"Saya menginginkan kamu, Sasmita. Karena kamu akan menjadi alat terbaik saya untuk menghancurkan Papa yang kamu sayangi itu."
Deg!
Kalimat menyeramkan itu sukses memantik kesadaran Mita. Ia spontan terbangun. Duduk ditemani jantung yang berdegup kencang.
Pantulan cahaya matahari yang menembus lorong rumah sakit memberitahu Mita bahwa hari sudah pagi. Ia berhasil melewati malam yang melelahkan itu dengan tertidur. Meski harus terbangun karena mimpi buruk.
Mita menarik napas kuat-kuat untuk mengisi rongga dadanya yang menjadi sesak. Efek mimpi buruk itu tidaklah main-main.
Apa maksud dari mimpinya itu?
Mustahil jika Mita tak bertanya-tanya.
Dengan sedikit linglung, Mita mengedarkan pandangan. Yang kemudian membuatnya menemukan sosok Warna berjongkok di dekat pintu ruangan Mama mereka. Kepala yang tertunduk dalam itu menandakan Warna masih terlelap.
Mita memungut jaket sang adik yang terjatuh dari tubuhnya. Jaket abu-abu itu sudah menjadi penghangat untuknya semalaman.
"Na," panggilnya, mendekati Warna.
Pemuda itu menguap kecil. Kedua matanya mengerjap memperhatikan keadaan. Berusaha mengumpulkan kembali nyawanya yang mengawang di alam mimpi sebelum akhirnya bangkit.
Mita mengusap-ngusap punggung Warna, "Siap-siap berangkat sekolah sana. Kamu bawa baju seragam kamu, kan?"
Warna mengangguk singkat. "Hari ini, Kak Mita ke kantornya Papa?"
Tidak langsung menjawab, Mita justru menghela napas. Seketika ia teringat dengan agenda hari ini yang sudah dibuatkan oleh Ashraf. Agenda itu bahkan masih terbuka di dalam ponselnya setelah semalam tak sengaja ia tinggal tidur.
"Hm," gumam gadis itu. "Kamu gak apa-apa, kan, kalau jaga Mama dulu habis pulang sekolah?"
"Gak apa-apa, Kak. Warna tahu apa yang harus Warna lakuin, kok."
Senyum kecil terbentuk di sudut bibir Mita, "Ya udah. Kamu mandi sana. Kakak cariin sarapan dulu buat kamu."
...
Suasana pagi ini di kediaman megah Putra Adiswara tidak jauh berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Hanya saja, kehadiran seorang pria yang duduk menunggu di ruang tamu itu cukup sukses mengganggu aktivitas sang pemilik rumah yang sedang menikmati sarapannya.
"Apa maksud pembicaraan kamu semalam, Bramasta?"
Bram menyandarkan punggungnya. Sikapnya begitu santai. Ada seulas senyum yang ia berikan untuk Putra, "Anda tidak mengerti?"
Putra memicing curiga. Sepertinya, dugaannya salah besar. Penampilan Bram pagi ini sangat baik, tidak menunjukkan gelagat orang yang teler karena mabuk semalaman. Yang berarti, pembicaraan mereka di telfon itu dilakukan Bram secara sadar. "Kamu serius?"
"Saya sudah terlanjur menandatangani surat itu. Saya tidak mungkin kabur, kan? Mau tidak mau, saya harus tetap menikahi putri anda. Bukannya begitu?" balas Bram.
Pria itu kemudian beralih pada waktu yang ditunjukkan oleh jam tangannya, "Ini adalah hari pertama putri anda bekerja di tempat barunya. Selain itu, anda juga harus mengenalkan saya secara langsung kepadanya dan seluruh karyawan yang bekerja untuk anda. Bagaimana kalau kita berangkat sekarang?"
Tatapan Putra terhadap Bram menunjukkan kewaspadaan. Ada setitik rasa cemas yang menghampiri hatinya, sesaat setelah ia sadar bahwa pria di hadapannya nyatanya bukanlah lawan yang lemah.
Entah apa yang direncanakan Bram dengan ajakannya itu. Putra terlalu ragu untuk mengiyakan. Sehingga ia hanya bisa berdehem untuk mencairkan suasana yang seketika menjadi tidak mengenakan. Sudut bibirnya yang dihiasi kerutan menyunggingkan senyum tipis.
