FLEUR ✓

By anachimayo

75.5K 3.8K 335

LENGKAP - Fleur diambil dari bahasa Perancis yang berarti Bunga. ••• Restu Dewangga Putera, anak laki-laki be... More

PROLOG
VISUAL CHARACTER
CHAPTER 1 | JUS APEL
CHAPTER 2 | NILAI UJIAN EKONOMI
CHAPTER 3 | SUPERNOVA
CHAPTER 4 | DEWA MINTA MAAF, AYAH
CHAPTER 5 | NAUNGAN POHON PINUS
CHAPTER 7 | PULANG SEKOLAH BERSAMA
CHAPTER 8 | WE ARE ONE!
CHAPTER 9 | AYAM GORENG
CHAPTER 10 | BELAJAR BERSAMA
CHAPTER 11 | KEAJAIBAN PERINGKAT SATU
CHAPTER 12 | KEKHAWATIRAN DEWANGGA
CHAPTER 13 | KOMPETISI TAHAP PERTAMA
CHAPTER 14 | HIGH HEELS MERAH
CHAPTER 15 | SURAT DARI BUNDA
CHAPTER 16 | ESCAPE
CHAPTER 17 | SUARA-SUARA ANEH
CHAPTER 18 | MOA & GALAKSI GANG
CHAPTER 19 | CHOKI-CHOKI
CHAPTER 20 | NIGHTMARE
CHAPTER 21 | ANCAMAN NAOMI
CHAPTER 22 | SENJA, PANTAI, DAN DAISY
CHAPTER 23 | ADA APA DENGAN DEWA?
CHAPTER 24 | DEWA MERINDUKAN BUNDA
CHAPTER 25 | KEMENANGAN DEWANGGA
CHAPTER 26 | HADIAH DARI AYAH
CHAPTER 27 | AIR, HUJAN, DAN SUNGAI
CHAPTER 28 | AMUKAN DEWANGGA
CHAPTER 29 | SKIZOFRENIA
CHAPTER 30 | DEWANGGA KEMBALI
CHAPTER 31 | KELUARGA BAHAGIA
CHAPTER 32 | DAISY DAN MOTOR BARU DEWANGGA
CHAPTER 33 | MENJEMPUT NONA CANTIK
CHAPTER 34 | KODE DARI DAISY
CHAPTER 35 | BUMI PERKEMAHAN
CHAPTER 36 | DANAU, DAISY, DAN DEWANGGA
CHAPTER 37 | PAJAK JADIAN
CHAPTER 38 | DOUBLE DATE
CHAPTER 39 | PERINGKAT PERTAMA PARALEL
CHAPTER 40 | JANGAN MENIKAH, AYAH!
CHAPTER 41 | PERTUNJUKAN PERTAMA ESCAPE
CHAPTER 42 | JANJI DI KALA SENJA
CHAPTER 43 | GALAKSI SUMMER FESTIVAL
CHAPTER 44 | AIRLANGGA DATANG LAGI
CHAPTER 45 | DEWANGGA ITU GILA
CHAPTER 46 | MENCARI PELAKU
CHAPTER 47 | DEWANGGA DAN AIRLANGGA
CHAPTER 48 | BALI DAN LUKANYA
CHAPTER 49 | CORETAN DEWANGGA
CHAPTER 50 | BANDARA DAN HUJAN
CHAPTER 51 | IMPIAN TERAKHIR
CHAPTER 52 | SELAMAT ULANG TAHUN, DEWANGGA
FINAL CHAPTER | GARIS AKHIR
EPILOG

CHAPTER 6 | BERTEMAN

1.4K 75 2
By anachimayo

Budayakan vote sebelum membaca. Jangan jadi silent reader yaaa!
(⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)⁠♡

•••

Deringan jam alarm yang nyaring tak mampu mengalahkan aroma menggoda nasi goreng yang tumpah ruah dari penggorengan. Dewangga, dengan seragam sekolah yang rapi, cekatan mengaduk nasi sisa semalam, mewarnai pagi hari dengan semburat jingga api.

Di atas meja makan berbentuk lingkaran, Dewangga menata sepiring nasi goreng, ditemani telur dadar dan kerupuk udang yang renyah. Uap panas masih mengepul, menggoda selera. "Bismillah," gumam Dewangga sebelum menyuapkan sesendok nasi goreng. Rasanya? Hmm, lezat!

Tapi, di balik kelezatan itu, tersimpan rasa rindu yang mendalam. Nasi goreng buatannya memang enak, namun tak sebanding dengan nasi goreng spesial buatan Bunda—Iris Puteri. Bumbu rahasia cinta dan kasih sayang yang Bunda tuangkan dalam setiap bulir nasi, menghadirkan kenangan indah yang tak terlupakan.

