Selamat membaca cinta-cintaku :*
.
.
Ponsel canggih itu memantulkan seorang wanita cantik, dirinya melakukan beberapa pose untuk melihat kecantikannya dari beberapa sudut. Dengan polesan makeup ala-ala douying Aletta bangga menatap wajahnya lama, cantik. Dirinya berhasil menyulap wajahnya menjadi wanita cantik yang selalu bertengger di website penghasil foto gratisan.
Setelah mendapatkan beberapa hasil gambarnya, Aletta segera mengunggahnya di sosial media. Yang secara langsung menimbulkan banyak notifikasi masuk, tak sedikit pula komentar-komentar dari beberapa temannya dan laki-laki tak dikenal yang mengikutinya karena paras Aletta. Aletta pun membalas beberapa komentar di sana.
Sedang asyik-asyiknya membaca tanggapan orang-orang di luar sana, Aletta dikagetkan dengan suara klakson dari luar rumah. Sudah bisa dipastikan kalau orang yang mengagetkannya itu adalah Daven, Aletta pun cepat-cepat merampas tasnya dari atas kasur dan berlari ke luar kamar.
Baru saja sampai ruang tamu, sosok yang mengajaknya makan siang itu sedang tertawa kecil bersama ibunya. Dari sini Aletta bisa melihat tawa manisnya dihiasi garis diantara kedua samping bibirnya.
Tuhan, meskipun kita berbeda beberapa tahun, tapi dia sangat pandai membuat hatiku meleleh seperti margarin ketika terkena panas.
Singkat cerita mereka sudah tiba di restoran mewah pilihan Daven, kini Aletta tengah sibuk memilih menu yang akan ia pesan. Pasalnya dia tidak mengerti dengan semua nama-nama yang tertulis dilembaran buku itu. Seluruh nama menunya menggunakan bahasa inggris dan bahan yang digunakan tak pernah Aletta ketahui sebelumnya. Kenapa ini tidak seperti menu di Kafe, pikirnya.
"Apa kau sudah menemukan makanan yang akan kau pesan, Al?" tanya Daven.
Aletta hanya menggeleng. "Belum, ini terlalu banyak pilihannya, aku bingung harus pesan yang mana," jawabnya sambil menunjukkan deretan giginya yang rapi.
Daven membalas dengan tersenyum pula, dia sabar menunggu Aletta memilih makanannya meskipun cacing kecil di dalam perutnya sudah berteriak meminta untuk segera diisi asupan. Sekitar dua menit berlalu akhirnya Aletta membuka mulutnya. "Aku ingin Salmon saja, tapi salmon di sini semuanya mentah," ucap Aletta.
Buku menu yang berada tepat di depan Aletta itu ditarik oleh Daven, ia berniat mencarikan menu lain untuk Aletta. Mata Daven terus menelusuri daftar menu itu, mencari menu yang mungkin Aletta suka. Tepat pada barisan paling bawah, ia menemukan Sesame Grilled Salmon, Daven segera menunjukkannya pada Aletta.
"Sesame Grilled Salmon, apa kau suka?" tawar Daven.
"Aku pernah makan grill salmon tapi aku belum pernah mencoba sesame sesame itu."
"Lalu kau harus mencobanya sekarang." Daven tersenyum menggoda.
Aletta membalas tersenyum, "baiklah."
Keduanya tampak menikmati makanan mereka, tak jarang Daven melemparkan beberapa gurauan untuk membuat suasana lebih hangat. Tentu saja itu membuat Aletta tertawa.
Tak hanya itu, Daven juga sesekali meminta makanan Aletta dengan alasan mencoba. "Al, bolehkah aku mencoba salmon mu?"
"Boleh," jawab Aletta lalu mendorong piringnya dengan pelan, mempersilakan Daven untuk mengambilnya sendiri.
Daven menggeleng. "Uh uh!" tolak Daven dengan mencebikkan bibirnya. " Aku ingin kau menyuapi ku," lanjutnya.
Aletta menunjukkan ekspresi terkejutnya dengan mata melotot. Apa apaan ini Daven meminta ia untuk menyuapinya. Aletta bergeleng dua kali lalu menunduk malu.
"Apa tidak apa?"
"Memangnya kenapa?" tanya Daven balik. Lagi-lagi wajahnya mendekat, reflek Aletta memundurkan kepalanya. Di Restoran semewah ini, Daven malah memilih meja kecil. Sehingga ketika keduanya saling memajukan kepalanya, hanya ada sedikit jarak yang tersisa di antara mereka.
"Apakah ada yang akan marah?" lanjut Daven menggoda Aletta.
"Jangan seperti ini," tolak Aletta. Persetan sopan ataupun tidak, ini tentang kenyamanan Aletta. Baiklah, Daven kembali ke posisi semula. Ia menyadari ketidaknyamanan Aletta.
Daven membuka mulutnya sedikit, menunggu Aletta menyuapinya salmon. Sementara Aletta hanya memperhatikan Daven tanpa pergerakan sedikitpun. Daven sedikit terkekeh, pikirnya Aletta masih sangat polos dan tidak peka.
