抖阴社区

Dare or Jomlo

By tuteyoo

82.5K 5.2K 674

Sudah lima tahun Ashley berkarier sebagai asisten pribadi Dominick McCade. Selama itu pula dia sering kali me... More

01 - Ashley & Katherine
02 - Melissa
03 - What a Life
04 - Annoying
05 - Reunion
06 - Hangover
07 - Saturday Morning
08 - Another Encounter
09 - Rumor has it
10 - A Dress for the Party
11 - Melissa's Date Night
12 - Her Nice Appearance
13 - Katherine's First Dinner with Dominick
14 - Dominick's Anger
15 - The Dress from Dominick
16 - Messy Sunday
17 - My Personal Assistant
18 - Compatibility
19 - The Nightmare
20 - Something to be Grateful for
21 - Hard Choices
22 - Missing Freedom
23 - Melissa's 2nd Date and ... Jeremy again
24 - Hot and Cold
25 - Unrelated Things
26 - Horse Riding
27 - Whose Fault?
28 - Getting Closer
29 - Nothing has Changed
30 - After Dinner
31 - About Ashley
32 - Shopping
33 - Wedding Party
34 - Sunday Morning
35 - The Curiousity
36 - Out of Character
37 - Ashley's First Date
38 - Thinking about Each Other
39 - Steamy Moment
40 - Drinking Buddies
41 - One Tough Day
42 - Lingering Feelings
43 - Forced Agreement
44 - Ghost of Mind
45 - The One that Missing
46 - Broken Family
47 - Forgotten Things
48 - Confession
49 - Tipsy
50 - Dangerous Woman
51 - Lost Control
52 - Overthinking
53 - Toronto
54 - Die of Boredom
55 - Distillery District (1)
56 - Distillery District (2)
57 - Kiss under the Rain
58 - Bitter Truth
59 - The Messy Night
60 - As If Nothing Happened
61 - The Morning After
62 - Rain and the Sadness Within

63 - The Wound

1.4K 107 20
By tuteyoo

Ashley benci berdebat, apalagi jika lawannya adalah seorang Dominick McCade. Bukan hanya karena dia berada di posisi tidak pantas untuk melawan, tetapi ini tentang seberapa keras kepala pria itu. Bahkan, jika mereka bertemu tanpa bayang-bayang jabatan, Ashley merasa tetap akan kalah melawannya. Pria itu bukannya memiliki bakat berdebat, melainkan caranya mengintimidasi lawan membuat Ashley pada akhirnya memilih mengalah.

Perdebatan tidak penting itu membuat Ashley berdiri di depan wastafel dengan wajah waspada. Di sana dia mempersiapkan air hangat dan alat cukur. Benar, setelah pria itu beberapa kali menerima penolakan ketika hendak menciumi Ashley—dikarenakan merasa geli oleh rambut di wajahnya—dia meminta wanita itu untuk membantunya bercukur.

Aslinya, rambut-rambut itu bukanlah alasan. Ashley hanya berusaha membatasi diri, meski berada di Toronto berarti mereka sedang menggunakan kartu bebas untuk melakukan hal-hal sesuka mereka tanpa memedulikan status. Namun, dia tidak bisa membiarkan pria itu terus menempel padanya. Kalau Ashley ibaratkan, Dominick seperti anak kecil yang baru tahu rasa permen dan ingin memakannya terus-menerus. Tentunya hal ini tidak boleh terbawa sampai mereka kembali ke New York.

Ashley secara sengaja berlama-lama di kamar mandi, dengan harapan Dominick tidak sabar dan melakukannya sendiri. Akan tetapi, Ashley sudah salah mengira. Ketika dia keluar bersama perlengkapan mencukur, dia dapati Dominick sudah menyamankan posisi—duduk di kursi panjang dekat jendela, dengan handuk putih kecil di atas leher sampai dadanya. Pria itu memakai celana panjang dari setelan piama tanpa atasannya.

Ashley memutar alat cukur kecil di tangan, memeriksa ujung mata pisau dengan seksama sebelum mulai. Itu bahkan bukan yang elektrik, hingga Ashley khawatir pisaunya akan melukai wajah pria itu. Kemudian mengambil sikat busa kecil dan gel shaving dari travel pouch milik Dominick.

