hiro lihat sebelum tertidur adalah wajah Papa dan Mama yang tersenyum bahagia."
"...."
"Pa." Pandangan Hiro tertuju pada langit malam tatkala Elios merunduk dan mengepalkan tangan. Sebab, kalimat-kalimat Hiro bergema berulang kali dalam kepalanya. "Oliver marah kepada Hiro. Katanya dia membenci Hiro."
Elios tahu Oliver menjauhi Hiro karena perintahnya.
"Sepertinya ada sesuatu yang membuat Oliver seperti itu, Pa. Oliver terlihat sangat mencurigakan dan terus mengabaikan Hiro sejak pagi. Dia juga bilang, jika dia tidak akan peduli dengan Hiro sekalipun Hiro mati kelaparan."
Wajah Hiro tampak begitu sedih saat menceritakan hal itu kepada Elios yang terus diam saja sejak tadi.
"Oliver benci kepada Hiro dengan alasan yang tidak jelas."
"Biarkan saja, dia memang suka marah-marah." Setelah sekian lama, Elios kembali berbicara tepat ketika Hiro mulai mengambil spidol merahnya lagi. Kemudian merobek selembar kertas dari buku sketsa dan menuliskan beberapa kalimat di bagian tengah.
Oliver, ayo bicara lagi dengan saya. Saya benar-benar meminta maaf bila ada kesalahan yang membuat kamu sakit hati. Saya tidak bermaksud melukai perasaan kamu.
Perhatian Elios tertarik, bukan pada kalimatnya, melainkan tulisan Hiro yang tampak lebih rapi dari yang terakhir kali dia lihat. Dia tahu Hiro sering menggambar, tapi Elios tidak menerka jika anak angkatnya sering menulis juga.
Kira-kira apa yang dia tulis? Elios penasaran akan hal itu.
Sedangkan Hiro fokus melipat kertas tersebut beberapa kali sebelum kemudian meletakkannya di atas telapak tangan Elios. Dan berkata, "tolong sampaikan kepada Oliver ya, Pa, karena Hiro tidak bisa memberikan secara langsung kepada Oliver, dia pasti langsung pergi begitu melihat Hiro."
"Akan Papa sampaikan kepada Oliver."
"Jangan lupa."
"Iya."
Padahal kenyataannya, Elios tidak pernah menyerahkan surat singkat itu kepada anaknya. Ia membuangnya di tong sampah saat berjalan ke luar.
***
"Tumben lo ke rumah gue," komentar Arasyi tiba-tiba kala Oliver sudah bergabung bersama mereka. Juna dan Aiden yang sedang bermain PS pun menoleh. Baru menyadari jika Oliver si wajah datar hadir di tempat itu.
Oliver tidak menjawab, diam saja sambil menarik bantal sofa ke atas karpet bulu abu-abu tempat mereka duduk. Kemudian menidurkan diri di sana tanpa peduli pada apa pun lagi.
"Kenapa lagi lo?" Arasyi yang kini rebahan di sofa bertanya, posisi tubuhnya menyamping dengan tangan menopang kepala. Ia menatap Oliver heran.
"Rank gue turun, bangsat. Dapat teman bocah noob semua. Taunya bacot doang." Kebohongan seperti itu sudah biasa ia lakukan agar teman-teman berhenti penasaran. "Harusnya gue udah mythic sekarang."
"Mobile Legends terus otak lo." Di tempatnya Juna menyeletuk, tatapan tidak lepas dari layar kaca yang menampilkan permainannya. "Mending jual aja akun lo ke gue. Gue beli satu juta deh."
"Satu juta buat jajan sehari mah kalau si Oliver." Justru Aiden yang menjawab.
"Pantesan top up game mulu kerjaan lo." Arasyi ikut-ikutan mengomentari hobi Oliver. "Kalau udah nggak tau cara habisin duit lagi mending kasih ke gue aja sini."
"Butuh berapa?" Tanpa aba-aba Oliver mengeluarkan dompet dari saku celananya. Ia menoleh ke arah Arasyi seraya menyodorkan beberapa kartu dengan wajah tak berekspresi.
Aiden, Arasyi dan Juna langsung terbahak-bahak mendengar penuturan sahabat mereka.
"Gue bercanda, anjir. Serius amat hidup lo. Gue juga punya uang kali, baru aja kemarin dikirim Bokap," lanjut Arasyi di sela-sela tawa yang masih tersisa. Oliver sontak berdecak lantas menyimpan kembali dompetnya ke tempat semula.
Setelahnya mereka kembali fokus pada apa yang mereka lakukan. Di rumah ini tidak ada orang lain selain Arasyi dan teman-temannya sebab orang tua cowok itu memang jarang ada di rumah. Mamanya selalu ikut serta ketika Papanya dinas di luar kota. Sedangkan Arasyi kerap ditinggal sendirian dalam kebingungan.