"Al, suapi aku!"
Dengan ragu-ragu, Aletta menyendokkan salmonnya lalu menyuapi Daven. Menyodorkan sendoknya dengan sangat kaku, getaran dari tangannya bisa Daven lihat dengan jelas. Entahlah apa yang sedang dirasakan oleh Aletta, yang jelas Daven senang akan hal ini. Dirinya juga siap untuk mengajarkan Aletta berbagai cara menjadi kekasih yang romantis.
___________
Sore harinya, kota diguyur hujan yang sangat deras. Sambaran petir mulai bermunculan, angin kencang juga hadir dengan segala amarahnya seperti siap meratakan isi bumi. Posisi Aletta masih di dalam mobil bersama Daven di sampingnya. Perjalanan menuju rumah Aletta masih jauh, Daven menghentikan mobilnya di tepi jalan, ia tak berani menerobos hujan yang terlalu deras ini.
Nampaknya angin begitu ganas kali ini, kaca mobil yang tertutup rapat tidak mampu menghentikan angin untuk tidak menembus ke dalam mobil. Dari dalam mobil, Aletta merasakan dinginnya angin itu. Sungguh, Aletta ingin segera pulang namun ia tak berani meminta Daven untuk melanjutkan perjalanannya melihat cuaca yang sangat buruk seperti ini.
"Al, kau baik-baik saja?" tanya Daven memastikan.
"Iya, sedikit dingin saja."
Tubuh Daven membalik ke kursi belakang, tangan panjangnya menjangkau sebuah tas yang berada di sana. Ini kebiasaan Daven, menyimpan baju dan jaket di dalam mobil. Dan sekarang berguna bagi Aletta. Setelah mengambil tas tersebut, jaket di dalamnya ditarik keluar, lalu Daven melebarkannya.
Tak disangka, Daven menyelimuti punggung Aletta dengan jaketnya-hangat, berat, dan penuh isyarat diam yang tak terbaca kata. Jangan tanya bagaimana kondisi jantung Aletta saat itu; seolah seluruh dadanya dipenuhi denting yang tak bisa dikendalikan. Ada dorongan ingin berteriak, menumpahkan keterkejutan yang manis, namun rasa malu lebih dulu mengikat lidah dan hatinya. Ia hanya bisa menunduk sedikit, menahan senyum yang nyaris tumpah, lalu menerimanya dengan gugup.
"Terima kasih," ucapnya pelan, nyaris berbisik.
"Kau terlihat sangat kecil saat memakai jaket ku." Daven terkekeh. Ternyata alasan ia terkekeh tak hanya melihat tubuh Aletta, namun semburat merah di wajah Aletta yang membuat Daven gemas.
"Apa kau memakai blush on lebih banyak dari biasanya, Al? Mengapa aku baru menyadarinya sekarang?"
Bukan pertanyaan justru Aletta mendengar itu sebagai ledekan. Kepalanya bergerak cepat melihat kaca, ia dapat melihat pipinya berwarna merah. Tak kalah cepat lagi, Aletta menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Sungguh ini momen paling memalukan dan menggemaskan bagi Daven.
"Tidak, ini tidak seperti yang kau lihat, kak Dave!"
"Ya sekarang tidak seperti yang ku lihat karena kau sedang menutupinya. Aku mengerti, Al, kau sedang ...." Daven sengaja menggantungkan kalimatnya, bukan Daven namanya jika tidak menggoda Aletta terus menerus.
Tangannya sudah mengacung, sangat siap untuk mencolek dan mencubit wajah Aletta. Sedangkan Aletta terus menutupi wajahnya, malu karena Daven menatapnya tiada henti.
"Kak! Gak mau!" Aletta mulai merengek meminta Daven berhenti untuk menggodanya.
"Gak mau apa? Aku tak akan melakukan apapun, Al," sanggah Daven.
"Atau ... kau ingin aku yang melakukannya, Aletta?" ucap Daven, suaranya turun satu nada lebih dalam-serius, nyaris seperti bisikan yang mengandung janji atau ancaman lembut. Ini juga membuat Aletta menurunkan tangannya, tatapan mata mereka bertemu. Yang mana kedua tatapan itu memiliki dua arti berbeda, Aletta menatap Daven dengan penuh ketakutan, sedangkan mata Daven seolah berubah menjadi mata singa yang akan menerkam mangsanya.
Daven terus memajukan kepalanya dan mengikis jarak diantara keduanya, Aletta menjauh sebisa mungkin. Seperti yang telah kalian ketahui, bagaimana keadaan di dalam mobil, Aletta tidak bisa bergerak lebih banyak lagi.
"Kak Dave," cicit Aletta pelan, bahkan sangat pelan.
Tersisa jarak sekitar dua sentimeter lagi, Daven berhenti, tatapan matanya turun ke bawah. Entah apa yang Daven perhatikan sekarang, namun tatapan itu sangat sayu dan membuat Aletta begitu ketakutan.