“Kau yakin ingin aku yang melakukannya?” tanyanya, sedikit ragu. Matanya menatap ngeri bagian bawah wajah Dominick. Itu adalah aset, tidak boleh ada kesalahan.

Dominick mengangkat sebelah alis. “Aku selalu percaya padamu. Dan juga ... .” Dia menambahkan dengan suara lebih rendah, “Aku suka dilayani seperti ini, olehmu.”

Pipi Ashley memanas, tetapi pura-pura tidak mendengar nada godaan itu. Dia mulai bekerja dari rahang kanan, mengoleskan busa di sana dengan rapi. Gerakannya sangat pelan dan penuh kehati-hatian. Badannya sampai membungkuk hanya untuk melihat lebih dekat. Kulit Dominick terasa hangat di bawah sentuhannya, dan tangan kirinya diam-diam mencengkeram ujung kursi dengan tegang agar tidak kehilangan kendali.

“Akan lebih mudah melakukannya kalau kau duduk di sini.”

“Di mana?” Ashley menegakkan badan lagi untuk memastikan di mana posisi yang dimaksud Dominick.

Pria itu lantas menepuk pahanya. Sungguh, itu membuat Ashley kehabisan kata-kata. Setelah melakukan hal tergila yang membakar gairah kemarin, Ashley belum bisa berhenti terkejut dengan kelakuan Dominick.

“Tidak mungkin,” sahutnya dan kembali melanjutkan pekerjaannya, mengabaikan saran yang diberikan Dominick.

Mata Dominick tidak lepas dari wajahnya. Meski Ashley fokus pada pekerjaannya, tetapi dia bisa merasakan pandangan pria itu, seperti sentuhan tidak kasat mata di pipinya. Dia menjadi gugup dan tangannya seakan-akan bergerak tidak sejalan dengan pikirannya.

“Sepertinya aku memang harus duduk di situ.” Mata Ashley melirik pangkuan Dominick dengan malu-malu. Itu bahkan bukan kali pertama.

Dominick hanya tersenyum dan menepuk pahanya, mempersilakannya untuk segera duduk. Dia mengamati tubuh wanita itu dalam balutan kaos tipis dan celana pendek linen. Rambut Ashley berantakan karena diikat asal-asalan, tetapi justru itulah yang membuatnya terlihat nyata. Sangat hidup.

Aroma lembut sabun bercampur manis vanila tercium makin kuat oleh Dominick ketika Ashley naik ke atas pahanya, menempatkan dirinya di pangkuan. Mereka sudah begitu dekat, tetapi tetap saja, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Ashley mengangkat dagu Dominick sedikit, untuk menyapukan busa di bagian bawah dagunya. Gerakannya pelan, masih sangat hati-hati. Seolah setiap helai rambut wajah itu menyimpan rahasia yang harus diperlakukan dengan hormat. Tangannya hangat, sentuhannya tenang, nyaris seperti ritual suci yang tidak boleh tergesa-gesa. Aktivitas itu jelas akan menghabiskan waktu yang lama, tetapi Dominick sama sekali tidak melayangkan protes.

“Kau terlalu serius,” gumam Dominick.

“Aku memegang benda tajam di wajahmu. Tentu aku serius.” Terdengar sedikit kekesalan di suaranya, sebab pria itu mengusiknya saat berusaha untuk berkonsentrasi.

“Aku suka melihatmu seperti ini,” ujar Dominick pelan. “Dekat. Tenang. Di pangkuanku.”

Ashley berhenti sebentar hanya untuk membalas tatapan Dominick. Dia sadar pria itu tidak kunjung berpaling, jadi dia mulai penasaran apa yang menjadikannya terlihat begitu menarik. Padahal, dia hanya menyuguhkan wajah tanpa riasan dan kantung mata yang mencolok.

“Kau selalu menatapku seperti itu?” Suara Ashley sangat pelan, nyaris seperti bisikan. Dia tidak memiliki kepercayaan diri untuk melontarkan pertanyaan itu, sebetulnya.

