Harta, tahta, kekuasaan, dan sebagainya, adalah sesuatu yang sangat Anya benci. Bagi Anya, orang-orang kelas atas itu tidak memiliki empati. Mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri dan tidak mau mendengarkan orang yang mereka anggap berada di bawah mereka.
Lihat saja Damian, dia selalu merasa berkuasa, dia sering memerintah, seolah-olah dunia ini hanya miliknya, seolah-olah semua orang harus tunduk pada kehendaknya. Yang dia inginkan hanyalah agar semua orang mengikutinya tanpa banyak bicara maupun membantah.
Anya memandang keluar jendela kamar. Sudah waktunya masuk musim penghujan. Sore ini langit mulai gelap, angin berhembus bersamaan dengan bunyi gemuruh dan suasana rumah megah yang dia tempati terasa sunyi. Damian bekerja setiap hari, tampak sibuk menangani berbagai urusan. Sementara dia sendiri malah tidak memiliki kegiatan yang menarik.
Anya banyak merenungkan, kenapa hanya Damian yang memiliki kesibukan, sedangkan dirinya hanya berdiam diri di rumah? Mengapa seolah-olah hidupnya di masa ini dirancang hanya untuk mendampingi Damian? Pikiran itu membuat Anya semakin dongkol.
Anya menatap ranjang di belakangnya dengan dingin. Bagi Anya, tidur sekamar dengan Damian dalam kondisi hubungan dan keadaan mereka yang kacau seperti ini benar-benar tidak etis. Tapi menjaga citra sebagai pasangan harmonis sepertinya lebih penting di mata Damian. Terlebih lagi, tidak ada di antara mereka yang mau mengalah untuk tidur di sofa. Anya sebenarnya mau-mau saja, hanya saja dia tidak ingin kalah.
Setelah pertengkaran sengit mereka beberapa hari yang lalu, dia dan Damian belum berbicara secara personal lagi. Hubungan mereka yang sebelumnya panas kini menjadi membeku. Masih berusaha mengabaikan satu sama lain.
Anya lebih memilih menghindari Damian. Dia akan tidur lebih awal sebelum Damian pulang dari kantor, atau jika Damian masih bangun, Anya akan pergi keluar kamar sebelum Damian sempat membuka mulutnya. Bagi Anya, sebisa mungkin dia tidak ingin berada di satu ruangan yang sama dengan Damian. Dia khawatir emosinya akan kembali meledak dan membuat suasana semakin buruk. Dia tidak ingin mendengarkan omongan Damian yang berpotensi menyakiti hatinya lagi. Baginya, diam dan menghindar adalah pilihan terbaik saat ini.
Sementara itu di ruang kantornya, Damian duduk dengan gelisah. Tangannya memegang pena, matanya menatap kertas dihadapannya tetapi pikirannya melayang jauh. Selama ini, dia hidup dengan realistis dan rasional. Baginya, hal yang paling menakutkan adalah kehilangan status dan pengaruhnya. Sayang, sekarang dia menyadari bahwa yang lebih mengerikan adalah menjalani hidup sendirian di dunia yang asing. Damian terbiasa dengan segala sesuatu yang pasti, yang bisa dikontrol. Tapi sekarang, dia berada di situasi di mana kendali sepenuhnya lepas dari tangannya.
Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tidak berujung. Setiap hari, dia harus menghadapi seorang wanita yang jelas-jelas dia benci. Dia jadi bertanya-tanya, apa yang akan terjadi jika salah satu dari mereka menghilang di sini? Apakah dunia ini akan tetap berjalan seperti biasa atau apakah ruang dan waktu akan hancur berantakan? Damian tidak memiliki jawaban untuk itu.
Damian merapikan berkas-berkas di mejanya. Dia sudah kehilangan minat bekerja hari ini. Fokusnya sering kali buyar, pikirannya terus-menerus memikirikan solusi akan masalah ini. Damian melirik jam di dinding, masih pukul enam sore. Biasanya saat ini dia masih berkutat dengan pekerjaannya hingga malam tiba. Tapi kali ini dia mengambil jasnya, menyampirkan di bahu, dan bergegas pulang ke rumah.
Melihat kedatangan Damian, beberapa pelayan rumah tampak terkejut karena tidak biasanya Damian pulang sebelum hidangan makan malam disajikan. Kepulangannya yang lebih cepat dari biasanya tentu mengundang rasa kesal di hati Anya. Ini berarti dia harus berhadapan lebih lama dengan Damian.
"Tumben udah pulang?" Anya memasang senyum yang dipaksakan saat Damian berjalan ke dapur untuk mengambil minum.
"Capek." Jawabnya singkat.
Bodo amat.
"Mandi dulu gih. Habis ini kita makan." Perintah Anya dengan nada ramah walau dalam hati Anya selalu meruntuki sandiwara ini.
***
Damian sedang memandang kosong ke arah meja makan yang dipenuhi hidangan makan malam yang sama sekali tidak di sentuhnya. Sementara di depannya, Anya terlihat menikmati makanan utamanya dengan nikmat. Damian mengamati situasi terlebih dahulu sebelum membuka mulut.
"Lo udah nemu petunjuk atau sejenisnya?"