"Nasi gorengnya sudah siap!"

Iris, wanita berusia 30 tahun itu menyiapkan empat piring nasi goreng untuk keluarga kecilnya. Dengan senyuman tulus yang memancar, Iris dengan telaten melayani suami dan dua putranya.

"Jangan lupa berdoa ya, anak-anak!" Iris menasihati.

"Iya, Bunda," jawab dua bocah kecil kompak.

"Ayah yang pimpin doa makan."

Surya mengajarkan dua putranya yang masih TK untuk mengangkat kedua tangan. Pelan-pelan, ia menyenandungkan doa sebelum makan diikuti dua bocah yang masih cadel.

"Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma... bariklana... fimma... razaqtana ... waqina adza bannar... Aamiin."

"Selamat makan, Ayah, Bunda, Adik."

"Selamat makan juga, Sayang," balas Surya dan Iris bersama.

"Selamat makan, Abang," balas Airlangga.

Dewangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling meja makan. Matanya memanas, perih dihinggapi kenangan hangat masa kecilnya di tempat yang sama. Dulu, meja ini selalu ramai oleh tawa dan canda Surya, Iris, dan Airlangga. Surya, sang ayah yang gagah, selalu siap mengantarkan Dewangga dan Airlangga ke sekolah sebelum berangkat bekerja. Iris, sang ibu yang penuh kasih, selalu menyambut mereka dengan senyuman dan hidangan lezat. Di masa itu, Dewangga bisa bermain sepuasnya bersama Airlangga tanpa beban, tanpa tahu bahwa kenyataan pahit akan segera memisahkan mereka.

Bibir Dewangga bergetar hebat. Nasi di mulutnya terasa hambar, bagaikan kenangan indah yang kini terasa pahit. Dadanya sesak, dihimpit rasa sakit yang tak terkira. Bagaimana mungkin kebahagiaan itu direnggut begitu cepat? Dewangga masih berusia lima tahun saat pertengkaran orang tuanya berakhir membawa Iris dan Airlangga pergi dari rumah.

"Selamat makan, Ayah... Bunda... Air..." gumam Dewangga lirih, suaranya bergema pilu di ruangan yang sunyi. Tak ada jawaban, hanya derai air matanya yang membasahi pipi. Dewangga menangis sejadi-jadinya, isakannya menggema di ruang makan yang terasa hampa.

"Kenapa dunia sekejap berubah begitu kejam?" Dewangga meratap dalam hati. Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, tanpa pernah menemukan jawaban.

Dengan tangan gemetar, Dewangga mengambil selembar tisu dan menyeka air matanya serta ingusnya yang ikut keluar. Butuh waktu lama baginya untuk menenangkan diri, hingga nafasnya kembali teratur.

"Ternyata ingus gue rasanya asin," Dewangga mencoba menghibur diri dengan lelucon garing, lalu kembali melanjutkan sarapannya yang dingin.

Setelah menghabiskan sisa nasi gorengnya, Dewangga membereskan peralatan makan dengan gerakan lesu. Matanya terpaku pada barang-barang kotor yang berserakan, memicu kenangan tentang kemarahan Surya. Dewangga selalu berusaha menjaga rumah agar tidak dimarahi ayahnya.

"Rumah, gue pergi sekolah dulu. Jaga diri baik-baik, jangan sampai kemalingan!" Dewangga berpesan pada rumah yang kosong itu, suaranya bergema pilu.

Dengan mengayuh sepeda hitam kesayangannya, Dewangga mengawali pagi yang cerah dengan senyuman lebar. Angin pagi begitu sejuk, namun tak mampu menghapus rasa sakit di hatinya.

"Selamat pagi, duniaaa," teriak Dewangga riang, berusaha menyembunyikan kesedihannya. Di balik senyumannya, Dewangga menyimpan luka masa kecil yang mendalam, luka yang akan selalu menjadi pengingat pahitnya tentang kebahagiaan yang hilang.

•••

Sinar mentari pagi menyapa hangat gerbang SMA Galaksi, mewarnai momen perpisahan singkat antara Daisy dan Yanuar. Gadis SMA berusia 16 tahun itu mengecup punggung tangan sang ayah dengan penuh kasih sayang. "Selamat bekerja, Baba," bisiknya dengan suara lembut.

Yanuar membalas dengan senyuman hangat. "Selamat belajar, Anak Baba," ucapnya sembari mendaratkan kecupan singkat di puncak kepala Daisy. "Ingat, kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk telepon Baba, ya!"