Aletta pun menutup matanya rapat-rapat, berserah kepada Tuhan dengan apa yang akan terjadi pada detik selanjutnya.
DUAR!!
"Aaa!!!!" Siapa yang tidak terkejut kala mendengar petir sekencang itu. Apalagi Aletta yang cukup mudah untuk dikagetkan. Tangan mungil itu menutup wajahnya lagi. Kini ketakutan Aletta sudah di level maksimal, rasanya ingin menangis kencang.
"Takut! Kak Dave ayo pulang!" Suara Aletta begitu kecil dan lemah, Daven mengerti akan ketakutan Aletta.
"Baiklah tapi tunjukkan dulu wajahmu," ujar Daven.
Aletta menggeleng. "Takut!"
"It's okay, Al, I'm here," jawab Daven lembut. Tangannya menarik tangan Aletta, Daven ingin sekali melihat mimik wajah Aletta sekarang.
Matanya masih tertutup rapat, air matanya sudah membekas disetiap ujung matanya, dan kini yang merah bukan lagi pipinya melainkan hidung. Jika dibiarkan, bisa saja sebentar lagi Aletta akan menangis sekeras-kerasnya.
Daven menarik tubuh Aletta ke pangkuannya, berusaha menenangkan lewat pelukan. Debaran jantungnya sangat cepat dan kencang sehingga Daven dapat merasakan. Ia memeluk Aletta lebih cepat lagi, badan Daven yang besar mengukung badan Aletta yang mungil.
Semenit, dua menit.
Tiga menit, empat menit.
Debaran itu kian melemah, bahkan di menit kelima, Daven sudah tidak dapat merasakannya lagi. Ia melonggarkan pelukannya, lalu melihat Aletta yang ternyata sudah tertidur pulas. Cepat sekali perempuan ini tertidur.
Daven menyenderkan Aletta di kursinya, membenarkan posisi jaketnya, lalu memakaikan sabuk pengaman. Daven merasa kasihan pada Aletta, melihat hujan yang sudah sedikit mereda Daven memberanikan diri melanjutkan perjalanannya lagi.
Sekitar setengah jam berlalu, mobil itu sudah berada di depan rumah Aletta. Beruntung di sini hujan telah reda. Berulang kali Daven membangunkan Aletta, namun perempuan itu tak terganggu sama sekali. Tak lama kemudian, keluar seorang perempuan yang Daven tahu itu adalah Ibu Aletta-Alya.
Daven keluar dari mobil, lalu menyapa Alya. "Selamat sore, Ibu Alya!"
"Selamat sore, kalian telah pulang? Mana Aletta?"
"Aletta tertidur di mobil, sudah saya coba bangunkan namun dia tak kunjung bangun. Saya izin menggendong Aletta dan membawanya masuk."
"Anak itu memang terkadang susah dibangunkan. Jika kau tidak keberatan tolong bantu bawa Aletta masuk."
Daven hanya tersenyum menanggapinya, kemudian ia membuka pintu mobil dan membawa Aletta. Dengan penuh hati-hati ia membuka sabuk pengaman lalu menarik badan Aletta ke pelukannya. Syukurlah Aletta tidak terbangun.
Sepanjang jalannya menuju kamar Aletta, Daven terus memandangi wajah Aletta. Wajahnya yang cantik dan manis, apalagi sedang tidur Daven teramat nyaman memandanginya.
"Daven, kamar Aletta yang sebelah kiri." Sedang asyiknya memandang wajah Aletta, Daven malah disadarkan dengan suara Alya yang menginterupsikan bahwa kamar Aletta berada di sebelah kiri.
Setelah menidurkan Aletta, Daven memandanginya lagi setidaknya untuk terakhir kali sebelum ia pulang. Kapan lagi dirinya bisa melihat wajah damai Aletta dari jarak sedekat ini. Daven tersenyum lalu mengusap pipi Aletta dengan lembut, seolah itu adalah bentuk pamitan.
Daven pun keluar dari kamarnya, menemui Alya, dan berpamitan. Alya sempat meminta Daven untuk menikmati kue atau setidaknya minum terlebih dahulu. Namun hari semakin sore, dengan berat hati Daven menolaknya.
***
Keesokan harinya, Aletta sudah kembali bekerja. Dia memasuki Kafe dengan meneteng sebuah tas kecil. "Apa itu, Al?" tanya Liam. Memang Liam ini si paling on time, selalu datang paing awal, sama hal nya dengan Jayden juga deh.
"Ini jaket milik kak Daven," jawab Aletta sambil memperlihatkan isi dari dalam tasnya.
Liam mengerutkan keningnya. "Kenapa bisa ada di kamu?"
Kemarin mereka bertemu, lalu kenapa aku merasa seperti ... apa ya ... ini bahkan aku tidak tahu mengapa ada rasa tak nyaman seperti ini.
BERSAMBUNG__
Bab yang lumayan panjang, 1500 an. Tadinya aku pengin bagi dua, tapi tanggung gak sih. Yaudah aku bikin satu bab aja.
So menurut kalian, Liam ada rasa suka ke Al atau enggak?