Anya hanya mengangkat bahu acuh tak acuh, tidak ingin terlihat peduli. Tidak ada tanda-tanda bahwa Anya ingin berkomunikasi lebih jauh. Hal itu membuat Damian sedikit kesal. Seperti biasa, dia merasa diabaikan.
"Forger, gue ngomong sama lo. Seenggaknya, tatap gue kalau lo diajak bicara."
Anya memutar matanya malas sebelum akhirnya menatap langsung ke Damian. "Lo banyak maunya deh. Emangnya kalau gue jawab lo bakal dengerin? Biasa juga enggak."
Damian mengepalkan tangannya di bawah meja. Dia sudah berusaha keras untuk tetap tenang, tapi Anya benar-benar menguji kesabarannya.
"Kalau lo mau balik ke tempat asal, kita harus segera nyari petunjuk. Mau gak mau kita harus kerja sama. Entah itu buat nemuin portal dimensi atau mesin waktu atau apalah yang bisa kita temuin kayak di film-film."
Anya menyeringai, jelas tidak terkesan dengan penjelasan Damian. "Kenapa gak lo aja yang nyari? Lo bilang lo bisa atur semuanya. Kenapa sekarang malah nyuruh gue?"
Damian menatap Anya dengan tatapan tajam, nadanya berubah kesal. "Yang terjebak di dunia ini bukan cuma gue ya, Forger. Lo juga ada di sini. Jadi, setidaknya lo berkontribusilah! Jangan cuma duduk diam trus ngarep sesuatu bakal terjadi."
Anya mendengus pelan. "Kenapa? Lo butuh gue? Gue yakin kok lo bisa atasi ini tanpa bantuan gue," Anya menjeda ucapannya sebentar. "Desmond."
Kesabaran Damian mulai terkikis. Suaranya naik, tapi dia tetap berusaha menahan diri agar tidak membentak. "Lo pikir gue gak nyoba? Gue udah cari cara selama beberapa hari ini, tapi ini bukan masalah yang bisa gue selesaikan sendiri. Lo juga terjebak di sini, Forger. Mau gak mau, lo harus ikut gerak."
Sebelum Anya sempat membalas, dua pelayan masuk lagi ke ruang makan, membawa hidangan penutup. Anya memutuskan untuk menahan dirinya. Dia berdiri, meninggalkan meja tanpa banyak bicara. Tapi sebelum benar-benar pergi, Anya melakukan sesuatu yang mengejutkan Damian. Dia berhenti di belakang kursi Damian dan mengusap bahunya singkat.
"Sayang, aku istirahat dulu ya. Lagi gak enak badan." Kemudian dia menunduk, mensejajarkan mulutnya dengan telinga Damian lalu berbisik pelan. "Kalau lo mau gue ikut andil, turunin ego lo yang selangit itu, belajar hargai gue. Di sini, di dunia ini, kita berdua sama-sama gak punya apa-apa, Damian."
Damian hanya bisa menatap punggung Anya yang menjauh dengan perasaan campur aduk. Dia ingin marah, merasa diremehkan. Tetapi dia tidak dapat menyangkal kalau Anya benar. Di dunia yang asing ini, bahkan dengan segala kekuasaan yang dia miliki, Damian tidak bisa mengabaikan satu fakta yang tak terbantahkan.
Dia hanya bersama Anya.
***
Ketika Damian masuk ke kamar beberapa saat kemudian, dia melihat Anya sudah dalam posisi tidur. Dia berbaring di sisi ranjang yang paling jauh darinya, bergelung dibawah selimut yang memang cocok pada malam hujan ini. Damian memandangi punggungnya selama beberapa detik sebelum dia juga naik ke tempat tidur, menjaga jarak yang sama. Mereka merebahkan diri dalam diam, masing-masing terjebak dalam pikiran mereka sendiri.
Damian memandang langit-langit kamar, pikirannya dipenuhi berbagai skenario tentang bagaimana mereka bisa kembali ke masa lalu. Bagaimana jika mereka tidak bisa kembali? Bagaimana jika dunia ini menjadi tempat tinggal mereka yang baru? Pikiran-pikiran itu membuatnya gelisah.
Suara Damian tiba-tiba memecah keheningan. "Gue tahu lo benci gue. Lo juga tau gue juga gak suka sama lo. Tapi kita harus cari jalan keluar bareng-bareng."
Anya membuka matanya, menatap lurus ke depan tanpa mengubah posisi. Anya tidak menjawab, hanya kembali merenungkan nasibnya kenapa harus terjebak dengan orang seperti Damian?
"Tapi kalau lo gak mau bantu nyari jalan keluar, jangan salahin gue kalau kita gak pernah bisa balik." Damian mendesah panjang, mengalah pada rasa lelah yang melanda.
"As I've said before, turunin ego lo. Gue yakin, lo pasti pernah diajarin gimana cara menghargai orang, apalagi perempuan." Anya kemudian menutup mata, mencoba meraih alam bawah sadarnya. "Jangan ngomong lagi, gue mau tidur."
Dunia ini tidak hanya menguji kemampuan mereka untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk belajar untuk saling memaafkan, meski keduanya terlalu sombong untuk mengakuinya. Malam itu, sama seperti malam-malam sebelumnya, tidur mereka tidak pernah benar-benar nyenyak.
***
20 November 2024.