Daisy menegakkan tubuhnya, memancarkan semangat juang. Dengan tangan kanan di atas dada, ia memberi hormat kepada sang ayah. "Siap, Komandan!" jawabnya tegas.

Setelah Yanuar pergi, Daisy melangkah memasuki gerbang sekolah. Pintu gerbang yang kokoh bagaikan menandakan dimulainya petualangannya dalam menimba ilmu. Di pos satpam, Pak Darma, satpam senior yang selalu ramah, menyambutnya dengan senyuman. "Pagi, Nona Daisy! Sehat-sehat?" sapanya dengan nada ceria.

Aroma kopi hitam yang mengepul dari cangkir Pak Darma berpadu dengan harumnya koran pagi. Daisy membalas sapaan Pak Darma dengan senyuman manis. "Pagi, Pak Darma. Sehat, Pak. Siap belajar!" jawabnya penuh semangat.


Di antara keramaian, Daisy melangkah dengan langkah kaki yang semakin melambat. Jantungnya berdebar kencang saat sebuah sepeda hitam menyamainya. Dewangga mengayuh sepedanya dengan santai, senyum cerah menghiasi wajahnya.

"Hai, pagi," sapanya dengan suara ceria.

Daisy membalas senyum itu, meskipun hatinya diliputi rasa gugup. "Pagi juga, Dewa."

Keheningan menyelimuti mereka setelah sapaan singkat itu. Daisy mencengkram tali tasnya erat-erat, merasakan tatapan penasaran dan bisikan-bisikan dari para siswa di sekitar mereka. Berjalan bersama Dewangga, salah satu penguasa sekolah, bagaikan magnet yang menarik perhatian.

"Dewa," panggil Daisy pelan, memecah keheningan. "Soal kemarin siang, apa lo serius akan lindungi gue?"

Dewangga mengangguk mantap. "Serius."

"Kenapa?" tanya Daisy ragu, raut wajahnya penuh kebingungan.

"Setahun lebih kita sebangku, tapi kayak orang asing." Dewangga menjelaskan dengan nada prihatin.

"Selama ini nggak ada yang mau temenan sama gue, Dewa." Daisy menundukkan kepala, suaranya bergetar menahan kesedihan.

"Ada. Gue orangnya," Dewangga menegaskan, berusaha meyakinkannya.

"Gue butuh alasan lo?" Daisy menatap Dewangga dengan tatapan tajam, ingin mencari tahu kebenaran di balik tawaran pertemanan ini.

"Jadi temen itu nggak perlu alasan," Dewangga berkata santai.

"Tapi gue butuh alasan lo!" Daisy meninggikan suaranya, frustrasi karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. "Apa yang lo mau dari gue?"

Dewangga terkejut mendengar nada suara Daisy yang meninggi. Biasanya, gadis itu selalu berbicara dengan suara pelan dan lembut. Ia tersadar bahwa bagi Daisy yang tidak memiliki teman, mungkin perlu alasan yang jelas untuk memulai sebuah pertemanan.

"Dewa jawab!" Daisy mendesak, tidak ingin dibohongi.

Dewangga menghentikan sepedanya, tepat di depan parkiran khusus Galaksi Gang. Tanpa sadar, Daisy telah mengikuti Dewangga sampai ke sana.

"Bukannya lo temenan sama Naomi?" tanya Daisy, mencoba mencari celah dalam perkataan Dewangga.

Dewangga mengangkat bahu. "Lo nggak liat tiap hari gue adu bacot sama dia?"

"Ya, kan bisa aja style pertemanan lo sama dia dengan cara tengkar terus."

Pikiran Daisy dipenuhi rasa curiga. Dewangga dan Naomi sama-sama anak orang kaya, dikelilingi oleh banyak teman. Sulit baginya untuk percaya bahwa Dewangga, salah satu penguasa sekolah, tiba-tiba ingin berteman dengannya, seorang siswi beasiswa yang tidak memiliki siapa-siapa.

Jantung Daisy berdegup kencang saat Dewangga mendekatinya. Satu langkah demi satu, tubuh Dewangga semakin mendekat, membuat Daisy mundur hingga terpojok di bodi mobil hitam milik Juan. Para siswa yang tadinya hilir mudik di lorong parkiran pun sontak berhenti, terpaku menyaksikan adegan bak drama pagi ini.

Dewangga mencondongkan wajahnya, nyaris menempel pada wajah Daisy yang lebih pendek darinya. Matanya yang berwarna coklat terang itu bagaikan magnet, mengunci pandang Daisy yang bulat sempurna. Genggaman Daisy pada tali tasnya semakin erat, berusaha meredam panas dingin yang menjalar di sekujur tubuhnya.

