Seorang gadis yang tubuhnya diselimuti selimut dengan satu tangan yang terlihat diinfus perlahan membuka mata. Mengerjabkan beberapa kali untuk menyesuaikan matanya yang tampak menggelap lalu mengedarkan pandangannya ke segala arah. Menghela napas panjang kala melihat tangannya diinfus menandakan bahwa dia berada di rumah sakit.
Ingatannya kembali kala dirinya tertancap pisau, sebelum dirinya jatuh pingsan sang pelaku penusukan membisikkan sesuatu yang membuatnya terkejut.
"Maaf menyakitimu tapi harus ku lakukan sebab tuan Kevan sudah curiga sejak kedatangan kalian"
Gadis dengan lesung pipi yang membuatnya terlihat kian manis itu pun mencoba mengolah otaknya untuk mendapatkan jawaban dari rasa bingungnya. Hendak membangunkan tubuhnya tetapi yang dia dapatkan malah rasa yang begitu nyeri di perut membuatnya mau tak mau berteriak kesakitan.
"Awwww!!" pekikannya sontak saja membangunkan tidur para sahabatnya, dia tatap sendu para sahabatnya. Merasa bersalah karena mengganggu tidur sahabatnya yang kelihatan begitulelah
"Shan, lo udah sadar? syukurlah deh kalau lo udah siuman" tampak seorang laki-laki berparas tampan menampilkan raut wajah yang terlihat begitu khawatir membuat Shani terkekeh "Gue cuman ngilu dikit waktu mau duduk, capek anjir tiduran terus"
"Asal lo tau lo gak sadar dua hari loh" Shani melebarkan matanya dan segera mencari ponselnya, Vero yang peka dengan apa yang Shani cari segera memberikan ponsel Shani yang dua hari ini dia pegang membuat sang empu meraihnya dan mencari kontak kekasihnya
"Gracia gak tau ini, kan?" Vero menggeleng membuat Shani menghela napas lega, terdengar nada sambung menandakan gadisnya telah mengangkat panggilan darinya
"Hai sayang, good morning"
"Hiks.. hiks.. hiks.. kenapa baru ngabarin? aku khawatir banget tau sama kamu, waktu aku nyampe perasaanku udah gak enak, kamu bilang bakal ngabarin tapi malah ngilang dan baru sempet nelepon aku sekarang"
Shani menampilkan raut wajah sedih mendengar tangisan gadisnya, perasaan bersalah menguasai pikirannya membuat Vero terkekeh.
"Iya baru sempet nelepon, maaf yah buat kamu khawatir. Kesayangan Shani hari ini rencananya mau ngapain aja?"
"Aku mau ngecek kesehatan warga sekitar hari ini, siangnya mau keliling desa buat eksplor hal yang perlu aku catet. Kamu bener gak kenapa-napa, kan? lain kali please calling me, minimal message aku kalau gak bisa nelepon. Biar aku gak panik nyariin kamu"
"Iya sayang, ke depannya gak gitu lagi deh aku. Kamu jangan lupa sarapan yah, nanti pap makanan sama mukanya"
"Iya, aku kangen banget tau sama kamu, sumpah deh"
"Aku juga kangen, yaudah gih sarapan dulu. Nanti kabarin aku lagi yah, sekali lagi maaf buat kamu khawatir"
"Iya gak masalah asal jangan diulang lagi, yaudah dadah sayang"
"Dah.."
Tut..
Shani menghela napas begitu panjang membuat Vero tertawa, mendengar tawa sahabatnya membuat Shani menatap Vero sengit. "Jantung gue udah mau keluar denger pertanyaan adek lo dan lo malah enak-enakan ketawa, nyet. Emang sahabat sialan lo"
"Lah kok li malah nyalahin gue, ketimbang gue jujur kalau lo masuk rumah sakit mending gue matiin aja HP lo"
Shani tak lagi menjawab ucapan Vero karena Gracia mengirimkan sebuah pesan. Vero yang tahu sebentar lagi akan jadi nyamuk memilih kembali ke sofa dan memejamkan mata, rasa kantuknya masih tersisa membuatnya langsung tenggelam dalam alam mimpi.