"Saya akan siap-siap dulu." Putra pun mengangkat tubuh dari sofa yang didudukinya. Langkahnya hampir membawanya pergi jika saja Bram tidak tiba-tiba menyeletuk.
"Baiklah, calon ayah mertua."
...
"Kondisi Bu Anggi berkembang pesat dalam waktu singkat. Jarang ada pasien seperti Bu Anggi."
Mita membalas pernyataan dokter itu dengan senyum bangga. Baru kemudian beralih pada Anggi yang ikut tersenyum walau masih nampak lemas.
"Terima kasih, Dok."
"Kalau begitu, Bu Anggi silahkan lanjutkan istirahatnya, ya. Meski kondisinya sudah terbilang baik, Bu Anggi harus tetap menjaga kesehatan. Tidak hanya kesehatan fisik namun juga pikiran. Nanti, saya akan suruh suster untuk memeriksa bekas jahitan Bu Anggi. Saya permisi kalau begitu."
Mita mengantar Dokter keluar dari kamar rawat Anggi dan buru-buru kembali. Tangannya menggapai tangan terbuka Anggi yang membutuhkan genggamannya.
"Tuh, dengerin kata Dokter, ya, Mah. Sekarang, Mama harus istirahat yang banyak."
"Mita..." Suara Anggi begitu parau. Senyumnya yang perlahan sirna mengawali tatapan lekatnya pada Mita. Hingga akhirnya pertanyaan itu pun tercetus dari bibirnya.
"Tentang yang kemarin... bisa jelaskan kepada Mama, sayang?"
Mita tentu tidak lupa dengan salah satu tugasnya yang masih terbengkalai itu. Hanya saja, ia tak menyangka bahwa sang Mama akan meminta kejelasannya secepat ini.
"Kamu... benar-benar menjadi pewaris Wara Group?"
Detik demi detik berlalu. Mita masih menyusun kata-kata yang tepat dan hal tersebut membutuhkan waktu.
"Apa yang Papa kamu rencanakan, sayang? Bukankah ini terlalu tiba-tiba? Kamu bahkan gak cerita apa-apa sama Mama."
"Mita... hanya ingin mengikuti saran Mama." Jawaban Mita sukses membungkam Anggi yang hampir memberikan satu pertanyaan lagi.
Genggaman Mita pada tangan Anggi semakin erat, "Yang Mama bilang benar. Mita gak bisa membiarkan wanita ular itu mengambil hak Mita dan juga Warna. Dia sudah merenggut kebahagiaan keluarga kita. Dan Mita gak bisa membiarkan dia menguasai apa yang seharusnya menjadi milik kita juga, Mah."
Mita mengenang perjanjian yang sudah dibuatnya bersama Putra Adiswara, "4 miliar itu bisa menjadi milik Mita dan juga Warna, kalau Mita setuju untuk menjadi pewaris Wara Group dan membawa kemajuan untuk perusahaan."
Pupil mata Anggi membesar. Mendengar cerita Mita saja, ia sudah membayangkan bahwa hal tersebut tidaklah mudah. "Dan kamu menyetujuinya?"
"Kalau Mita gak setuju, Ashraf gak mungkin jemput Mita kemarin, Mah."
Anggi termangu. Seketika ia meragu, yang kemudian berbuah rasa takut. Tidak seharusnya ia menyarankan Mita untuk meminta hak-nya kepada sang mantan suami hanya untuk membantu perekonomian mereka.
Anggi takut penunjukkan Mita menjadi pewaris Wara Group akan membawa bencana lain untuk kehidupan mereka.
"Sayang, apa kamu yakin dengan keputusan kamu itu? Menjadi seorang pewaris... bukanlah hal yang mudah, Mita. Kamu gak akan bisa mempercayai siapapun. Semua orang jelas ingin merebut posisi kamu, termasuk Cheline."
Tanpa diberitahu, Mita jelas memahami situasi tersebut. Masih segar di dalam ingatannya betapa murkanya wanita ular itu di hari pengangkatannya sebagai pewaris Wara Group.