Ia bingung ingin menyematkan status apa pada keluarganya. Dibilang rusak, orang tuanya hanya gemar bertengkar dan tidak pernah berakhir cerai. Nasibnya juga tidak begitu buruk karena keuangannya selalu tercukupi meski kerap ditinggal sendiri. Mau dikata harmonis juga tidak begitu cocok. Orang tuanya memang menyayanginya, tapi dia kerap dipaksa mengikuti keputusan yang mereka buat. Jika tidak diikuti pun sebenarnya tidak apa-apa, hanya saja Arasyi sering takut salah apabila memilih jalannya sendiri.
Selama beberapa saat tidak ada yang berbicara di antara mereka, setidaknya sampai suara bel yang ditekan beberapa kali terdengar.
Arasyi berdecak, ia sudah menebak siapa yang datang di jam seperti ini.
Dia hanya melangkah dalam diam ke arah pintu dan membukanya, untuk menemukan dua orang gadis yang sudah menjadi tetangganya selama bertahun-tahun. Lexy dan Rinjani. Seperti biasa, Lexy yang suka sekali memasak akan membawa kue buatannya setelah tahu Oliver ada sana. Rumah Lexy dan Arasyi sangat dekat, jadi tidak heran jika gadis itu bisa melihat dengan jelas ketika motor besar Oliver memasuki pekarangan rumah Arasyi.
"Gue masuk, ya?" Lexy bertanya basa-basi, karena diizinkan atau tidak, ia dan Rinjani akan tetap masuk. Dua gadis itu sama sekali tidak takut kepada Arasyi dan teman-temannya sebab tahu, mereka bukan cowok mesum yang akan melecehkan mereka. Apalagi Arasyi sudah menganggap Lexy seperti saudara. Kalau Rinjani, tidak akan ada yang berani main-main dengannya karena gadis itu galak bukan main.
"Weh, tau aja lo kalau kita lapar." Aiden yang sudah selesai bermain langsung bangkit untuk mengambil stoples berisi kukis coklat di tangan Lexy tanpa permisi. Gadis itu hendak merebutnya kembali, tapi tidak ia lakukan karena Oliver yang tengah rebahan meliriknya dengan ekor mata.
"Iya, gue bawa buat kalian, cobain deh, itu gue buat sendiri tadi sore."
Ekspresi Juna langsung berubah menjadi lebih semangat, ia ikut berdiri dan mengambil beberapa potong kue itu untuk dia makan. Beda sekali dengan Arasyi yang memicingkan mata sebab tahu tujuan Lexy datang hanya untuk melihat Oliver yang tidak menoleh ke arahnya sama sekali.
Rinjani beda lagi, dia sengaja datang untuk mengalahkan Aiden main game, sebab tadi pagi, Aiden menyebutnya tidak berguna dan hanya menjadi beban saja ketika mereka ada di tim yang sama.
Di tempat ini, yang tidak mengerti game sama sekali hanya Lexy. Ia langsung merasa terabaikan ketika Rinjani duduk di samping Aiden dan bersiap untuk bermain.
"Menurut lo yang bakal menang gue atau Aiden?" tanya Rinjani penuh semangat. Lexy tidak menjawab, fokusnya tertuju pada Oliver yang sekarang memejamkan mata. Cowok itu terlihat pucat dan kelelahan. Ia mengenakan kaos hitam dan celana jeans senada. Di sebelahnya ada jaket hitam yang tergeletak begitu saja.
"Aiden lah, cuma si Oliver yang bisa ngalahin dia di sini." Justru Arasyi yang buka suara. Rinjani langsung berdecak sebal. Tebakan Arasyi membuat suasana hatinya memburuk. Untungnya tidak lama kemudian Juna yang memeluk stoples kukis menyeletuk.
"Kayaknya lo yang bakal menang, Rin. Tadi aja dia mainnya nggak bagus." Juna mendekat dan berdiri tepat di belakang punggung Rinjani yang menjadi lebih semangat. Gadis itu baru saja ingin mengucapkan terima kasih, tapi tindakan Juna bikin dia batal bicara. Cowok itu mengambil topi hitam di kepalanya tiba-tiba. "Malam-malam pake topi. Pinjam bentar, ya."
"Heh, nggak boleh!" Gadis itu sontak berdiri dan merebut topi tersebut dari tangan Juna. Aiden dan Arasyi berdecak melihatnya. "Ini bukan punya gue."
"Masa, sih?" Juna tidak mau kalah, ia mengambilnya lagi dari Rinjani. Lalu membaca tulisan di depannya. HIRO. "Ooo gue tau, ini punya si Hiro 'kan?"
Jelas Juna bercanda, namun, kalimat singkat itu berhasil membuat Oliver membuka mata. Di saat yang sama Lexy langsung menoleh ke arah lain, takut tertangkap basah sedang memperhatikan wajah cowok itu.
Beberapa saat Oliver diam, memerhatikan topi hitam bertulisan HIRO itu. Tangannya terkepal keras, rahangnya ikut mengeras, ternyata, gadis ini yang membuat Hiro berada dalam masalah besar.
***
Bersambung
Katakan sesuatu untuk dia
Eh iya, follow akun ini juga ya, g follow juga gpp sih, karena ga digembok
Aceh, 28 Mei 2022