"Syukur gue masih nyimpen beberapa selfie gue, emang tuhan tuh sayang banget sama anak yatim kayak gue" gumamnya sembari menekan foto sang kekasih lalu diperbesar olehnya, pipi Gracia terlihat sedikit tirus tetapi tak mengurangi sedikit pun kecantikan yang memang sudah tertampang nyata
Seorang gadis cantik berperawakan tinggi dengan gummy smile yang acap kali membuat banyak orang salah tingkah kini berjalan masuk ke restoran sang cici, Skyroll Restaurant. Memang sejak cicinya pergi ke Jogja, dia diutus menjaga restoran ini. Berbakat mengenai sistem pemasukan dan pengeluaran membuat Chika lebih mudah untuk menyesuaikan diri dalam pekerjaan dadakannya ini.
Sejak dirinya memutuskan hubungan dengan Ara, tak satu pun pesan atau panggilan masuk dari mantannya itu dia pedulikan. Chika hanya malas berdebat lagi, malas juga saling sindir menyindir dengan sang mantan. Hati memang tak bisa berkilah jika sebenarnya rasa itu masih ada tapi untuk saat ini, kekecewaan Chika menutup rasa sayangnya pada Ara.
Sesekali dia menyapa para pekerja yang memang sudah dikenalnya sejak ketiga saudarinya membuka restoran ini, derap langkahnya terdengar tenang memasuki ruangan khusus pemilik. Chika letakkan tas dan jaketnya di gantungan lalu menduduki kursi kemudian menghidupkan komputer. Kacamata sudah bertengger manis di pangkal hidungnya, mengecek data-data yang bakal dia susun untuk dilaporkan kepada Jinan nanti.
Fokusnya teralih saat pintu ruangannya diketuk seseorang, tanpa ingin tahu siapa itu Chika menyuruhnya masuk dan kembali fokus pada pekerjaannya. Seseorang itu masuk dan menatap sendu gadisnya, ah maksudnya mantan kekasihnya. Yah, dia Ara yang kini menatap Chika penuh kerinduan.
Chika yang merasa ditatap sontak menaikkan kepalanya, tubuhnya terpaku kala tatapannya bertemu dengan manik coklat milik Ara. Mereka saling beradu tatap beberapa detik dan Chika lebih dulu memutus pandangan, mencoba kembali fokus ke layar kotak di depannya mengabaikan Ara yang masih berdiri menunggu suruhan duduk oleh sang tuan rumah.
"Duduklah" Ara mengangguk dan duduk di sofa dekat meja kantor Chika, Ara tatap gadis yang sudah dia lukai hatinya dengan binar kesedihan, gadis yang sudah mengakhiri hubungan mereka karena kesalahannya yang tanpa sebab menuduh Chika selingkuh kini tampak baik-baik saja, lain halnya dengan dirinya yang terlihat begitu frustasi
Chika merasa sangat tidak nyaman ditatap sebegitu dalamnya oleh Ara seakan tak memiliki tempat lain untuk dia tatap. Chika berdeham sebentar lalu berdiri untuk menghampiri Ara. Chika kini duduk dihadapan Ara yang jarak mereka hanya dihalangi oleh meja, dia tatap datar Ara yang kini menundukkan kepala.
"Ada apa?" Chika menatap lekat Ara yang tak kunjung bersuara, ada rasa sedih di hatinya melihat kantung mata Ara yang membesar, gadis itu memang punya kebiasaan bergadang jika banyak masalah dan Chika sangat hafal kebiasaan sang mantan terindah dan tersakitnya itu
"Jawab gue, Ara" Ara mendongak dengan mata berkaca-kaca membuat napas Chika tercekat "K-kamu manggil a-aku g-gue?" dengan ragu Chika menjawab iya dan matanya terpejam mendengar isakan kecil yang mungkin tanpa sadar keluar dari mulut Ara
Segera dia palingkan wajahnya agar tak menatap mata itu lagi, semakin Chika menatapnya maka rasa sakit itu semakin menggerogoti hatinya, meminta untuk dikeluarkan. Chika berdiri dari duduknya, ingin melangkah untuk kembali ke mejanya tetapi saat ingin melakukan itu tiba-tiba sepasang tangan mendekap erat tubuhnya dari belakang. Menyandarkan kepalanya di punggung Chika dan memeluk tubuhnya sangat erat membuat Chika sedikit kesulitan bernapas.