“Seperti apa?”

“Entahlah. Mungkin seperti ... lukisan di galeri yang membuatmu merasa takjub?”

Dominick tersenyum tipis. “Begitulah.”

Ashley terdiam sesaat sebelum melanjutkan kembali tugas pentingnya. Dia mengganti alat mengoleskan busa dengan pisau cukur, kemudian mulai mengarahkan alat cukur itu perlahan di sepanjang rahang kanan Dominick. Ujung jari kirinya menekan lembut sisi wajah Dominick, menjaga kestabilan.

Beberapa menit berlalu dalam diam. Hanya suara deru napas yang menyapu wajah satu sama lain diiringi detak halus jam dinding yang terdengar.

“Aku berpikir,” gumam Dominick tiba-tiba, dengan nada terlalu ringan untuk menutupi makna yang sebenarnya, “Mungkin kita bisa mampir ke rumah Grams saat pulang besok.”

Ashley menghentikan gerakan tangan yang tengah mengarahkan pisau cukur ke sisi kiri rahang Dominick. “Nyonya McCade memintanya?”

Dominick menggeleng kecil, seperti seseorang yang berpura-pura sedang tidak mengungkapkan sesuatu yang penting. Namun, nada bicaranya melemah, nyaris seperti bisikan. “Aku pernah berjanji akan memperkenalkan wanitaku padanya.”

Ashley hanya diam memandangi wajahnya, dahinya mengerut sedikit. Dia memikirkan sesuatu tentang dirinya sendiri, tetapi tidak ingin memercayainya. Karena menurutnya, akhir dari percobaan kencan mereka di Toronto bukanlah itu. Seseorang untuk dikenalkan pada wanita tua itu, seharusnya bukan dia.

“Dan kau pikir wanita itu ... aku?”

Tatapan mereka bertemu. Dan, untuk sesaat, waktu rasanya sedang berhenti berjalan.

“Ya,” jawab Dominick tanpa ragu.

Ashley tetap saja terkejut meski respons itu sesuai dengan dugaan yang menggantung di pikirannya. Akibatnya, dia kehilangan energi untuk memegangi alat cukur dan benda itu terjatuh tepat di atas rahang kiri Dominick. Ketika Ashley berusaha menangkapnya dengan gelagapan, mata pisau kecilnya justru meninggalkan goresan tipis di sana. Goresan itu perlahan-lahan berubah menjadi warna merah hingga setetes darah mengalir dari sana. Namun, luka itu sama sekali tidak membuat Dominick berjengit.

“Bos, maafkan aku. Aku tidak sengaja.” Ashley buru-buru menarik tisu dan mengusapkannya dengan lebih hati-hati di atas lukanya.

Dominick meringis, bukan karena perihnya luka itu, melainkan karena dia kembali mendengar panggilan formal itu darinya. “Tenanglah.”

“Ya ampun, ini salahku. Aku terlalu ... terkejut.”

Dominick menangkap tangan Ashley agar berhenti menyentuh lukanya dan berbalas menatapnya. Tatapan Dominick tetap hangat meski wanita itu sudah melukainya. “Kau seperti melihat hantu. Semenakutkan itukah bertemu dengan nenekku?”

Ashley mengerjapkan mata, menatap wajah pria itu yang tetap tenang. Namun, dia tahu, luka di kulit itu tidak akan sebesar luka yang mulai terasa di dada mereka. Dia menatap luka kecil itu sebagai simbol dari sesuatu yang jauh lebih rumit dan dalam.

"Aku ... tidak bisa melakukannya."

Nada bicara Ashley tenang, tetapi setegas sebuah garis lurus, sampai-sampai membuat Dominick menegakkan badannya.

“Aku tahu malam-malam kemarin terasa berbeda, bahkan terasa sangat spesial. Tapi, kita tidak pernah benar-benar bicara tentang apa yang kita lakukan, termasuk seperti apa menamai hubungan kita. Kau sendiri yang menawarkan seminggu ini sebagai percobaan kencan, tetapi kita sudah melewati batas terlalu jauh, Bos. Kita ... terbawa suasana.”

