Different (Complete ✓)

By brinayunio

618K 53.3K 1.1K

Dalam semalam, dunia Kirana si workaholic berubah. Tiba-tiba identitasnya berbeda dan yang lebih mengejutkan... More

00: Kirana Rosetta
01. Who Is He?
02. Kirana's Theory
03. Something Impossible, But Possible
04. Who Is Kiara
05. Between Kiara and Saka
06. The War
07. The War II
08. Saka's Love Towards Kiara
Meet The Casts
09. Greeting
10. Just Like A Normal Family
11. Digging Deeper
12. Kiara's Treasure
13. Reading Her Story
14. Jinx
15. In Time
16. Shock
17. Kirana and Kiara
18. Face to Face
19. Let's Find The Truth
20. How About To Dig More?
21. The Meeting
22. Unresolved
23. She Is A Hope
24. Snake
25. Saka's Story
26. The Wicked Witch
27. Be Brave
28. Why?
29. The Reason
30. Hello Future (End)
Bonus: With Conditions
Bonus: Lovely Family
Bonus: Happiness
For Your Information
Spesial: Mama and Mami
Spesial: Drama Mudik
Kenzo & Kirana
Kiara & Saka: Bagian 2
Kiara & Saka: Bagian 3
Kiara & Saka: Bagian 4
Kiara & Saka: Bagian 5
Kiara & Saka: Bagian 6
Kiara & Saka: Bagian 7
Kiara & Saka: Bagian 8
Kiara & Saka: Bagian 9
Kiara & Saka: Bagian 10
Kiara & Saka: Bagian 11
Kiara & Saka: Bagian 12 - End

Kiara & Saka: Bagian 1

3.6K 112 5
By brinayunio


Bagian 1: Persahabatan


Bunda selalu bilang kalau setiap yang terjadi dalam hidup ini tidak ada yang namanya kebetulan. Semua yang terjadi sudah ditentukan Tuhan. Itulah yang disebut takdir. Kiara pun selalu mengingat hal itu. Makanya, ketika ia mendapati anak lelaki seusianya sedang menangis sesenggukan, Kiara menganggapnya sebagai takdir.

Gadis sebelas tahun itu juga mengingat perkataan bapak, bahwa setiap manusia lahir punya peranan dalam kehidupan. Baik itu kehidupannya sendiri atau dalam bersosialisasi. Sebagai manusia, kita harus bisa menentukan pilihan peran tersebut. Mau jadi orang baik atau jahat.

Di sini, Kiara tentu saja ingin menjadi baik. Gadis itu juga maunya bisa berguna untuk orang lain. Karena itu, ia mendekati anak lelaki tersebut. Matanya yang berbinar menatap lama ke arah anak tersebut.

"Kamu kenapa nangis?" Pertanyaan meluncur dari bibir mungilnya.

Anak lelaki yang tampak seumuran dengan Kiara itu menatap balik. Matanya sembab, merah, dan berair. Hidung mancung anak itu juga sama merahnya.

Hanya dari melihat ekspresi itu, Kiara bisa tahu jika anak di hadapannya itu sedang sangat bersedih. Entah karena apa, tapi ia tidak berani bertanya lebih jauh.

Sekali lagi, Kiara ingat perkataan kakak perempuannya tentang batasan. Kita, harus tahu batasan apa yang boleh ditanyakan pada orang. Tentu saja, kecuali orang itu sendiri yang mau memberitahukannya.

Jadi, gadis kecil itu tidak memaksa si anak lelaki menjawab pertanyaannya. Ia diam saja, malah duduk di ayunan sebelah yang kosong. Sementara ayunan satunya diduduki anak lelaki tersebut.

Keduanya terjebak dalam keheningan. Hanya suara hembusan angin yang menggerakkan daun-daun pohon di taman menemani mereka. Decit dari besi tua agak karatan di ayunan juga semakin tajam terdengar ketika Kiara menggerakkan ayunannya.

Taman kecil di sebuah komplek perumahan ini cukup sepi di siang hari. Namun, Kiara suka suasananya. Ia seolah bisa menguasai seluruh oksigen yang keluar dari pohon-pohon rindang di sekitarnya.

"Kamu..." anak lelaki itu buka suara. Kali ini, Kiara menghentikan gerakan ayunannya.