Hati Chika mencelos saat suara tangisan Ara semakin terdengar pilu membuat pertahanannya runtuh juga. Air yang sedari tadi menumpuk di kelopak matanya kini tumpah membasahi kedua pipinya. Chika menggigit kuat bibirnya agar tidak menimbulkan suara dan membiarkan Ara mengeluarkan semua kegundahan hatinya. Tak melepas tak juga membalas, Chika masih berdiri tegap dan tak mengeluarkan suara sedikit pun.
"Lepas" Ara menggeleng kuat dan menghentakkan kakinya merasa Chika memegang tangannya agar pelukan mereka terlepas "Gak mau, Chika!!"
"Gue mau duduk, kalau lo masih kayak gini gue gak bisa ngapa-ngapain, Ara" sekali lagi Ara menggeleng malah tangisannya semakin kuat membuat Chika sedikit panik, dia sadar ruang kantor kakaknya tak memakai alat peredam suara
Segera dia balikkan tubuhnya dan memegang bahu Ara kuat, meremasnya sedikit membuat Ara mendongak. Tatapan mereka beradu, tatapan yang menyiratkan banyak luka untuk satu sama lain. Chika menghela napas kasar, ada baiknya dia meredam tangisan Ara agar tidak mengganggu konsentrasi semua pekerja. Didekapnya tubuh kecil Ara lalu diusapnya lembut kepala mantannya ini, hatinya seperti tersayat mendengar isakan lirih yang coba ditahan Ara.
"Tenang yah, jangan nangis terus. Kita omongin ini baik-baik, gue gak suka lo nangis kayak gini, ra" ucap Chika tetap mempertahankan panggilan barunya kepada Ara
Ara menggeleng dan meremas kuat baju Chika, mendorongnya agar lebih erat memeluk tubuhnya. Menjatuhkan wajahnya di ceruk leher Chika, menghirup aroma parfum gadis yang akan selalu dia cintai dalam-dalam. Hatinya sudah lelah memaki dirinya sendiri yang terlalu ingin dimengerti oleh Chika, jika memori saat dirinya dan gadis yang sedang memeluknya ini terlintas, hati Ara selalu perih.
Dia gagal menjaga Chika, tak sesuai dengan janjinya kepada Shani yang mengatakan akan selalu menyayangi dan melindungi Chika, menggantikan posisi Shani yang menjadi garda terdepan di hidup Chika. Ara menggeleng tak menerima saat Chika perlahan melepas dekapan mereka, ditatapnya Chika yang menatapnya datar.
"Cukup lo nangis, mata lo udah bengkak tau. Gih duduk dulu" Ara menuruti perkatan Chika, dia duduk tetapi matanya liar menatap Chika yang mengambil minum untuknya
"Minum"
Ara kembali menuruti perkatan Chika tanpa membantah sedikit pun, diteguknya air mineral itu dan mendesah lega saat cairan itu berhasil mendinginkan tenggorokannya. Kembali ditatapnya Chika yang duduk bersilang, dengan tangan yang diletak di paha sembari menatapnya sangat lekat.
"Katakan apa yang mau lo omongin, Ara"
Ara memainkan jemarinya, memilin ujung bajunya bingung apa yang harus dia katakan atas permintaan Chika. Ditatapnya Chika takut-takut membuat gadis yang memiliki senyum memikat itu memiringkan kepalanya dan menatap bingung manusia yang berada di depannya ini. "Apa, Ara?"
"A-aku akui kesalahan aku, aku terlalu cemburu dan menganggap semua yang kamu lakukan salah. Aku minta maaf untuk itu tapi aku masih sayang sama kamu, akan aku coba untuk gak melakukan kesalahan yang buat kamu pergi dari aku. Jadi, mau gak kamu balikan sama aku?"
