抖阴社区

Parts of You

By witchinsideme

509K 6.5K 719

It's a dark erotica romance. 鈿狅笍 WARNING! MENGANDUNG KONTEN DEWASA 馃敒! 鈿狅笍 馃敒 Novel hanya diperuntukkan pembac... More

Intro
Bab Satu
Bab Dua
Bab Tiga
Bab Empat
Bab Lima
Bab Enam
Bab Tujuh
Bab Delapan
Bab Sembilan
Bab Sepuluh
Bab Sebelas
Bab Dua Belas
Bab Tiga Belas
Bab Empat Belas
Bab Lima Belas
Bab Enam Belas
Bab Tujuh Belas
Bab Delapan Belas
Bab Sembilan Belas
Bab Dua Puluh
Bab Dua Puluh Satu
Bab Dua Puluh Dua
Bab Dua Puluh Tiga
Bab Dua Puluh Empat
Bab Dua Puluh Lima
Bab Dua Puluh Enam
Bab Dua Puluh Tujuh
Bab Dua Puluh Delapan
Bab Dua Puluh Sembilan
Bab Tiga Puluh
Bab Tiga Puluh Satu
Bab Tiga Puluh Dua
Bab Tiga Puluh Tiga
Bab Tiga Puluh Empat
Bab Tiga Puluh Lima
Bab Tiga Puluh Enam
Bab Tiga Puluh Tujuh
Bab Tiga Puluh Delapan
Bab Tiga Puluh Sembilan
Bab Empat Puluh Satu
Bab Empat Puluh Dua
Bab Empat Puluh Tiga
Bab Empat Puluh Empat
Bab Empat Puluh Lima
Bab Empat Puluh Enam
Bab Empat Puluh Tujuh
Bab Empat Puluh Delapan
Bab Empat Puluh Sembilan
Bab Lima Puluh
Bab Lima Puluh Satu
Bab Lima Puluh Dua
Bab Lima Puluh Tiga
Bab Lima Puluh Empat
Bab Lima Puluh Lima
Bab Lima Puluh Enam
Bab Lima Puluh Tujuh
Bab Lima Puluh Delapan
Bab Lima Puluh Sembilan
Bab Enam Puluh
Bab Enam Puluh Satu
Bab Enam Puluh Dua
Bab Enam Puluh Tiga

Bab Empat Puluh

2.7K 52 12
By witchinsideme

Tirai ditutup sementara, panggung hening oleh dusta, dan di balik bayang, iblis tertawa—mengira lakonnya yang menang.

***

Dada Lily bergerak naik turun, tidak beraturan, badannya masih gemetar dan sisa-sisa percintaan mereka mengalir di antara kakinya. Kedua alisnya bertaut saat melihat pria yang baru saja menggagahinya tampak santai memakai pakaiannya satu per satu.

"Pergi sana." Sekali lagi, Lily mengusirnya.

Evan hanya tersenyum miring. Setelah memakai dasi dan jasnya, ia menunduk untuk memberi kecupan singkat di bibir perempuan itu.

"Good night honey." Ia memuji, "Kamu makin ahli bikin saya puas."

Ia tidak membiarkan Lily membalas ucapan selamat malamnya yang manis, dan langsung berlalu begitu saja, meninggalkan kamar perempuan itu.

Lily menatapnya, tidak percaya. Setelah apa yang ia lakukan padanya, menodainya, menyiksanya, bahkan melakukan perbuatan yang tidak senonoh di belakang istrinya sendiri—pria itu masih bisa bersikap biasa saja.

Bisa-bisanya manusia sekejam itu hidup dengan damai di dunia ini. Perempuan itu bergumam, berisi caci maki untuk Evan. Sambil menyumpahinya, ia memaksakan diri turun dari tempat tidur, walau kedua tungkainya masih gemetaran. Ia menunduk, mengambil pakaiannya yang tadi ditendang ke bawah tempat tidur oleh Evan.

Berjalan tertatih ke kamar mandi, ia membawa pakaian kotor itu untuk dibuang esok hari. Ia jijik memakai pakaiannya lagi—dan celana dalam sialannya yang sudah ternoda oleh nafsu pria itu. Semua akan ia singkirkan.

Di depan cermin wastafel, Lily menatap dirinya dengan sedih. Jarinya menyentuh bekas kemerahan di lehernya karena cengkeraman gesper pria tu. Dadanya berdenyut perih, jauh lebih menyakitkan daripada belitan ikat pinggang yang tadi mencekik lehernya. Dari leher sampai dadanya juga penuh jejak cinta yang Evan tinggalkan. Sebanyak apapun ia usap dengan sabun tidak akan langsung menghilang. Meringis, Lily merasa jijik. Tidak ada seorang pun yang boleh melihat tanda itu, terutama bekas kalung di lehernya.