Cheline sangat menentang keputusan sang Papa untuk menjadikan dirinya pewaris. Dan bukan tidak mungkin, wanita itu tengah menyusun rencana untuk menyingkirkannya secepat mungkin.
Sebuah usapan lembut Mita berikan di atas punggung tangan Anggi yang berkeriput, "Mama percaya sama Mita, kan?"
Bola mata Anggi bergetar. Ketakutan akan bayang-bayang Mita yang bisa saja dihancurkan oleh orang-orang haus kekuasaan di sekitar Putra Adiswara meremas hatinya. Ia tidak siap.
"Mama tahu kamu anak yang kuat dan gak akan terpengaruh oleh apapun. Tapi, keselamatan kamu lebih penting untuk Mama, sayang."
"Mah, Mita akan baik-baik aja. Gak akan ada yang bisa menghancurkan Mita. Kalaupun ada, Mita pastikan, orang itu yang akan hancur lebih dulu. Atau paling gak, kita akan hancur bersama-sama."
"Mita..." Anggi menggumam, semakin takut.
Sedangkan Mita malah melebarkan senyum, "Itu bukti kalau Mita kuat, Mah. Mita gak akan biarin orang lain bisa menghancurkan Mita. Mungkin, Mita yang dulu memang Mita yang payah. Tapi, sekarang Mita akan memanfaatkan yang Mita punya sekarang untuk mendapatkan apa yang harusnya Mita dapatkan. Dan semuanya, akan Mita persembahkan hanya untuk Mama dan juga Warna. Untuk kebahagiaan keluarga kita."
Pergerakan Mita membawa sang Mama masuk ke dalam pelukannya, "Yang penting, Mama harus percaya sama Mita dan selalu mendoakan Mita, ya. Selama ada Mama dan juga Warna, Mita akan baik-baik aja."
...
Ketukan stiletto yang Mita kenakan menciptakan gema yang cukup nyaring. Setidaknya, suara tersebut bisa menyembunyikan gemuruh di dalam hatinya seiringan dengan langkahnya yang semakin dekat kepada Ashraf.
Pria itu datang tepat waktu. Bahkan, dia harus menunggu kurang lebih sepuluh menit hanya karena Mita merasa tidak yakin dengan penampilannya. Ia takut tidak tampil dengan maksimal.
Padahal, padu padan antara celana kulot berwarna beige dengan sheer floral blouse yang cantik membuatnya nampak sangat menawan. Beruntung ia memilih jenis sepatu yang tepat. Alih-alih terlihat berisi, proporsi tubuh Mita justru terlihat 'pas' dengan outfit yang ia kenakan sekarang.
"Maaf sudah membuatmu menunggu lama."
"Tidak apa, Nona. Mari."
Ashraf pun membukakan pintu untuk Mita dan mempersilahkan gadis itu menduduki kursi belakang mobil sedan mewah tersebut. Sayangnya, mereka tidak bisa langsung bergegas karena seorang perawat mencegah Mita.
"Permisi, Mbak Mita."
"Oh, iya, Sus. Ada apa?" Mita ingat perawat itu. Perawat yang tempo hari membutuhkan donor darah untuk salah satu pasien di IGD.
"Maaf menggangu sebelumnya. Tapi, ini ada titipan dari keluarga pasien yang kemarin menerima donor darah dari Mbak Mita."
Sebuah parsel buah berukuran besar dan satu buket besar berisi satu jenis bunga yang tampak asing di mata Mita disodorkan oleh perawat itu. Mita tak punya pilihan lain selain mengambil alih karena menyadari perawat tersebut tampak kepayahan. Ashraf dengan sigap turut membantunya.
Mita diam sejenak. Ia bingung harus merespon apa.
"Terima kasih, ya, Sus. Padahal gak perlu repot seperti ini."
"Gak apa-apa, Mbak. Tadi saya mau antar ke ruangan Ibu Mbak Mita, tapi, Ibu Mbak Mita tampaknya lagi istirahat. Mau saya tinggal di information center, takutnya gak sempat kasih tahu Mbak Mita."
Mita tersenyum tipis, "Kalau begitu, ini saya terima, ya. Jika sempat, saya akan menemui pasien tersebut."
"Oh, kebetulan pasiennya sudah keluar dari rumah sakit, Mbak."