"Gak"
Bahu Ara merosot ke bawah, ditatapnya Chika dengan wajah sedih. Chika memang tipe orang yang to the point, kalau hatinya tidak berkenan jangan harap dia mau menerima permintaan seseorang.
"Kamu belum maafin aku?" Chika menggeleng lalu mengambil gelas Ara dan meminumnya "Aku maafin"
"Jadi kenapa?"
Chika tersenyum getir, menempatkan telapak tangannya di dada. "Disini masih sakit, mungkin sedikit trauma untuk jalani hubungan sama lo lagi"
Ara menatapnya sedih, tatapan Chika menyiratkan banyak sekali luka karenanya. Ara juga bingung harus berkata apa, kenyataan bahwa Chika menolak untuk kembali bersama membuat hatinya sangat sakit.
"Udah? itu aja yang mau lo bilang sama gue? kalau udah mending lo cabut, gue sibuk" Chika bangkit dari duduknya dan berjalan kembali ke meja kantor, mencoba menghiraukan tangisan Ara yang dia tutup menggunakan tangannya, sudah tak ada lagi harapan untuk hubungan mereka, Chika sudah menyerah..
Ara perlahan menenangkan diri lalu menyusul di mana Chika berada, berusaha mengambil atensi dengan menarik lembut tangan pemilik gummy smile itu membuat Chika menoleh ke arahnya. "Apalagi, ra? please jangan ganggu gue, gue lagi sibuk"
Ara tersenyum tipis, menatap dalam mata Chika. "Boleh aku perjuangin kamu lagi?" Chika terdiam mendengar pertanyaan Ara, hatinya masih belum siap berhubungan dengan Ara lagi, hatinya sudah cukup terluka karena gadis bernama Zahra Adinda Khaulah ini
Melihat Chika hanya diam membuat Ara mengangguk seakan paham jawaban dari diamnya gadis itu. "Mungkin saat ini kamu masih sakit hati sama aku, aku ngerti posisi aku sekarang. Tapi aku mau coba untuk perjuangin kamu lagi, merubah sikap yang selalu buat hati kamu sakit, diamnya kamu itu aku ngerti pertanda gak tapi izinkan aku berpikir kamu ngizinin aku yah. Tolong, biarkan aku berjuang. Gak masalah kalau sendirian, aku siap menghadapi konsekuensinya"
"Lo bakal terluka" Ara mengangguk dan mencoba memberanikan dirinya dengan mencium punggung tangan Chika "Aku tau dan aku siap, aku siap berjuang. Gak masalah kamu cuekin aku, diemin aku, anggap aku gak ada aku gak masalah. Kamu suruh aku pergi kayak gimana pun aku gak mau, aku gak mau melakukan kebodohan lagi"
Chika mendengus kasar, menatap kesal Ara yang tersenyum manis kepadanya. Dilepasnya kasar genggaman tangan Ara lalu memalingkan tubuhnya dan kembali menempatkan fokusnya pada komputer mengabaikan Ara yang tetap tersenyum.
"Yaudah aku tau kamu sibuk, aku pergi dulu yah. Dah" diciumnya pucuk kepala Chika lalu berjalan keluar tanpa menyadari ada setitik air mata yang mengalir saat bibirnya mencium kepala Chika
Chika menatap sendu pintu yang baru saja ditutup Ara, menekan dadanya untuk menetralisir rasa sakit yang tiba-tiba menancap hatinya. Bulir-bulir air mata membasahi pipinya, dia taruh kepalanya di atas tangan yang terlipat di meja, menangis tersedu-sedu mengingat rasa sakit yang semakin mendera di hati.