Ia harus mengenakan long neck untuk menutupi garis merah tersebut

Setengah jam berlalu, Lily baru kembali ke tempat tidur setelah mandi dan berganti piyama yang lebih nyaman. Kakaknya masih terlelap dan melihat wajah damai perempuan itu, rasa bersalah kembali menyusup di dadanya.

"Maaf ya, kak." Ia bergumam pelan sambil menutupi tubuh itu dengan selimutnya. Lily bergabung dengan kakaknya, di bawah selimut yang sama. Ia merapatkan tubuhnya ke perempuan itu, berbagi kehangatan.

Lily menatap punggung kakaknya, merasa sedih. Entah sejak kapan, ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka. Ia bertanya-tanya, apakah dinding itu tercipta karena rahasia yang disembunyikan dari Aurel—bahwa ia menjadi selingkuhan suaminya.

Atau mungkin, dinding itu memang selalu ada, tetapi baru kali ini ia melihatnya dengan jelas.

***

Lily menaiki lift dengan wajah ditekuk. Ia tadi sedang mengerjakan liputan di Balai Kota Jakarta, lalu pesan dari Evan yang semena-mena masuk, menyuruhnya untuk datang ke restoran di Mandarin Oriental saat jam makan siang.

Jaraknya memang tidak jauh dari lokasi liputannya dan untungnya dia sudah menyelesaikan semua berita yang ditugaskan oleh Nunu. Setelah istirahat siang ini, dia masih harus pergi ke Monas untuk meliput unjuk rasa buruh.

Bertemu dengan Evan adalah hal terakhir yang diharapkannya. Lily sudah membalas chat itu dengan kalimat penolakan tegas. Namun, saat ia keluar dari pelataran Balai Kota, sebuah BMW hitam sudah terparkir di depannya dan Ganes turun dari seat depan, tersenyum padanya lalu membukakan pintu belakang.

Begitulah ceritanya sampai Lily akhirnya tiba di hotel Mandarin Oriental.

Di dalam restoran, Ganes mengantarnya sampai ke depan meja yang menghadap ke pemandangan di luar. Rautnya makin kusut melihat Evan dengan setelan jas serba hitamnya sudah duduk di sana.

Seperti biasa, Evan tampak elegan, bahkan hanya dari postur duduknya yang tegap dan aura yang memancar, semua orang tahu betapa bermartabatnya pria satu itu. Rambut yang semalam diacak-acak oleh Lily sampai poninya terjatuh di depan alis—semua jejak percintaan mereka, hilang tidak berbekas.

Jasnya ia sampirkan di pundak lebarnya. Vest dan kemeja yang dikenakannya sama-sama berwarna hitam, senada dengan dasi gelapnya.

Orang ini benar-benar suka dengan warna hitam, pikir Lily. Ia tidak mau tahu, tetapi kesimpulan itu terlalu jelas hanya dalam sekali lihat. Lagian, emangnya gak panas siang-siang pake baju tiga lapis kayak gitu? Ia menarik sebelah alisnya, tidak paham dengan selera fesyen pria itu.

Evan mengangkat wajah dari ipad-nya, menyunggingkan senyum tipis, seakan tidak ada yang pernah terjadi semalam. Percintaan itu masih membekas di kepala Lily, bahkan membuat jantungnya berdegup kencang saat matanya tidak sengaja bertemu dengan pria itu. Bagaimana bisa pria ini bersikap sangat tenang?

Tadi pagi, saat mereka berkumpul bertiga di meja makan, Evan mengecup pipi Aurel sebelum duduk. Ia menyapa istrinya dengan senyum yang hangat dan menanyakan grand opening restorannya. Mereka mengobrol seperti pasangan suami istri biasa.

Sementara, Lily kesulitan berpura-pura di depan kakaknya. Ia pura-pura terkejut saat melihat kakaknya tiba di rumah lebih awal dari yang direncanakan, pelukan perempuan itu terasa dingin di kulitnya. Perutnya mual. Ia jijik karena menyembunyikan perbuatan terlarang itu bersama Evan. Dan rasa bersalahnya pada Aurel mengacak-acak hatinya sepanjang pagi.

Baru setelah ia berangkat kerja dan tenggelam dalam kesibukan meliput berita, Lily bisa benar-benar melupakan kejadian tersebut. Setidaknya, sampai chat sialan dari Evan masuk. Kini ia terjebak bersama pria itu lagi dan kenangan adegan panas mereka berputar lagi di kepala.

"Tuan Evan, Nona Lily... ." Ganes menunduk kepada dua orang tersebut, bergantian. "Saya permisi dulu."

Asisten pria itu pergi meninggalkan mereka. Lily, yang masih tidak rela, terpaksa bergabung di meja itu, duduk berhadapan dengan Evan.

