Aloo~
Maaf updatenya agak malem hehe. Agak mandet idenya
Happy reading!
Tolong tinggalin jejak berupa vote dan/atau comment yaa sebagai bentuk dukungan untuk cerita ini. Thank u!
***
“Shaka, ya?”
Shaka yang tengah kebingungan di koridor karena mencari kelas XII IPS 1-A pun menoleh ke belakang. Seorang wanita paruh baya menatapnya dengan ramah.
“Kamu ini, bukannya ke ruang guru buat nemuin ibu dulu, malah nyari ruang kelasnya sendiri.”
Refleks, Shaka tersenyum tipis. Sebenarnya, ia hanya ingin mencoba mencari ruang kelasnya sendiri, toh kemarin Sabtu sudah diberitahu ia masuk di kelas mana. Memang agak kurang sopan, sih, tapi mau bagaimana, ia canggung masuk ke ruang guru untuk menemui wali kelasnya.
Selang beberapa detik, ia mulai mengikuti langkah wali kelasnya dari belakang menuju ruangan kelasnya.
Setiap kelas di SMA Cendana mempunyai smart loker. Hanya dengan menempelkan jari jempol ke mesin pembaca sidik jari, maka loker yang sesuai nomor absensi pemilik sidik jari akan terbuka otomatis.
Alternatif lainnya agar loker terbuka adalah dengan memasukkan kata sandi pada mesin yang yang terletak di bawah mesin pembaca sidik jari. Makanya, saat pembuatan kata sandi, dalam satu kelas tidak boleh ada kata sandi loker yang sama tiap muridnya.
“Ini dia kelas kamu. Kamu ... emm, duduk di baris kedua dari kiri, deret kedua.” Soraya mengalihkan pandangannya ke arah Shaka setelah sebelumnya memandang ke dalam kelas.
Shaka manggut-manggut.
“Oh iya, nomor loker kamu 25. Tapi, buat loker kamu baru bisa dipake besok atau lusa, ya, karena harus diperbaiki dulu sidik jarinya.” Soraya menambahkan.
Kedua alis Shaka terangkat. “Diperbarui sidik jarinya? Pemilik loker sebelumnya—”
“Pemilik loker sebelumnya wafat,” sela Soraya yang membuat bibir Shaka tertutup seketika. Soraya mengembuskan napasnya, lalu tersenyum lurus.
Wafat? Mungkinkah kelas Rafa di sini, XII IPS 1-A?
“Yasudah. Ibu permisi ya. Kamu masuk aja ke dalam kelas sambil nunggu bel masuk satu jam lagi,” kata Soraya yang dibalas anggukan oleh Shaka.
Shaka menghela napasnya. Segera saja ia membuka pintu kaca ruang kelasnya, kemudian meletakkan tas hitamnya di atas permukaan meja berwarna abu-abu.
Shaka langsung menoleh ke belakang kelas, tempat smart loker berada. Seketika, ia berasumsi bahwa siswa yang wafat di kelas ini adalah Rafa. Ia pun menyeret langkahnya mendekati smart loker.
Kedua alisnya terangkat kala menyadari setiap pintu loker tertempel label nama siswa serta nomornya. Bagus, dengan begini Shaka bisa memastikan asumsinya benar atau salah.
Shaka mulai menyusuri pintu loker demi pintu loker untuk menemukan loker bernomor 25.
Deg.
Kedua pupil mata Shaka melebar kala menemukan pintu loker bernomor 25 dengan nama Rafa Juliansyah. Pintu loker itu berada di deret kelima paling akhir.
Berarti, dugaannya benar. Siswa yang dimaksud wali kelasnya tadi, Rafa.
Tiba-tiba saja, Shaka teringin membuka loker milik Rafa. Ini termasuk pembobolan, sih, sebenarnya. Tapi, masa bodolah.
Kata sandi yang umum digunakan tiap orang adalah tanggal lahir. Maka, Shaka mencoba memasukkan tanggal lahir Rafa, 04-05-2005
Gagal.
Begitulah tulisan yang tampil di layar kecil mesin kata sandi. Shaka mengerutkan dahinya. Ia mencoba memasukkan tanggal lahir Rafa tanpa tahun lahir.
Berhasil. Pintu loker bernomor 25 itu terbuka. Shaka pun berjongkok untuk melihat isi loker.
Loker milik Rafa rupanya bersih. Hanya ada beberapa buku yang tersusun rapi, serta sebuah buku album foto dengan sampul kulit berwarna coklat tua.
Merasa penasaran dengan buku album foto, Shaka pun mengambilnya, lalu menutup pintu loker. Ia dengan segera melangkah menuju tempat duduknya untuk memasukkan buku foto album itu ke dalam tas.
Shaka menghela napasnya panjang. Gila, ia benar-benar seperti maling sekarang.