"Aku takut, aku gak mau kembali. Tolong pergilah, Ara"
"Iya sayang iya, nanti aku bilangin sama Shani. Iya sayang, maaf gak ngabarin kamu dua hari ini. Iya, dadah.. love you more"
Jinan mendesah saat perdebatan yang terjadi di antara dirinya dengan sang kekasih berakhir baik, dia tatap tajam Shani yang menatapnya penuh tanya. "Lo kalau lagi berantem sama cewek lo jangan ajak-ajak gue juga dong, nyet!! gue jadi disembur abis-abisan sama Cindy gara-gara lo nyuekin Gracia, mana gue juga ikut lupa lagi ngabarin dia"
Shani terkekeh saat tahu alasan dibalik wajah sinis sahabatnya tadi, mencoba bangkit meski harus dibantu Jinan. Sesekali meringis kala lukanya masih basah, bisa saja sewaktu-waktu terbuka jika dirinya terlalu aktif bergerak.
"Lah ngapa gue yang disalahin njir? gue baru sadar tadi pagi, mana gue tau lah. Lagian gue sama Gracia udah baikan kok tadi pagi, kenapa masalah ini jadi dibahas lagi sih?" Jinan mengangkat bahunya tanda tak tahu lalu berjalan menghampiri Dinda serta Vero yang saling diam-diaman di sofa
"Apes banget hidup gue njir!! dikelilingi manusia kayak kalian, satu tololnya kadang buat gue ngucap yang satu suka diem-dieman tapi suka juga lirik-lirik gak jelas, a*jing emang!!" pernyataan yang dipaparkan Jinan sontak membuat tiga manusia yang merasa tersindir kini menatapnya tajam, sang pelaku bukannya ketakutan malah terkekeh saat sadar banyak pandangan tak mengenakkan ke arah dirinya
"Yang merasa yah mana gue tau, orang gue gak ngomongin lo pada" ucapnya membuat tangan Dinda melayang dan mendarat tepat di kepalanya "Aduh!! apa sih Din, kasar banget jadi cewek. Lembut napa kek tape uli, kan enak tuh"
Tatapan kesal Dinda tak membuat Jinan gentar sedikit pun, dia malah menyibukkan diri dengan bermain ponsel mengabaikan sepupunya yang bisa ditebak sedang menahan diri untuk tak berteriak kepadanya. Jinan memberi pesan kepada Cindy yang sedang merajuk, padahal semua ini bukan salahnya tapi mengapa Cindy marah kepadanya? cewek memang aneh!!
Jinan menoleh dan menatap tajam mendengar kekehan seseorang di sampingnya. Segera dia matikan ponselnya lalu menatap tajam Vero yang menatapnya dengan tatapan meledek. "Si paling ayang, nama kontaknya aja my baby Cindy, anjir geli beut gue" ejek Vero yang disambut kekehan Shani juga Dinda
"Diem lo sat, jangan buat gue panas deh. Cukup ayang gue aja yang ngeselin hari ini, lo pada gak usah ikut-ikutan" Jinan menghela napas kasar dan menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa
"Napa sih lo? dari tadi kusut banget, udah lecek makin lecek tuh muka" Jinan memilih mengabaikan perkataan Dinda dan memejamkan matanya, kepalanya pusing memikirkan Cindy yang kelihatan masih kesal padanya
"Masih ngambek si Cindy?" Jinan mengangguk tanpa membuka mata, dia tahu siapa yang sedang bicara dengannya
"Gracia juga sih tapi udah baikan kok. Dia mah gak bisa ngambek lama-lama sama gue" Jinan membuka matanya, meremas selembar kertas dan melemparkannya tepat ke arah Shani
"Bangsat!!"
"Yang sekarang di posisi Gracia itu gue, gak bisa gue diambekin gini sama Cindy. Gimana nih? gu-" ucapan Jinan spontan berhenti kala mendengar derap langkah seseorang, dia meminta Vero untuk mengunci pintu saat langkah kaki itu semakin terdengar mendekat ke arah ruangan Shani
Mereka semua terdiam dan menatap satu sama lain kala gagang pintu bergerak seakan seseorang sedang berusaha untuk membukanya. Shani yang merasa dirinya sudah dalam keadaan baik pun melepas paksa infus membuat darah mengalir dari tangannya dan langsung meletak jari telunjuknya di bibir kala melihat ketiga sahabatnya hendak melarangnya. Dia menatap Vero dan mengintruksi untuk menelepon seseorang yang bisa membantu mereka kabur dari rumah sakit.