"Harus banget makan siang bareng?" ucap Lily ketus, kepalanya menoleh ke kanan kiri. 'Gimana kalau ada yang ngeliat?"

Evan melempar senyumnya, santai seperti biasa. "Saya hanya kakak ipar yang baik sedang mentraktir adik iparnya makan siang. Apa ada yang aneh dengan itu?"

"Kalau orang-orang tau bosku adalah kakak iparku, bisa runyam urusan kantor."

"Kenapa gitu?" Evan menarik sebelah alisnya, tidak mengerti.

"Nanti aku dituduh nepotisme."

Evan terdiam sebentar, mengelus dagunya. "Berhubung saya yang masukin nama kamu ke GNews, berarti memang nepotisme."

Pria itu seketika terbahak, senang melihat Lily yang misuh-misuh karena kesal, tidak bisa membantah fakta barusan.

Walau sambil cemberut, akhirnya perempuan itu mengalah dan makan siang dengan tenang bersama kakak iparnya yang tidak berhenti melemparkan tatapan mesum ke arahnya. Lily merinding saat ia mengangkat wajahnya dari piring, mendapati Evan yang tidak lepas memandanginya sejak tadi.

Makanan di piringnya sudah tandas, begitu pun milik Evan. Lily tidak betah berlama-lama dan energinya tersedot habis karena meladeni obrolan pria itu. Namun, sebelum ia beranjak, Evan menggeser ipad-nya ke perempuan itu.

"Pilih." Perintahnya. Lily melongo melihat tampilan di layarnya. Itu adalah katalog apartemen. Tidak hanya satu, tetapi ada banyak pilihan dan semuanya adalah unit yang harganya di atas sepuluh miliar.

"Pilih buat apa?" tanya Lily, bingung. "Kamu mau beli buat invest atau gimana?"

Evan tertawa geli, menggeleng. "Itu buat kamu. Pilih yang kamu suka."

"Buatku?" Lily sampai memekik saking terkejutnya. "Aku gak butuh apartemen, Evan. Aku punya rumah."

"Rumah orang tuamu," koreksi pria itu. "Dan saya gak mau nyari-nyari alasan buat ketemu sama kamu di rumah Jawardi."

Lily mengerjap. "Aku gak ngerti."

"Lily, saya tahu kamu berencana pergi dari rumah saya. Tapi kamu harus ingat, ada kontrak yang mengikat kita berdua." Evan memajukan tubuhnya, menatap mata gelap gadis itu, tajam. "Perlu saya ingetin isi perjanjian itu?"

Ia menggeleng. Rasanya menyakitkan kalau harus mendengar pria itu mengulang statusnya yang tidak lebih dari sekedar pelacur pemuasnya. Pegangannya pada sisi ipad terasa mengencang, Lily berusaha menekan emosinya.

"Jadi kamu nyariin apartemen... ."

"Biar saya bisa bebas ketemu sama kamu, kapan pun itu." Hasrat membara tampak di maniknya saat Evan mengatakan hal tersebut. Jelas, pria itu sudah membayangkan banyak hal mesum yang bisa dilakukannya jika Lily tinggal di apartemen seorang diri.

Tenggorokan Lily terasa kering. Hatinya gamang. Haruskah ia menerima tawaran itu, tetapi bukankah itu sama saja dengan menjerumuskan dirinya ke mulut singa yang kelaparan. Namun, kalau ia menolak, Evan pasti akan akan membatalkan perjanjian mereka dan semua rahasianya akan terungkap.

Kak Aurel.

Lily menggeleng, tidak tega membayangkan perempuan itu hancur kalau sampai tahu perselingkuhannya dengan Evan.

Setelah menimbang, akhirnya ia membuat keputusan, dengan hati yang berat dan penuh keterpaksaan.

"Aku bebas pilih apartemen yang mana aja kan?"

Evan mengangguk.

"Unit apa pun?"

"Saya gak perlu ngulang berkali-kali, Lily. Kamu bebas memilih."

"Oke. Udah."

Evan mengerutkan keningnya. "Secepat itu?"

"Jam istirahaktu sebentar lagi habis. Masih ada satu lokasi buat ngeliput berita. Selain itu, gak sulit kok milihnya." Lily mengembalikan ipad Evan yang menampilkan gambar unit apartemen yang dipilihnya.

Pria itu tertawa saat melihat pilihannya. "A penthouse? Pilihan yang tidak biasa untuk perempuan bergaya sederhana seperti kamu." Manik coklat emasnya bergulir, membaca nama apartemen itu dan fasilitas yang disediakannya. Ia menaksir, harganya mungkin lebih dari seratus miliar, apalagi kalau ia langsung melengkapinya dengan full furnished.

