抖阴社区

Harley In Hawinke

By MrRabbit_

7.8K 356 26

Rating 21+ Kara Periwinkle, seorang penyanyi pop terkenal yang sedang mengalami kejenuhan karier, memutuskan... More

PEMBUKA
01 - The Last World Tour
02 - Sunset Landing
03 - Hadeer Garage
04 - Riding a Harley Motorbike
05 - Starting Close
06 - Stay at Zayan's House
7 - Stay at Zayan's House (2)
8 - Eat Simple
9 - Love in Hadeer Garage
10 - Pali Lookout
11 - Have Sex (18+)
12 - in Hale驶iwa
13 - Sex on the Beach (21+)
14 - Naughty Hands (18+)
15 - Facts Kara Periwinkle
16 - Disappointed Each Other
17 - Doubt
18 - Apologize But Pervert
19 - Passionate Sex (21+)
20 - Spoiled (18+)
21 - Snorkeling Together
22 - Winding Road Ko'olau Mountains (18+)
23 - Zayan's Close Friend
24 - Foodtruck In Kailua
25 - Rain in Hill Diamond Head
26 - Sex in the Cottage (21+)
27 - Sex in the Cottage 2 (21+)
28 - Funny Moment
29 - Leon Gandy, Harley From Yorkshire
30 - Kara's Close Friend
31 - Leo's Purpose
32 - Leo Wen Zelong (18+)
33 - Looking for Kara
35 - Harleys in Hawaii (Special Chapter)
36 - Leo Disguise
37 - Leo Disguise 2, Revealed
38 - Locked Up (21+)
39 - Fight, Run Away
40 - Back To Intercourse, Angry (21+)

34 - Almost Visible

43 7 0
By MrRabbit_

LEO baru saja keluar dari warung makan kecil yang berjarak hanya dua gang dari bengkel Zayan yang tadi sempat ia singgahi untuk berteduh. Suasana sore hari di North Shore benar-benar berbeda dengan Los Angeles. Di sini matahari belum tenggelam sepenuhnya tapi sudah turun perlahan, cahayanya menyorot ke langit dan dedaunan kelapa yang bergoyang tertiup angin. Udara lembab dan asin dari laut membuat napas terasa lengket tapi Leo tak masalah, justru ia menyukai rasa itu.

Perutnya sudah kenyang, ia tadi makan sepiring nasi dengan ikan panggang lokal dan sambal khas Hawaii yang cukup pedas. Mencium tangannya sendiri, uhh.. masih berbau bumbu, Leo tak mau berpikir lama, ia pun mengusapkan tangannya ke celana jeans-nya. Atasannya? Tetap polos, tanpa baju sejak tadi. Ia hanya menyampirkan jaketnya di bahu, benar-benar malas memakainya.

"Damnit... I miss Kara," gumamnya lirih, tapi ia cepat-cepat menggeleng sambil menatap ke depan.

Leo berjalan santai di trotoar, sesekali ia menyapa penduduk lokal yang tengah bersantai di kursi rotan depan toko. Anak-anak berlarian tanpa alas kaki. Seorang nenek tua melambaikan tangan padanya, Leo membalas dengan senyuman sopan yang ramah. Suasana seperti ini membuat Leo merasa di dunia lain jika dibanding kehidupannya yang terburu-buru di Los Angeles.

Langkahnya melambat ketika ia melewati bangunan sederhana bergaya industrial, bengkel yang tadi ia datangi.

"Zayan..." gumam Leo, mengingat nama cowok berotot dengan wajah cool itu. Ada yang aneh dari obrolan tadi siang, pikir Leo. Sikap Zayan seolah agak menutup diri. Tetapi Leo juga bukan tipe orang yang langsung menuduh atau sok tahu.

"Kayaknya dia kenal Kara deh... Tapi masa iya?" pikirnya.

Leo mengusap wajahnya, lalu tertawa sendiri. "Gue udah kayak detektif nyari cewek sendiri..."

Ia terus berjalan. Suara ombak dari kejauhan masih terdengar. Sinar sore membuat bayangannya panjang di trotoar. Ia menengok kiri dan kanan, mengingat rute ke hotel yang ia tempati. Tidak jauh, hanya sepuluh menit jalan kaki. Namun entah kenapa, langkahnya terasa berat. Mungkin tidak karena capek, tapi karena isi kepalanya terus berputar di situ-situ saja.

"Kara... where the hell are you hiding?"