"Kamu pernah sedih karena ditinggalkan orang-orang yang kamu sayang?" Anak lelaki itu melanjutkan.

Tentu saja Kiara tidak pernah merasa sedih ditinggal orang-orang terkasih. Gadis itu punya banyak sekali orang yang menyayanginya. Mereka selalu ada di sisi gadis itu dalam keadaan apapun. Apalagi belakangan ini, Kiara merasa punya lebih banyak orang yang menyayanginya.

"Nggak pernah. Memang sedih banget?" Gadis itu menatap anak lelaki di sampingnya.

"Banget. Aku jadi nggak bisa main lagi sama Javas. Aku juga nggak bisa makan kue buatan bunda." Mata anak itu kembali berkaca-kaca.

"Memang kemana mereka?"

"Ke Belanda."

"Kok kamu nggak ikut?"

"Aku harus tinggal sama ayah."

"Ayah kamu kenapa nggak ikut sekalian?"

Kepala anak asing itu menggeleng. "Bunda sama ayah udah berpisah."

"Berpisah?"

Sebagai anak yang punya keluarga utuh, Kiara tidak bisa mengerti berpisah itu maksudnya apa. Mungkin nanti ia akan tanyakan pada bapak atau bundanya.

Anak lelaki di sebelahnya tiba-tiba kembali menangis. Kiara sempat terkejut sebentar, tapi kemudian, ia turun dari ayunan. Lalu, memeluk erat anak lelaki itu.

"Udah... jangan nangis lagi. Aku jadi ikut sedih." Lama-lama, Kiara jadi ikut meneteskan air mata dan akhirnya menangis bersama anak itu.


***


Saka, begitu remaja tampan itu dipanggil. Ia termasuk dalam golongan anak cool yang punya banyak penggemar di sekolah. Meski selalu dingin dan tidak banyak bicara, Saka sebenarnya cukup bawel saat sedang bersama sang sahabat.

"Kia!"

Seketika senyum Saka merekah lebar tatkala matanya menangkap sosok gadis bernama Kiara.

Gadis itu sungguh istimewa baginya. Ia tidak pernah menyangka kalau tiga tahun lalu tangisnya berhasil ditenangkan oleh gadis itu.

Saka pikir, ia tidak akan bertemu lagi dengan Kiara setelah berpisah dari taman. Namun, tahun lalu saat memulai kehidupan sebagai anak SMP, pemuda itu bertemu lagi dengan Kiara.

Hal yang bagi Saka adalah sebuah keberuntungan karena bisa satu kelas juga dengan gadis itu.

"Nggak latihan basket?"

Kiara mengerutkan kening, heran. Biasanya di hari Selasa sepulang sekolah, Saka ada jadwal latihan basket.

"Hari ini nggak ada latihan. Pak Guntur nggak bisa ngelatih, ada acara keluarga katanya. Disuruh latihan sendiri sih, tapi aku males." Di siang menjelang sore ini, Saka memang sedang malas.

"Oh... terus mau langsung pulang?" Tanya Kiara.

Keduanya berjalan beriringan di koridor depan kelas-kelas. Kebetulan, suasana kelas sudah mulai sepi. Beberapa murid yang sedang piket saja yang bertahan.

"Males pulang. Aku main ke rumah kamu aja ya."

Langkah Kiara seketika terhenti. "Jangan."

"Kenapa?"

"Jangan deh pokoknya," tolak Kiara.

"Yang jelas dong alasannya," protes pemuda itu.

"Ya... jangan aja. Nanti kamu nyesel."

"Kenapa nyesel?"

Pertanyaan itu langsung dapat jawaban ketika akhirnya Kiara pasrah akibat Saka memaksa ikut ke rumah sang sahabat. Iya, Saka langsung mendeklarasikan bahwa Kiara itu sahabatnya.

"Bikin lagi pesawatnya!"

"Ayo main kuda!"

"Ih... main sembunyi aja!"

Saka jadi rebutan anak-anak kecil begitu sampai di tempat tinggal Kiara.

Meski sudah satu tahun jadi teman sekelas, ini kali pertamanya datang ke rumah Kiara. Pemuda itu baru tahu bahwa orang tua gadis itu punya yayasan panti asuhan. Ada sekitar dua puluh anak usia TK sampai SD yang dirawat oleh keluarga Kiara.