"Gue tau lo orangnya mandiri dan bisa ngapain aja sendiri," Dewangga berucap dengan nada penuh penekanan. "Tapi gue juga bisa jadi temen biar lo nggak sendirian. Ini jawaban terakhir. Jangan tanya-tanya lagi soal ini!"

Sebelum Daisy sempat mencerna perkataan Dewangga, cowok itu sudah merebut paper bag yang dibawanya. "Gue ambil jaketnya! Thanks udah dibalikin."

Tanpa menunggu jawaban, Dewangga berlalu meninggalkan Daisy yang masih terpaku di tempatnya, tubuhnya kaku bagaikan patung es.

"Apa yang baru aja cowok itu lakuin padanya?" batin Daisy bertanya-tanya. Pertanyaan itu masih menggema di kepalanya saat ...

TIIIIINNNNNN!!!

Suara klakson mobil membuyarkan lamunannya. Daisy tersentak kaget dan menjauh dari mobil hitam di depannya. Kaca mobil itu turun, memperlihatkan wajah Juan Leswara, sang Ketua Galaksi, yang menatapnya dengan tatapan tajam dan menyelidik.

"Lo ditembak sama Dewa?" Juan bertanya tanpa basa-basi.

"E–nggak," Daisy gugup menjawab sambil menggelengkan kepalanya.

"Terus apa yang gue liat barusan? Dewa mau cium lo kan?" Juan mendesaknya.

"Eng..." Daisy menunduk, raut wajahnya diwarnai rasa panik. "Lo salah paham!"

"Terus kenapa jaket Dewa lo bawa?" Juan kembali bertanya, kali ini dengan nada curiga.

"Dipinjemin kemarin," jawab Daisy singkat.

Juan menjetikkan jarinya. "Itu dia! Kenapa Dewa bisa minjemin lo jaket?"

Daisy mulai kesal. Rasanya pagi ini benar-benar menyebalkan. Pertama Dewangga, dan sekarang Juan. "Kepo!" Daisy melengos pergi, meninggalkan Juan yang masih menatapnya dari dalam mobil.

"WOI, LO!!!" Juan berteriak dari dalam mobil. "GUE BELUM SELESAI NGOMONG!!!"

•••

"Sst, Jenderal!" bisik Sagara di telinga Khatulistiwa, yang masih asyik menari-nari jari di layar ponselnya.

Dugh!

Sebuah tendangan keras mendarat di tulang kering Khatulistiwa, membuatnya meringis kesakitan. Teriakannya menggema di sudut-sudut kantin, menarik perhatian para siswa kelas 11 yang sedang bersantap.

"Monyet lo!" umpat Khatulistiwa, mengelus kakinya yang perih. "Ini kaki, bukan bola! Nendang jangan keras-keras!"

"Arah jam tiga!" bisik Sagara lagi, kali ini dengan nada menggoda.

Khatulistiwa mendelik kesal, namun rasa penasarannya mengalahkan amarahnya. Matanya melirik ke arah yang ditunjuk Sagara, dan jantungnya seakan berhenti berdetak. Di sana duduk Narcisa, sang mantan kekasih, dengan senyuman manis yang mampu membangkitkan kenangan indah di masa lalu.

Sagara menyeringai tipis. Dia tahu betul perasaan Khatulistiwa terhadap Narcisa. Meskipun sang mantan sudah lama berlalu, pesonanya tak pernah pudar, dan kerinduan masih jelas terlihat di mata Khatulistiwa.

"Jangan bohongi diri sendiri, Jenderal," ujar Sagara, suaranya datar namun penuh makna. "Perasaanmu belum pudar, kan?"

Khatulistiwa menelan ludah. Dia berusaha menyembunyikan rasa gugupnya dengan kembali fokus pada ponselnya, meneguk es tehnya dengan kasar. "Gue udah move on," gumamnya, berusaha meyakinkan diri sendiri.

Sagara tak percaya. Alisnya terangkat, matanya menatap Khatulistiwa dengan sinis. "Benarkah? Yakin hatimu tidak berdebar kencang saat melihat Narcisa yang makin cantik dan menawan setiap harinya?"

Khatulistiwa meremas ponselnya dengan erat. Gertakan gigi terdengar dari mulutnya. "Diam atau gue jahit mulut lo!" ancamnya, berusaha menutupi rasa gelisah yang melanda.

Sagara terkekeh geli. "Wah, sang Jenderal mulai panik nih?" ledeknya. "Baiklah, baiklah. Gue diam. Tapi, ingat ya, Jenderal. Gengsimu memang tinggi, tapi hatimu tak bisa berbohong."