***
“Morning students. Pagi ini, saya mau adain kuis dadakan. Materinya dari materi Sejarah Peminatan kelas 12 semester 1. Yang bisa jawab dengan benar, dapat poin.”
Selesai guru laki-laki itu berbicara, seisi kelas hening. Shaka mengerutkan dahinya sejenak. Aneh sekali, biasanya jika ada kuis dadakan atau ulangan dadakan, sebagian siswa akan ada yang mengeluh atau protes. Sedangkan di kelas ini, tak ada sama sekali.
“Oh iya, di kelas ini ada anak baru, kan? Coba maju dulu ke depan, perkenalin diri kamu.”
Pak Iqbal—guru mata pelajaran Sejarah Peminatan menatap ke arah Shaka. Sejak awal masuk kelas ini, ia memperhatikan ada wajah asing yang duduk di tempat siswa yang telah tiada.
Shaka mengangguk. Ia bangkit berdiri. Saat akan melangkah, tiba-tiba seseorang berbicara.
“Pak, perkenalannya dia bisa di akhir jam bapak aja? Lebih baik kita kuis dulu biar ngga buang waktu.”
Shaka menoleh ke belakang. Orang yang berbicara rupanya duduk satu baris dengannya.
Hampir seisi kelas pun mengangguk, menyetujui ucapan siswa itu. Alhasil, Pak Iqbal mengembuskan napasnya.
“Oke. Shaka, silahkan duduk lagi. Kita mulai kuisnya sekarang.” Pak Iqbal memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, mengedarkan pandangannya ke seisi kelas.
“Kuis pertama. Jelaskan penyebab wabah PES masuk ke Nusantara.” Pak Iqbal mundur dua langkah agar jangkauan pandangannya mencakup seisi kelas yang berisi 25 orang.
Dua detik berlalu, Shaka langsung mengangkat tangan kanannya.
“Ya, Shaka.”
“Penyebab wabah PES masuk ke Nusantara adalah karena menerima impor beras dari Burma yang di dalamnya terdapat tikus pengidap wabah PES. Saya izin menambahkan, wabah PES masuk ke Nusantara pada tahun 1910 dan berakhir pada tahun 1916.”
“Good. 20 poin buat Shaka karena penjelasannya detail.”
Siswa yang sebelumnya menyarankan Shaka melakukan perkenalan di akhir jam pelajaran Sejarah Peminatan, kembali bersuara.
“Kenapa pas itu Indonesia harus impor beras dari negara Burma?”
Shaka menoleh ke belakang. “Karena saat itu, pemerintah kolonial Belanda ingin memasok beras untuk pribumi dengan harga yang murah. Burma adalah negara yang saat itu menjual beras dengan harga terjangkau.”
Pak Iqbal memberi tepuk tangan atas pemaparan Shaka. “Oke, very good Shaka. Saya tambahin 30 poin buat kamu.”
***
Brak!
Shaka yang tengah memakan bekalnya tersentak kala seseorang menggebrak permukaan mejanya dengan kencang. Lantas, ia langsung mendongak untuk melihat pelakunya.
Galih Pratama.
Shaka mendengus pelan. Jadi, itu nama siswa yang bertingkah saat jam Sejarah Peminatan dengannya.
Galih mendecih ketika melihat isi kotak bekal Shaka, hanya nasi putih dan telur ceplok. “Anak miskin ternyata.”
Mendengar ucapan itu, kedua pupil Shaka melebar. Ditatapnya Galih dengan tajam.
Galih melayangkan senyum miring. Ia langsung mengambil kotak bekal Shaka, lalu menumpahkan isinya di atas kepala Shaka.
Shaka terkejut bukan main atas perlakuan Galih. Ia sempat memejamkan matanya saat isi kotak bekalnya berjatuhan dari atas kepalanya.
Galih membanting kotak bekal itu ke lantai. Persetan dengan teman sekelasnya yang melihat ini, toh mereka tak akan peduli. Tak ada juga yang berani padanya. “Sialan lo. Ngga usah banyak gaya kalo miskin.”
“Anjing,” desis Shaka dengan tatapan yang makin tajam ke arah Galih. Ia menggemeretakkan giginya.
Shaka menggebrak mejanya dan bangkit berdiri. Lawan bicaranya mundur tiga langkah sambil tersenyum, sementara Shaka mendorong mejanya hingga terjatuh ke lantai dengan keras.
***
A/N: AHAHA tegang tegang dah tuh menjelang akhir 😌
Penasaran engga lanjutannya gimana? Haha. Sengaja sih bikin ending bab ini kayak gini, biar kalian penasaran 🙏
Ah, ya, buat lokernya kurang lebih kayak gini yaa, buat gambaran aja walaupun engga mirip bgt
Dah, author bakal up lagi besok kok. Tunggu aja :D
Thank u buat yang udah baca part ini, nge-vote dan/atau comment🙌🏼
—Minggu, 23 Juni 2024