Seketika Mita mengernyit, "Secepat itu? Bukannya kemarin baru dioperasi?"
Perawat itu mengangguk, "Iya, Mbak. Keluarga pasien meminta untuk dipindahkan ke rumah sakit lain."
"Ah, sayang sekali." Tentu saja Mita menyayangkan hal tersebut. Ia ingin sekali memberi semangat kepada orang yang menerima donor darah darinya tempo hari.
"Ya sudah. Terima kasih, ya, Sus, sudah diantarkan ke saya. Saya harus berangkat kerja sekarang. Saya permisi, ya."
"Oh, iya, Mbak Mita. Hati-hati di jalan."
Ashraf menyimpan kedua hadiah itu di kursi belakang, tempat di samping Mita. Sementara dirinya langsung menempati sisi samping supir dan langsung memberi arahan sehingga mobil itu seketika menghilang dari halaman lobby rumah sakit.
Mita menatap kedua hadiah tanda terima kasih itu dalam diam. Fokusnya lantas terkunci pada buket bunga yang sukses mencuri perhatiannya. Ada perasaan aneh yang menyelimuti hatinya begitu tatapannya terhadap buket tersebut semakin dalam.
...
Mobil yang mengangkut Putra Adiswara dan Bram telah sampai di pelataran lobby Wara Hotel & Resort Management. Mesin sudah dimatikan. Namun alih-alih segera turun, keduanya justru diam di tempat masing-masing.
Berbagai hal berkecamuk di dalam pikiran Putra Adiswara. Sesekali ia akan mencuri pandang pada Bram yang duduk tepat di sampingnya. Mengamati bagaimana pria itu nampak santai dan tidak banyak bicara.
Tak lama berselang, sebuah mobil lain hadir tepat di belakang mereka. Pantulan yang muncul di spion memancing keduanya untuk menaruh atensi pada mobil tersebut.
Ada Ashraf yang keluar dari pintu depan dan bergegas membukakan pintu belakang mobil. Mempersilahkan Mita untuk keluar dari sana.
"Putri saya belum mengetahui apapun mengenai kesepakatan di antara kita berdua. Saya harap kamu bisa menunjukkan kesan yang baik untuk menarik perhatiannya," jelas Putra, memperhatikan Mita yang tidak melepas pandang dari mobil yang ia tumpangi.
"Dia mungkin akan mempertanyakan kehadiran kamu di sini. Mengingat bahwa daya ingatnya bagus, mungkin pandangannya terhadap kamu tidak akan baik karena kejadian malam itu. Kamu harus bisa menjelaskan kepadanya bahwa yang terjadi malam itu adalah kesalahpahaman. Mengerti?"
Tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari pantulan sosok Mita di spion, Bram mengangguk kecil. Ia jelas lebih tahu apa yang seharusnya ia lakukan.
Tidak ada satupun orang di dalam mobil itu yang menyadari bahwa ada seringai tipis yang kini menghiasi wajahnya. Menemani tatapan tajamnya yang lekat, yang seakan tengah mencengkram sosok Mita melalui pantulannya.
Ashraf yang menyadari adanya sang bos segera menghampiri mobil lain di depan mobilnya itu. Sebagai penghormatan, ia membungkuk singkat sebelum akhirnya membukakan pintu. Memberi jalan bagi Putra untuk turun.
Kehadiran Bram yang mengikuti Putra cukup mengejutkan Ashraf. Namun, dengan poker face-nya itu, Ashraf mampu menyembunyikan keterkejutannya dengan baik. Sekedar memberi tatapan datar menurutnya sudah cukup untuk menyapa Bram.
"Good morning, Mita."
Mita mengambil langkah dengan agak ragu. Mempertanyakan maksud dan tujuan Putra hadir di kantor barunya sepagi ini tentu hal yang wajar untuk ia lakukan.
"Selamat pagi, Pah. Ada apa Papa kemari sepagi ini?"
Putra tertawa ringan, "Hanya ingin menemanimu di hari pertamamu bekerja."
"Menemani...?"
Mita memang kebingungan, tapi ia hanya bisa menelan seluruh rasa ingin tahunya saat menyadari Putra tidak datang seorang diri. Ada orang lain yang mengekori.
Pria itu.