Ia membuka ponselnya sambil berjalan, membuka aplikasi galeri dan melihat salah satu foto Kara. Foto candid waktu mereka nongkrong bareng setelah konser kecil di L.A. Rambut Kara waktu itu diikat tinggi, keringat masih menempel di wajah, tapi senyumnya, ah.. senyumnya masih sama seperti yang ia ingat sekarang.

Leo berhenti sejenak di trotoar, menatap layar ponselnya sambil menarik napas dalam-dalam. "Lo mungkin bisa lari, Kara... tapi nggak bisa ngilang terus."

Ia menyimpan ponselnya lagi ke saku celana, lalu menatap ke depan.

Tak sadar, di saat bersamaan dari kejauhan di sisi seberang jalan, seseorang juga sedang berjalan. Cewek, rambut panjang kecoklatan yang tergerai ke belakang. Memakai kaos putih longgar dan celana jeans pendek. Gerakannya cepat, langkahnya kecil-kecil seolah sedang terburu. Hanya saja Leo belum melihatnya.

Itu adalah Kara. Celana jeans pendek yang ia pakai sempat membuat dua cowok lokal yang lewat dari arah berlawanan melirik dua kali. Tapi Kara tak peduli. Fokusnya hanya satu, ke Zayan.

Tangannya menggenggam ponsel, layar masih menyala, menunjukkan chat grup band lamanya, yang baru saja ia abaikan. Ia mematikan layar lalu memasukkannya ke dalam saku. Sebelah tangannya menahan rambut yang berantakan karena ditiup angin.

Di seberang sana, Leo masih berjalan dengan santai. Menunduk sesekali, lalu menatap ke depan. Hanya saja jaraknya masih sekitar lima belas meter. Ia tak terlalu fokus pada sekeliling karena pikirannya benar-benar capek sendiri.

Sementara itu, dari dalam bengkel, Zayan yang sedang duduk di dekat rak alat, melirik keluar karena mendengar suara sepatu cewek mendekat. Langkahnya sangat ia kenali. Irama langkah kaki Kara selalu khas. Pelan, tapi penuh energi.

Zayan reflek berdiri. Pandangannya menembus kaca bening besar di dinding depan. Dan benar saja...

"Kara..." gumamnya pelan.

Tapi detik itu juga, matanya menajam melihat ke arah jalan seberang.

Cowok tinggi, badannya kekar, celananya panjang tapi tak pakai baju sama sekali, rambutnya agak basah, dan... Wajahnya mirip sekali dengan cowok yang tadi siang mampir ke bengkelnya numpang berteduh. Zayan langsung tahu, itu Leo.

Seketika otaknya bekerja cepat. Zayan mengetahui posisi Kara masih di sisi luar bengkel, baru akan masuk lewat pintu depan. Kalau Leo menengok sekarang, bisa saja langsung dapat melihat wajah Kara. Itu berarti... semua bisa kacau. Kara sudah jelas-jelas tak mau ditemukan Leo sekarang. Sebagai pacar, Zayan harus bisa melindungi Kara dari Leo.

Dengan gerakan cepat, Zayan membuka pintu bengkel dan keluar sedikit.

"Kara!" bisiknya tegas, nada suaranya pelan tapi dalam.

Baru beberapa langkah dari pintu, Kara terkejut saat tiba-tiba tangan Zayan menariknya cepat-cepat ke dalam.

"Hah? Kenapa-"

"Masuk dulu!" potong Zayan, segera menutup pintu kaca dan mengunci pintu bagian luar setengah.

Kara terkejut, napasnya tertahan karena ditarik mendadak, punggungnya menempel ke dada Zayan.

Di seberang sana, Leo tetap berjalan santai. Tangan kirinya masuk kantong celana, sementara tangan kanan memegang botol air mineral yang ia beli di warung tadi. Keringat tipis membasahi dada bidangnya. Kalung perak yang menggantung di leher Leo terlihat mengilap, berayun mengikuti gerak tubuhnya.

Tepat saat itu...

Langkahnya otomatis melambat.

Ia menyadari ada sekelebat bayangan cewek yang baru saja masuk ke sebuah bengkel di sisi kiri jalan. Gerakannya cepat, seperti ditarik seseorang. Tapi rambut cewek itu...

Leo menghentikan langkah. Dahinya sedikit mengernyit.

Ia menengok ke belakang. Pandangannya mengarah tepat ke pintu bengkel yang baru saja tertutup. Refleks, matanya menyisir sekitar, mencoba mencocokkan memori dengan apa yang barusan ia lihat.