Saka juga baru tahu kalau Kiara punya kakak dan adik lelaki. Ia hanya ingat kakak perempuan sang sahabat saja karena waktu di taman dulu sempat bertemu sebentar.

"Udah udah, mainnya sama Mas Purna aja. Mas yang ini mau belajar dulu."

Untung saja kakak lelaki Kiara menyelamatkan situasi yang hampir tak terkendali. Anak-anak itu langsung dibawa keluar rumah keluarga oleh Purnama, kakak lelaki Kiara.

Oh iya, tadi Kiara bilang ke kakaknya kalau mereka ada tugas kelompok. Padahal sebenarnya tidak ada.

"Tuh kan, apa aku bilang." Gadis itu muncul dari arah dapur sambil membawa nampan berisi es sirup melon.

"Tapi mereka lucu-lucu." Saka harus mengaku kalau memang anak-anak tadi lucu sekali.

"Kalau ada orang baru, mereka memang suka gitu. Caper. Wajar sih, mereka sampai harus dibawa kesini karena memang kurang dapat perhatian sama keluarganya sendiri." Gadis yang kini duduk di sofa samping Saka menghela napas.

"At least disini, mereka bisa dapat perhatian dan kasih sayang." Pemuda itu berkomentar.

Ia bisa lihat seberapa perhatiannya Kiara pada anak-anak itu. Para saudara gadis itu juga tampak sangat menyayangi mereka.

"Ya... kalau bukan kami, siapa yang mau peduli kan?" Kiara tersenyum kecil. "Bunda sama bapak selalu berpesan untuk saling menjaga dan peduli. Kalau nggak ada bapak dan bunda, aku sama saudara-saudara nggak akan tau jadi apa sekarang."

Penjelasan Kiara menimbulkan pertanyaan baru di kepala Saka. "Kok nggak tau jadi apa?"

"Soalnya kita diadopsi. Kalau nggak ketemu bapak sama bunda, belum tentu kami bisa tinggal di rumah yang nyaman begini." Anak lelaki lain menyahut. Itu adiknya Kiara, Satria, yang setahun lebih muda dari Saka.

Fakta baru yang mencengangkan. Namun, Saka semakin terpukau dengan sosok Kiara. Mungkin rasa empati dan simpati nya menjadi sangat tinggi karena hal ini.

"Masih mau jadi teman aku setelah tau faktanya?" Todong Kiara.

"Masih mau. Emang apa salahnya jadi anak adopsi?"

Mendengar penuturan Saka, senyum Kiara kian merekah. Dari tatapan matanya tampak jika gadis itu merasa lega.

"Lain kali main kesini lagi ya, Mas." Satria yang sejak tadi duduk lesehan di bawah sambil menggambar kembali bersuara.

"Pastinya."

Sejak saat itu, Saka jadi rajin datang bermain ke rumah Kiara. Ia bahkan mengajari anak-anak bermain basket. Saat akhir pekan, ia bahkan membawa peralatan melukis untuk anak-anak di panti. Katanya, sang bunda yang berpesan untuk memberikan aneka peralatan menggambar itu.

Dari situ pula, persahabatan antara Saka dan Kiara makin erat dan mendalam. Bisa dibilang, malah Saka lebih sering ada di panti dibandingkan rumahnya sendiri.


***


Hujan turun begitu deras. Langit dihiasi kilat, lalu suara gemuruh petir terdengar memekakan. Beberapa anak yang masih cukup kecil, menjerit takut. Mereka memeluk Kiara, mencari perlindungan dan kehangatan.

Di sudut lain ruang tengah bangunan panti, ada Saka. Ia dan Puran –kakak Kiara– sibuk menggelar tikar agar anak-anak bisa rebahan, tidur siang di hari badai ini.

"Nggak apa-apa, ada kita di sini," kata Kiara menenangkan.

Lima anak itu menurut. Kemudian, mereka mulai berbaring di atas tikar.

Anak lainnya ada di lantai atas. Mereka lebih besar, dan berani menghadapi badai ini. Ada kakak perempuan dan adik lelaki Kiara juga di atas.

Bapak dan bunda mereka sendiri sedang terjebak hujan di jalan setelah pergi ke dinas sosial setempat untuk bertemu seorang anak yang katanya akan dititipkan ke panti mereka.

Seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, Saka selalu mampir setiap pulang sekolah. Kini, lebih dari setahun sudah ia menjalani kebiasaan itu. Bunda sendiri sampai bilang, rasanya beliau seperti punya anak laki-laki lagi karena ada Saka.

"Nanti kamu pulangnya gimana?" Tanya Kiara, khawatir.

Hujan kali ini sangat deras dan anginnya berhembus kencang.

"Bisa naik taksi. Besok juga Minggu, aku juga bisa nginep." Saka berujar santai.

"Memang orang tua kamu ngasih izin?" Tanya Purna.

Meski Saka sering mampir dan main sampai malam, remaja itu tidak pernah sekalipun menginap. Semalam apapun, Saka akan pulang setelah menerima panggilan telepon dari orang tuanya.

"Ayah nggak ada di rumah. Lagi urusan ke luar kota." Pantas saja kalau Saka sedikit lebih santai.

"Ibu kamu gimana?" Tanya Kiara, masih khawatir.

"Nggak masalah. Nggak ada ayah, jadi nggak bisa cari muka." Saka tampak muak.

"Tapi kan, ibu kamu bisa aja khawatir."

"Khawatirnya palsu."

Well, Kiara dan Purnama yang mendengarnya sudah tidak heran lagi. Saka itu tidak akur dengan perempuan yang menyebut dirinya sebagai ibu tersebut. Bagi, Saka, ibunya tetaplah sang bunda yang kini tinggal di Belanda bersama adiknya, Javas.

"Emang kamu di rumah diperlakukan kayak Cinderella sama ibu kamu itu?" Purna bertanya karena penasaran.

"Enggak sih, cuma dia banyak ngatur. Bunda aja nggak gitu."

Kiara dan Purnama menatap iba ke arah Saka. Mereka tidak tahu harus merespon seperti apa. Jadi, dua saudara itu hanya bisa mengusap pelan pundak Saka.

Hujan mulai mereda. Tepat saat petang, bunda dan bapak akhirnya tiba di panti. Mereka disambut gembira oleh anak-anak. Apalagi, bapak tidak lupa membawa buah tangan berupa beberapa kotak martabak manis untuk kudapan.

"Kia," panggil Saka.

"Anak-anak suka nggak ya, kalau aku beliin pizza juga kapan-kapan?" Lanjut pemuda itu.

"Pizza?" Gadis itu membelalakkan matanya.

"Iya."

"Tapi, itu kan mahal. Paling enggak kamu harus beli sampai lima kotak."

"Nggak masalah."

Di situ Kiara sadar bahwa dirinya dan Saka berada dalam level yang berbeda. Sang sahabat tidak kesulitan dalam hal finansial, tapi kurang kasih sayang. Sementara dirinya memang dilimpahkan kasih sayang, tapi secara ekonomi, keluarganya hanya cukup. Tidak berlebih. Itu pun masih harus berbagi dengan anak-anak di panti.


***


Waktu terus bergulir. Hari berganti menjadi bulan, lalu tahun pun turut berganti. Kiara dan Saka yang tadinya memakai seragam putih-biru, kini jadi murid SMA yang bawahannya berubah warna menjadi abu-abu.

"Kita sekelas lagi!" Seru Saka dengan riang.

Kiara yang pembawaannya tenang hanya tersenyum kecil. Ia tidak menyangkal bahwa di lubuk hatinya, gadis itu sangat senang bisa kembali belajar di kelas yang sama dengan Saka.

"Kita harus cari tempat duduk yang strategis pas pembagian kelas nanti," kata pemuda itu penuh tekad.

Keduanya memang belum tahu letak kelas mereka. Pasalnya, di hari pertama sampai hari ketiga nanti, mereka akan menjalani masa orientasi siswa terlebih dahulu.

"Yang penting jangan di belakang banget, kamu kan suka curi-curi tidur," pesan Kiara.

Terkadang, Kiara itu sebal sekali dengan Saka. Meski tampak malas-malasan dan sering tidur di kelas, sang sahabat itu tetap saja mendapat peringkat tinggi. Berbeda sekali dengan dirinya yang harus belajar keras agar bisa setidaknya berada di peringkat sepuluh besar.

"Pulang sekolah nanti, aku ke tempat kamu ya." Saka lanjut bicara.