"Oh, ya, Mita. Papa yakin kamu tidak lupa dengan dia," ucap Putra kemudian, yang tahu kemana arah tatapan sang putri sekarang. Putra membawa Bram untuk berdiri di sampingnya.
"Pertemuan pertama kalian memang tidak begitu baik, tapi, mari kita lupakan apa yang terjadi malam itu. Perkenalkan, dia adalah Bramasta. Sekarang, dia akan menjadi Chief Security Officer di Wara Hotel & Resort Management. Papa juga memberi tugas ganda untuk dia. Yaitu untuk memastikan kamu tetap aman dimana pun kamu berada."
Putra menjelaskan dengan penuh senyuman. Ekspresinya berbanding terbalik dengan milik Mita yang wajahnya dipenuhi tanda tanya.
Dalam diam, Mita merasakan perasaan aneh itu kembali muncul. Belum ada 24 jam sejak mereka terakhir kali bertemu. Mita hanya berpikir bahwa setiap pertemuan di antara mereka seperti bukan kebetulan belaka.
Ketika Mita masih harus mencerna setiap penjelasan yang keluar dari mulut sang Papa, sebuah telapak tangan yang terbuka terulur tepat di hadapannya. Mita menatap telapak tangan besar dengan jari-jari panjang serta urat yang menonjol di bagian punggungnya tersebut lekat-lekat. Sebelum akhirnya beralih pada pemilik tangan itu.
Tidak seperti pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya, sudut bibir pria itu terangkat. Walau hanya sedikit. Memberikan seutas senyum kecil yang justru menyebabkan perasaan aneh di hati Mita semakin menjadi.
"Saya minta maaf atas kejadian malam itu. Salah satu anak buah saya sudah melukai Nona. Maka dari itu, untuk menebus kesalahan tersebut, izinkan saya untuk menjaga Nona."
Tatapan Mita dan juga Bram kini saling beradu. Seolah tidak ada orang lain di sekitar mereka, dunia mereka saling terkunci satu sama lain di dalam bola mata yang memancarkan berbagai makna.
"Perkenalkan, saya Bramasta. Nona bisa memanggil saya Bram."
Tidak berkutik, uluran tangan Bram tak kunjung ditanggapi oleh Mita. Gadis itu masih memaku pandangannya pada Bram. Pada pria misterius yang saat ini tengah ia terka isi kepalanya.
'Bagaimana bisa Papa mempekerjakan pria yang hampir saja membahayakan nyawanya?' batin Mita, bertanya-tanya.
"Kamu tidak perlu khawatir, Mita. Bramasta sangat menyadari kesalahannya malam itu. Ia bersedia untuk bekerja dengan Papa sebagai permintaan maafnya. Lagipula, pria handal sepertinya harus dimanfaatkan untuk pekerjaan yang lebih baik, bukan?"
Seakan dirinya cenayang, Putra dengan lugas menjawab pertanyaan di dalam benak Mita. Memancing Mita untuk memutus kontak mata dengan Bram dan berakhir pada sang Papa.
"Papa... yakin?"
"Tentu saja. Kamu tahu, Papa itu pandai menilai keterampilan seseorang. Salah satu buktinya adalah kamu. Kamu pikir Papa memilih kamu sebagai pewaris hanya karena kamu anak Papa?" Tawa kecil mengakhiri jawaban yang Putra berikan.
Menyadari bahwa Bram masih mengulurkan tangan untuk berjabat tangan padanya, Mita pun menghela napas. Mengabaikan perasaan aneh yang mengganjal, Mita lantas menjabat tangan pria itu. Dan seketika terkejut saat ia bisa merasakan seperti aliran listrik yang menyengat telapak tangannya.
Sedikit tergagap karena terkejut, Mita pun memperkenalkan diri, "Saya... Sasmita. Anda bisa memanggil saya Mita."
Bram tidak segera melepaskan jabatan tangan itu. Ia sengaja menahan Mita. Perlahan tapi pasti mencengkram telapak tangan Mita di dalam genggamannya. Seiringan dengan senyumnya yang semakin melebar.
'Sasmita, mulai detik ini, kamu tidak akan bisa lepas dari kesengsaraan yang telah saya ciptakan untuk kamu.'
— to be continue —