"Coklat terang... panjang... agak bergelombang... mirip banget..."

Lehernya sedikit berputar, matanya hampir tak berkedip. Tetapi tak ada siapa-siapa di sana sekarang. Pintu sudah tertutup. Tak ada suara dan tak ada jejak. Hanya tulisan di kaca. HADEER GARAGE.

Leo terdiam di trotoar. Suara klakson motor kecil di ujung jalan membuatnya sadar kembali.

"Kayak... kenal..." gumamnya lirih.

Ia menoleh sekali lagi. "Tapi masa sih..."

Cewek itu jalan ngebelakangin aku. Bisa aja cuman mirip. Banyak juga cewek yang rambutnya coklat panjang di Hawaii.

Leo menarik napas dalam-dalam. Ia tahu otaknya sudah berpikir ke mana-mana, sejak mencari Kara dua hari ini. Segala hal yang mirip Kara rasanya seperti kode dari semesta.

Tapi kali ini...

"Ada yang beda tadi... gerak tubuhnya... cara dia jalan... itu kayak Kara."

Namun ia tetap melanjutkan langkah. Tidak ingin menaruh harapan berlebihan. Apalagi sekarang otaknya sudah terlalu sering dibohongi oleh rasa rindu.

Kembali ke bengkel Zayan...

"Ada apa sih?" tanya Kara, berbisik sambil mencoba membalik badan, tapi Zayan menahan tubuhnya tetap di balik pilar dekat jendela, menyembunyikan Kara agar tak dilihat dari arah luar.

"Leo di seberang. Mungkin dia mau pulang ke arah hotel," bisik Zayan pelan, nadanya tetap tenang, tapi waspada.

Kara langsung membeku. Napasnya pelan-pelan naik. Ia menunduk, lalu menahan napas. "Dia lihat aku nggak?"

"Belum. Barusan dia tengok, tapi untung kamu belum sampai pintu."

Zayan perlahan melongok ke luar dari sisi jendela, mengintip dari celah kecil.

Leo masih berjalan pelan, tenang, dan benar-benar tidak sadar bahwa cewek yang selama ini ia cari baru saja berada tak sampai lima meter darinya.

Zayan mencengkeram pinggang Kara. Tidak keras, tapi cukup erat untuk memberi rasa aman.

"Udah, diem di sini sebentar."

Kara mengangguk. Kepalanya bagian belakang menempel di dada Zayan, suara detak jantung cowok itu terdengar jelas di telinganya. Mereka berdua berdiri, hanya diam dan mendengarkan suara motor serta ombak dari kejauhan.

Setelah beberapa detik, Zayan menengok lagi.

"Dia udah jalan ke arah tikungan. Aman."

Kara akhirnya menarik napas panjang dan memejamkan mata. "Gila... nyaris banget..."

"Makanya kamu harus bilang aku dulu sebelum ke bengkel," kata Zayan pelan, lalu mencium ubun-ubun Kara sekilas.

"Sorry... aku nggak nyangka dia bisa sedeket itu..."

Zayan mendesah. "Dia pasti nyari kamu keliling area sini. Feeling aku dia udah mulai curiga kamu deket-deket sini."

"Kalau dia tau kamu pacarku sekarang, dia pasti... aneh banget reaksi dia."

Zayan mendekatkan bibirnya ke telinga Kara. "Selama kamu masih mau disembunyiin, aku yang jaga kamu."

Ketika dirasa sudah aman, Zayan segera memutar tubuh Kara agar menghadapnya. Tatapan Zayan tajam tapi tak marah, lebih ke bingung dan sedikit khawatir.

"Aku baru mau beresin kunci Inggris terakhir, tiba-tiba kamu nongol," katanya sambil narik napas. "Kenapa nyusul ke sini? Kan udah sore. Aku juga bentar lagi pulang."

Kara mengangkat alis, menyandarkan punggung ke meja kerja Zayan yang berantakan penuh alat. Senyuman jahilnya muncul.

"Aku kangen," jawabnya singkat, lalu nyengir. "Makanya aku datang ke sini, cari kamu. So sweet nggak?"

Zayan melotot kecil. "Kangen apaan, aneh banget kamu. Tadi pagi kita bareng, siang juga kamu yang minta ditinggal karena katanya mau tidur di rumah."

"Ya itu kan tadi. Sekarang aku kangen versi sore."