"Kamu ribut lagi sama ibu kamu?" Tanya Kiara.

"Bukan ibu aku. Itu istri ayah." Pemuda itu meralat ucapan Kiara. "Intinya males pulang."

Iya, dan pulang sekolah, keduanya pergi bersama ke rumah Kiara. Bahkan, Saka tidak lagi pernah sungkan untuk numpang makan siang di sana. Tidak peduli lauknya hanya tempe goreng dan sayur bayam sekalipun, Saka lebih suka berada di lingkungan tempat Kiara tinggal.

"Lama-lama, Saka bunda adopsi nih. Mau?" Canda bunda di siang ini.

"Mau, Bun."

"Kembar tiga dong jadinya aku," rajuk Purnama.

Well, bunda dan bapak selalu menyebut Purnama dan Kiara sebagai anak kembar mereka. Kebetulan, keduanya memang seumuran, lahir di tahun yang sama. Purnama hanya tiga bulan lebih tua saja.

"Asik kalau punya kakak kayak Mas Saka!" Satria menanggapi dengan riang.

"Kenapa asik?" Kiara bertanya, penasaran.

"Bisa ngajarin main komputer. Kalau Mas Purnama kan gagap teknologi, suka bingung sendiri kalau lagi ngajarin aku." Satria manyun.

Orang-orang di meja makan tertawa dibuatnya. Meski sudah kelas tiga SMP, bagi keluarga Kiara, Satria tetaplah anak bungsu nan imut kesayangan mereka.

"Manyun gitu, nggak pantes," ledek Mbak Ratna sambil mencubit gemas pipi si bungsu.

Kehangatan ini yang Saka cari. Itulah mengapa ia senang bisa berada di sekitar Kiara. Ia merasa berada di rumah yang sesungguhnya.

"Kiara," panggil pemuda itu selepas makan siang bersama.

Hari ini, giliran Kiara dan Purnama yang seharusnya mencuci piring. Namun, Saka menawarkan diri untuk menggantikan saudara lelaki Kiara tersebut. Jadi, ia bisa lebih leluasa mengobrol dengan sang sahabat.

"Ya?"

"Aku pengen punya rumah yang hangat."

"Matiin aja AC atau kipas di rumah kamu. Hangat kan jadinya?"

"Bukan gitu."

"Terus?"

"Ya maksudnya, orang-orangnya. Kayak keluarga kamu gini."

Kiara menghela napas. Ia menoleh, menatap mata Saka dengan tatapan tajam yang dimiliki gadis itu.

"Pasti, suatu hari, kamu bisa merasakan kehangatan keluarga. Kalau sekarang, aku kasih izin buat kamu ikut rasain hangatnya keluargaku. Soalnya kita sahabat."

"Sahabat," gumam Saka.

Pemuda itu tersenyum lebar. Ia merasa lega sekaligus terharu dengan sambutan hangat Kiara dan keluarganya akan kehadiran Saka di tengah-tengah mereka.

"Tolong dibilas yang bersih piring-piringnya," pinta Kiara kemudian.

Dua sahabat itu pun sibuk mencuci piring-piring bekas makan siang. Tidak ada yang merasa terbebani. Malah, Kiara dan Saka senang bisa berbagi pekerjaan ini sambil ngobrol seputar sekolah baru mereka.


*

*

*


Halo!

Aku kembali membawa prekuel dari Different. Kali ini, aku membawa kisah tentang Kiara dan Saka. Semoga ceritanya bisa kalian terima, ya! Jangan lupa juga dukungan vote dan komentar kalian untuk cerita ini. 

Continue Reading

You'll Also Like

752K 37.3K 53
Langsung baca saja ya!!
2.1M 178K 34
Keysha Callia mengenal Fabian Aden sebagai sosok mantan pacar Kakaknya (Emira Lailani) yang tampan dan baik hati. Meski statusnya mantan, ternyata Ke...
2.6M 201K 51
Pernikahan Rhea dan Starky hanya berlangsung selama tiga tahun. Meskipun mereka telah dikaruniai seorang putra, ternyata Starky belum juga bisa usai...
191K 7.9K 31
Kehidupan rumah tangga Verlita dan Randy yang tadinya tenang, seketika berubah saat sosok Asti hadir di antara mereka. Alasan Verlita tidak bisa memb...