Dominick tidak langsung menjawab. Namun, di wajahnya tampak jelas kekecewaan. Tidak ada kemarahan, melainkan terdapat luka yang ditahan dalam diam.

“Lalu, kau berjanji bahwa dengan aku setuju berkencan denganmu ... .” Ashley memberi jeda sebentar, kelanjutan dari kalimatnya adalah sesuatu yang akan melukai dirinya sendiri. “Berarti kau setuju untuk menemui Kate lagi. Dia menunggumu, dan sejak awal kau yang memberiku pilihan itu, jadi kau harus menepatinya. Kita tidak bisa meneruskan ini. Ini salah.”

Atas inisiatif pribadi, Ashley turun dari pangkuan Dominick. Sekarang dia berdiri di hadapan pria itu. Akan tetapi, dia tidak berani menatap wajah Dominick. Ashley seratus persen sadar bahwa kebersamaan mereka beberapa hari ini membuat pria itu benar-benar bahagia. Ada kebebasan yang melegakan yang terpancar di wajahnya, seakan-akan selama ini Dominick yang dikenalnya adalah seseorang yang mengurung dirinya sendiri di dalam sangkar. Ada banyak hal yang tertahan. Lantas, itu membuat Ashley juga merasa bersalah pada pria itu karena memutuskan untuk mengakhirinya.

Dominick menunduk sejenak, lalu berkata, “Apa kau merasa sedang kupermainkan?”

Ashley menatapnya lama sebelum akhirnya menggeleng.

"Tidak, kau merasa demikian. Bagaimana jika percobaan kencan itu hanya akal-akalanku agar kau tidak jatuh dalam pelukan pria lain?" Dominick yang menatap Ashley dengan serius sekarang sama persis dengan Dominick yang sedang memimpin rapat tentang sebuah masalah yang ditimbulkan oleh kecerobohan pegawainya. "Ini bukan lagi tentang terbawa suasana. Aku mampu menahan diriku ketika kau menyerahkan diri dalam kondisi mabuk, tapi aku lebih menunggu ketika kau secara sadar menerimaku. Sekarang aku akan bertanya, apa kau adalah wanita yang semudah itu menyerahkan diri?"

Ashley menggigit bibir bawahnya, menahan tangis. Matanya sudah berkaca-kaca. Dia bahkan tidak tahu apa yang sedang menyakitinya, apakah karena sikap Dominick, atau karena kebenaran yang pria itu ungkapkan, atau pertanyaan yang Dominick lontarkan sudah merendahkannya. Untuk mengakuinya saja membuat Ashley merasa buruk. Apa yang sudah dia lakukan di belakang sahabat yang sangat menginginkan pria di hadapannya ini?

"Katakan padaku, apa yang kau rasakan, Ashley? Kenapa malam itu kau tidak mendorongku, menamparku, dan berlari keluar dari kamarku? Apa itu yang kau sebut hanya terbawa suasana?"

Ketika Dominick berdiri dan melangkah lebih dekat, Ashley merasa benar-benar kecil. Itu membuatnya kehilangan rasa percaya diri.

"Jawab, Harper!"

"Ya! Ya! Aku ... aku ... hanya terbawa ... suasana." Ashley bernapas kuat-kuat, seolah-olah habis berlari. Nyatanya, berbohong pun menguras energi.

Ashley sama sekali tidak terbawa suasana. Penyerahan dirinya pada pria itu adalah dorongan dari rasa yang meletup-letup di dadanya. Semua perlakuan tidak wajar pria itu sebagai bosnya, bukan tidak mungkin tidak meninggalkan kesan yang tidak wajar. Malam itu, Ashley menyadari betapa melelahkannya menahan diri. Berada di sisi Dominick membuatnya tidak bisa melihat pria lain dengan cara yang benar.