Khatulistiwa mendengus kesal. Dia tahu Sagara benar. Di lubuk hatinya yang paling dalam, dia masih mencintai Narcisa. Gengsinya yang tinggi membuatnya enggan untuk mengakui perasaannya, tapi kenyataannya, dia tak bisa move on dari sang mantan.

"Nara bentar lagi lulus loh, Khal."

"Ya terus?"

"Lo nggak pengen ngajak dia balikan sebelum pisah?"

"Dia keliatannya baik-baik aja tanpa gue."

"Itu kan keliatannya, siapa tau hatinya enggak," sahut Dewangga yang baru datang. Ia tidak sengaja mendengar percakapan dua sahabatnya.

Cowok itu duduk di samping Khatulistiwa, sedangkan Juan di dekat Sagara. Mereka berdua baru menyelesaikan tes seleksi olimpiade Geografi dan Ekonomi.

Mendengar topik obrolan yang seru, sebuah lampu berpijar terang di atas kepala Juan.

"NARA!" panggil Juan keras.

"Anjir Si Juan!" maki Khatulistiwa kesal. Saat ini dia berusaha untuk tidak menoleh ke sebelah kanan, menghindari Narcisa.

"Kenapa, Juan?" Cewek bernama Narcisa Rinjani itu menghentikan makannya dan menoleh ke sumber suara.

"Sekali-kali main lagi sama Galaksi, jangan belajar mulu!"

Narcisa tersenyum. "Makasih tawarannya, kalau ada kesempatan nanti main lagi."

"Gue tunggu, Ra!" Sagara menyahut.

"In Syaa Allah."

Juan, Sagara, dan Dewangga bertos ria. Mereka bertiga cekikikan melihat wajah Khatulistiwa yang merah padam karena ulah para sahabatnya. Khal itu memang harus dikerjain biar nggak gengsi, katanya move on tapi diam-diam selalu lihat mantan dari jauh. Duh, kasihan Khatulistiwa Virgosa kalau segera tidak diselamatkan.

"By the way, hari ini ada yang udah dapet doi baru," Juan membuka obrolan dengan nada menggoda.

"Hah?" Sagara, yang sedang melahap makanannya, tersedak mendengar pernyataan Juan. "Lo dapet cewek, Pres? Alhamdulillah, akhirny—"

"Bukan gue. Tuh!" Juan menunjuk Dewangga yang duduk di sebelahnya dengan sendok. "Si Dewa tadi pagi mepet cewek!"

"Serius lo, Nyet?" tanya Khatulistiwa dengan nada skeptis.

Dewangga yang dituduh langsung membela diri. "Bohong dia! Gue tadi cuma ambil jaket yang kemarin dipinjam Daisy."

"Cuma ambil jaket? Terus yang tadi lo mau cium dia gimana?"

"Anjir, Pres! Ngawur lo!"

"Bersyukur gue," Khatulistiwa angkat bicara. "Setelah 16 tahun, ternyata sahabat gue masih normal."

"Daisy, gue bisa menemani lo biar nggak sendirian. Anjay..." goda Juan dengan senyum jahil.

"An—astaghfirullah!" Dewangga pasrah.


Kenapa ya Dewangga baru ngajak temenan Daisy sekarang? Padahal mereka sebangku dari jaman kelas 10.









Satu vote dan komentar dari kalian adalah semangat author untuk menulis.
(⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)⁠♡

Anachimayo

Continue Reading

You'll Also Like

60.6K 4.4K 47
- Pelangi memang muncul setelah hujan, tapi tidak setiap hujan memunculkan pelangi - Mereka kira kebahagiaan adalah milik setiap manusia, tapi ternya...
25.6K 2.2K 53
[BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM BACA] [SIDERS DILARANG MENDEKAT!] [CERITA INI MENGANDUNG UNSUR BAWANG! GUDANG NYA AIR MATA! DAN ALUR YANG PENUH TEKA-TEKI...
30.7K 3.3K 28
[Proses Revisi] Ntah apa yang menurut semesta ini lebih menyakitkan dibandingkan orang tua yang berkeji hati pada sang buah hati. Segala sarwa kehidu...
DAMIAN By Sania

Teen Fiction

711K 16.8K 73
⚠️ CERITA INI MENGANDUNG KEKERASAN SEKSUAL, MENTALHEALTH, SELFHARM, CACIAN DAN KATA-KATA KASAR. TOLONG BIJAK DALAM MEMBACA! Sudah end, belum direvisi...