Pintu seperti di dobrak membuat semuanya kian panik. Jinan langsung mendorong lemari dekat pintu untuk menahan agar dobrakan tidak terjadi. Vero memberi arahan agar mereka semua mendekat, dia menunjuk jendela yang di bawahnya sudah ada mobil yang menunggu kedatangan mereka. Semuanya sontak menatap Shani yang memegang perutnya, mereka khawatir tetapi tak bisa berkata kala Shani tersenyum dan mengangguk seakan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.
Vero pertama yang turun dengan melompat di susul Shani, si jangkung itu sekuat tenaga menahan rasa sakit yang mendera perutnya saat akan melompat. Mendesis pelan membuat Vero langsung menyuruhnya masuk ke dalam mobil.
Dinda terlihat takut untuk melompat membuat Jinan mengerang kesal dan tanpa aba-aba mendorong Dinda yang reflek berteriak. Dinda menutup matanya membayangkan betapa sakitnya jika tubuhnya terbentur tanah, tetapi tak merasakan apa-apa membuatnya perlahan membuka mata dan terkejut saat dirinya berada dalam dekapan Vero. Mereka saling bertatapan sebelum suara dehaman Jinan menghancurkan aksi adu tatap keduanya. Dinda segera turun dari gendongan Vero dan masuk ke dalam mobil mengabaikan kekehan sepupunya.
"Yuk masuk, bengongnya di pending dulu" Vero mencebik kesal dan masuk setelah Jinan masuk, mobil langsung melaju kencang mendengar beberapa tembakan mengarah ke mobil mereka yang sedang melaju
Jinan dan Vero mengambil beberapa pistol, Jinan memegang dua buah pistol berjenis Akdal Ghost TR01 sedangkan Vero mengambil pistol berjenis AK-47. Mereka berdua saling membantu untuk menembaki musuh, Jinan yang merasa pistolnya mulai tak aman segera menembak ban mobil musuh hingga mobil tersebut oleng dan terbalik, tak lama setelah itu terbakar menghabisi jiwa manusia yang berada di dalam sana.
Jinan mendesah lega lalu duduk dan menutup jendela mobil disusul Vero, mereka berdua saling bertos ria dan terkekeh melihat wajah syok Dinda yang terlalu kentara. "Santai aja Din, kalau pun mereka mati yah gak masalah, gue sama Vero cuman bantu meringankan dosa mereka semasa hidup"
Dinda hanya berdeham lalu fokus ke depan, matanya sontak melebar melihat cahaya yang sangat menyilaukan dan tiba-tiba terlihat truk yang sangat besar sedang melaju begitu cepat mengarah ke mobil mereka.
"Awas!!"
Brak!!
Mendengar teriakan Dinda sontak membuat Vero, Jinan dan Shani beralih dan tak sempat berkata tiba-tiba truk itu menabrak bagian depan mobil mereka membuat Shani beserta yang lain terlempar keluar. Pengemudi truk itu berhenti dan melihat keadaan lewat kaca spion, tersenyum layaknya psikopat lalu turun. Berjalan pelan menghampiri salah satu di antara mereka yang terlihat setengah sadar, dengan jahatnya dia injak sangat kuat perut korban yang mulai mengeluarkan darah. Dicengkramnya baju khas rumah sakit lalu dia tarik membuat Shani terbatuk-batuk sembari meringis kesakitan.
Pandangannya mulai menggelap kala kepalanya terbentur ke bagian body mobil. Sebelum menutup mata, mata Shani yang sayup-sayup mendengar ucapan pria itu lalu tubuhnya kembali dibenturkan hingga matanya tertutup rapat dengan darah yang perlahan mengalir keluar dari hidung dan mulutnya.
"Sayang sekali hidupmu hancur di tangan ayah perempuan yang kamu cintai, Shani Indira Natio"
Makasih udah pada ngingetin aku yang terkadang lupa ini, see u soon teman-teman sejawatku🖐
Tbc..