Ashley tidak tahu sejak kapan perasaannya mulai tumbuh. Namun, yang jelas, Ashley sadar dirinya terlalu pandai menahan perasaan. Terlalu lihai menyembunyikan denyutnya sendiri di balik jadwal yang padat, tugas-tugas, dan struktur hubungan yang profesional. Saat itu dia menganggapnya sebagai bentuk loyalitas. Dia mengelabui dirinya dengan menyebutnya kekaguman, menyamarkannya sebagai tanggung jawab. Dan, selama ini itu cukup.

Terlebih lagi, pria itu kemudian menikahi Alisson Cantrell. Saat itu, sangat mudah baginya untuk menekan munculnya perasaan yang tidak wajar. Dia punya alasan yang jelas. Lalu, perceraian mereka sempat membuat Ashley kembali berdebar, tetapi ketika rumor tentang dirinya beredar di kantor, Ashley tidak punya pilihan lagi selain tetap menahan dirinya juga. Garis batas yang susah payah dia buat berhasil melindunginya selama ini.

Sayangnya, dia tidak menyadari betapa sering dirinya membandingkan pria lain dengan seorang Dominick McCade.

Jeremy yang baik hati, menyenangkan, dan penuh perhatian, tidak pernah membuat jantungnya berdebar seperti ketika Dominick menatapnya lamat-lamat. Pria-pria yang ditemuinya dalam berbagai acara, yang menyapanya dengan ramah, bahkan yang paling sopan dan cerdas pun, tidak pernah bisa membuat Ashley merasa ... terkesima. Bahkan, dia akan menganggap Dominick jauh lebih-lebih dari mereka.

Di alam bawah sadar, Ashley begitu memuja seorang Dominick McCade. Hanya Dominick yang bisa membuatnya merasa kecil sekaligus dihargai dalam waktu yang bersamaan—bukan karena meremehkan, tetapi karena pria itu melihatnya secara utuh, sampai ke bagian-bagian yang bahkan tidak disadari Ashley sendiri.

Selama ini Ashley terus menolak perasaan yang tumbuh itu karena takut. Dia menarik diri karena merasa tidak sepadan. Namun, yang paling menyakitkan adalah, Ashley kini sadar bahwa dia tidak pernah benar-benar tidak mencintai Dominick. Dia hanya tidak mengizinkan dirinya untuk mencintai. Apalagi, dia sudah bertekad tidak akan berupaya menjadikan Dominick sebagai pasangan hanya untuk memudahkan hidup seorang pria brengsek yang tidak memiliki rasa tanggung jawab. Orang-orang yang berada di pundak Ashley akan menjadi benalu bagi hidup orang lain.

Dan, kenyataan itu menghantamnya dengan keheningan yang memekakkan. Karena sekuat apa pun dia mencoba menjaga jarak, diam-diam hatinya telah berpihak. Bukan karena kesempurnaan seorang Dominick, melainkan karena pria itu menerimanya sebagai seorang Ashley Harper. Akan tetapi, tetap saja ini salah, waktunya tidak tepat lagi. Tidak seharusnya Ashley merasakan sesuatu pada pria dengan nama yang besar seperti Dominick.

“Saat kita pulang, aku ingin semuanya kembali seperti semula. Aku asistenmu, dan kau atasan yang sibuk dan tidak punya waktu untuk urusan pribadi.” Ashley kembali bicara karena Dominick tampaknya enggan mengatakan apa-apa.

“Kau tidak serius.”

Ashley memaksakan senyum. “Aku sangat serius.”

Dominick melangkah maju, menghapus jaraknya dengan Ashley. Wanita itu pun terus melangkah mundur hingga punggungnya membentur dinding. Tangan Dominick lantas bersandar pada dinding di kedua sisi tubuh Ashley, menghalanginya melarikan diri.

“Setelah semua ini, kau benar-benar ingin kita berpura-pura tidak terjadi apa-apa?”

Ashley merinding ketika Dominick meniupi lehernya. Napas pria itu terasa panas di sana.

“Terlalu banyak tanda yang kutinggalkan untuk menyatakan kau adalah milikku.” Dominick melanjutkan dengan suara yang sarat akan kefrustrasian.