Pilihan yang berani. Lily terlihat jelas ingin mengerjainya. Mungkin di kepala polos perempuan itu, harga yang dianggapnya fantastis akan membuat seorang Evander Cole Griffin menderita kantong kering seketika. Sayangnya, tidak ada apartemen di katalog itu yang Evan tidak sanggup beli. Itu bukanlah hal yang sulit baginya.

Menemukan parts;  itu baru tantangan. Terbukti ia membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menemukan orang tersebut. Menjadikan perempuan pemilik parts itu sebagai miliknya adalah harga yang sepadan untuk apartemen itu. Jadi, ia tidak kehilangan apa pun. Evan justru semakin dekat dengan tujuan aslinya, yaitu memiliki Lily sebagai wanitanya, sepenuhnya.

"Saya akan urus sekarang supaya kamu bisa segera pindah ke sana." Evan tidak menunjukkan keberatan sama sekali dan itu membuat Lily merinding. Uang seperti tidak ada harga dirinya di hadapan pria itu.

Benar saja, pria itu langsung menghubungi asistennya yang lain. Lily bisa mendengar percakapan mereka. "Ya, unit yang itu, saya mau deal hari ini juga."

Lily hanya bisa menelan ludah saat mendengarnya. Bisa-bisanya Evan mengeluarkan uang sebanyak itu tanpa berpikir dua kali. Terlebih, itu untuk dirinya— perempuan yang dianggapnya hanya sebagai objek pemuas nafsu.

Kepindahan Lily ke apartemen barunya sudah ditetapkan dan Evan tampak berseri-seri dengan keputusan yang dibuatnya. Sebelum keduanya berpisah, Lily menyentuh lengan pria itu, mencegahnya meninggalkan meja.

"Evan, aku lupa bilang satu hal."

"Apa itu?"

Lily mengangkat wajahnya, memberanikan diri menatap mata pria itu. "Aku bersedia tinggal di apartemen, tapi kamu harus mematuhi satu syarat dariku."

Evan mengerutkan keningnya. "Apa syaratnya?"

"Aku ingin kamu mengabulkan satu permintaanku." Lily menekan kalimatnya. "Apa pun itu."

Menghela nafas, Evan menggeleng. "Kamu bakal manfaatin itu buat kabur dari saya."

"Enggak! Aku gak akan minta hal-hal seperti itu." Lily bersikeras. Jarang ia ngotot sampai segininya, apalagi meminta ke pria brengsek seperti Evan.

Pria itu memandangnya, cukup lama.

"Oke, saya akan mengabulkan satu permintaan kamu, apa pun itu selama tidak berhubungan dengan rencana kabur dari saya atau membatalkan perjanjian di antara kita."

Lily tersenyum dan mengangguk. "Itu lebih dari cukup. Makasih, Evan."

"Memangnya apa yang kamu mau minta?" tanyanya, penasaran.

Lily mengedikkan bahunya. "Belum aku putusin. Aku keep aja dulu janji kamu."

Perempuan itu menikmati ekspresi bingung di wajah Evan. Ia meminta syarat itu, sebenarnya murni karena ide spontannya. Lily merasa harus memanfaatkan pria itu sebanyak Evan menggunakan tubuhnya untuk memuaskan nafsunya.

Ia lega karena Evan mengiyakan syaratnya. Lily akan memikirkan baik-baik permintaannya dan ia akan memeras sebanyak mungkin dari pria yang sudah mengacak-acak hidupnya itu.

***

Author's note:

Di part ini ada kelakuan Evan yang bikin gak habis thinking, alias nekat banget. Kalau mau emosi bisa dibaca di extended part-nya (di KK), part ini emang aslinya panjang banget. 

Sementara itu...
Terima kasih ya sudah membaca sampai sejauh ini.

Untuk kelanjutannya, cerita ini bakal time skip 1-2 bulan dari akhir cerita di sini.
Evan bakal makin menjadi-jadi, dan Aurel tentu makin sus.
Lily? Dia bakal ketemu orang yang mungkin bisa nyelamatin dia dari Evan. 

Terakhir, sapa visual unyu Evan & Lily ini ^^ 

Salam,
Alistair

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 40K 12
[CHAPTER LENGKAP DI KARYA KARSA] Kair sebagai ayah tunggal harus bisa memberi kebahagiaan untuk Alish putra tunggalnya. Semuanya ia akan ia berikan t...
583K 16.3K 53
鈿狅笍MATURE 鈿狅笍 馃搶Sebagian part dan image di lock, follow terlebih dahulu sebelum membaca 馃搶 Dasha Namara, seorang mahasiswi dari fakultas kedokteran den...
213K 10.9K 49
Sometimes it takes sadness to know happiness But never let the sadness of your past and the fear of your future ruin the happiness of your present Ba...
246K 8.4K 20
Bercerai tapi masih cinta? [SEBAGIAN PART BISA DIBACA DI KARYAKARSA] *** "Mantanku memang dekat lima langka...