Ashley mendorong dada Dominick dengan tenaga seadanya. “Bukan pura-pura. Kita sudah menyepakati ini, kau sendiri yang bilang bahwa semua yang terjadi di sini akan tetap di sini, Bos.” Itu adalah kalimat yang Dominick sendiri mengatakannya di hari pertama kedatangan mereka. Dia tahu, Dominick bukanlah tipe orang yang akan menarik apa yang telah dia ucapkan.

“Sekarang aku menyesalinya.” Dominick menjatuhkan kepalanya di bahu kanan Ashley. “Aku memilihmu. Aku akan menepati janji untuk menemui Kate dan mengakhiri apa yang sudah kumulai dengannya.”

Mata Ashley membola. Kalau Dominick benar-benar berkata bahwa dia memilihnya, bagaimana cara Ashley menatap sahabatnya setelah itu? Pengkhianatan apa yang sudah dilakukannya pada wanita itu?

“Kalau begitu ... .” Suara Ashley mulai serak, tetapi berusaha tetap tegar meski hatinya bergemuruh. “Tolong ... biarkan aku tidak memilih dulu.”

Dominick menegakkan badannya lagi dan menghela napas panjang. Gerakan kecil itu membawa begitu banyak makna; kecewa, marah, tetapi juga berusaha memahami. Dia tidak terbiasa menunggu. Tidak terbiasa diberi batas. Namun, Ashley berbeda. Dia bukan seseorang yang bisa ditaklukkan dengan pernyataan atau janji. Dia bukan siapa pun selain dirinya sendiri. Dan justru karena itu, Dominick jatuh padanya.

"Tidak bisakah sekali saja jujur pada dirimu sendiri?"

"Aku lebih mengetahui diriku sendiri." Ashley membalasnya sembari membuang muka. Atmosfer di sekelilingnya mendadak menjadi begitu dingin hingga dia memeluk dirinya sendiri. Namun, Dominick mungkin melihat itu sebagai bentuk pertahanan diri.

“Baik.”

Hanya satu kata dengan nada yang dingin. Terlalu dingin, hingga membuat Ashley menegang. Kata itu juga seperti palu kecil yang menghantam tembok di antara mereka, membangunnya kembali dengan paksa. Dan, saat Dominick berkata demikian, suaranya begitu datar, seolah-olah seluruh emosinya disembunyikan dalam satu kata itu.

Namun, Ashley tahu, tidak ada yang baik dari ‘baik’ itu. Tidak ada yang netral dari jarak yang mulai terbentang kembali. Tidak ada jalan untuk kembali ke sebagaimana mereka seharusnya.

Luka kecil di wajah Dominick? Itu bukan satu-satunya luka yang akan mereka bawa pulang dari Toronto.

“Mulai besok,” ucap pria itu dengan pelan, “Kau akan kembali menjadi asistenku. Tidak lebih.”

Dominick menjauhi Ashley untuk mengambil handuk dari atas meja dan menyeka entah apa yang tersisa di rahangnya. Mungkin saja luka tadi darahnya masih belum kering.

Untuk pertama kalinya sejak mereka saling membuka diri, Ashley merasa seperti orang asing di dekat pria itu. Garis itu makin terlihat nyata setelah Ashley pergi dari kamar Dominick dan kembali ke kamarnya sendiri.

•••

See you in the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
11 Juni 2025

Continue Reading

You'll Also Like

daylight By K

ChickLit

64.1K 5.1K 18
Life is messy. Life is not fair. Life is life. Hatinya Adista hanya satu, tapi patahnya lebih dari satu kali. Walaupun sudah nyaris remuk dan menjadi...
520K 79.3K 48
Tekanan dari keluarga untuk mendapatkan pasangan karena menjadi adik kembarnya akan menikah membuat Mutia kelimpungan. Sialnya, hal itu justru membua...
349K 27.3K 81
Berawal jadi model hingga merambah ke dunia influencer membuat hariku menyenangkan. Gimana gak menyenangkan, kerja cuma modal cuap-cuap sendiri depan...
2.2M 211K 42
Di usia yang nyaris kepala tiga, Terra masih tidak mengerti tujuan hidupnya apa. Selama lima tahun terakhir, dia merasa tidak ada yang berubah, waktu...