Zayan mencubit pelan paha Kara. "Halah. Bilang aja bosan sendiri di garasi."

Kara meringis lalu dorong tangan Zayan menjauh. "Jangan kasar, nanti aku terangsang."

Zayan ngakak sambil geleng-geleng. "Kamu tuh mulutnya gak bisa normal ya?"

Kara menjulurkan lidah. "Bisa, tapi gak seru."

Zayan nyengir, lalu berjalan ke arah dinding, menaruh obeng dan beberapa alat ke tempat semula. Bengkel sudah lumayan rapi, walau bau oli dan besi masih kuat. Kipas angin tua di pojok berputar lambat, dan sinar matahari yang menyorot dari ventilasi atas udah mulai redup.

•°•°•°•°•

Pintu kamar hotel tertutup perlahan di belakang ketika Leo melangkah masuk. Leo kemudian menjatuhkan tubuh ke kasur, satu tangan masih memegang kunci kamar, tangan lain mengusap wajah yang mulai kusam oleh sinar matahari Hawaii.

Ia menghela napas panjang.

"Dua hari muter-muter kayak orang bego..."

Hape-nya ia lempar ke kasur sebelah, namun belum sempat rebahan lebih lama, hape itu bergetar.

Panggilan dari Blake...

Leo mendesah. "Great timing..."

Ia mengangkat telepon itu dan menempelkannya ke telinga.

"Halo?"

"Leo!" suara Blake seketika menyambar, khas cowok fast-talking yang selalu multitasking. "Lo udah ketemu Kara?"

Leo duduk, satu tangan meremas tengkuknya. "Belum."

"Belum? Gila... ini udah hari kedua lo di Hawaii, bro."

"Lo pikir pulau ini kecil? Gue nyari kayak nyari jarum di tengah pasir pantai."

Di seberang, Blake terdengar menghela napas. "Gue kira lo udah punya petunjuk. Lo kan deket banget sama dia."

Leo menatap langit-langit kamar hotel. Lampu gantung kecil bergoyang lembut, bikin pikirannya makin runyam.

"Dulu iya, Blake. Tapi sekarang? Dia kayak ngilang. Hapenya udah nggak bisa dihubungi. Status WA-nya ilang. Foto profil ilang. Kayak gue diblok."

"Diblok?"

"Iya. Dan itu bukan hal biasa. Kara nggak pernah ngeblok gue, sekalipun dia lagi ngambek."

Blake terdiam sebentar, lalu suara gesekan kertas terdengar.

"Oke... gue ngerti. Tapi Leo, lo harus tetap cari dia. Ada kontrak konser Eropa nunggu. Dan Kara itu cuma mau denger dari orang yang dia percaya."

Leo menyipitkan mata. "Gue? Lo yakin masih bisa dibilang orang yang dia percaya?"

"Kalau bukan lo, siapa lagi? Manajer? Label? Wartawan? Kara butuh alasan buat balik ke dunia dia, dan lo mungkin satu-satunya alasan yang masih dia percaya."

Leo diam, tangannya mengusap perlahan dada telanjangnya. Ia terdiam beberapa detik sebelum menjawab, "Kalau gue ketemu dia, gue bakal kasih tahu."

"Thanks, bro. Gue beneran berharap lo berhasil. Lo tau sendiri, kalau dia beneran terima konser itu, dia bakal balik bersinar. Dan jujur aja, gue rindu cewek itu di atas panggung."

Leo tersenyum tipis. "Gue juga."

Kemudian telepon dimatikan.

Leo menatap layar hape yang kini gelap. "Masalahnya... Kara masih mau ditemuin atau enggak?"

Ia bangkit, melangkah ke balkon hotel dan menatap langit Hawaii yang mulai berubah oranye. Angin pantai membelai pelan rambutnya. Di kejauhan, suara ombak samar terdengar.

Tapi di kepala Leo, hanya ada satu suara. Suara Kara tertawa, jauh sebelum semua ini terasa asing.

Leo kini berdiri di balkon kamar hotel lantai dua, menghadap laut yang perlahan gelap. Langit oranye keunguan, garis cakrawala mulai ditelan senja. Angin pantai menyentuh kulit telanjang dada dan perutnya, celana panjang yang dikenakannya mulai terasa sempit di bawah.

Di kepalanya masih terngiang Kara. Selalu saja Kara.

Rambut cewek itu yang berantakan setelah mandi, bibirnya yang selalu basah setelah ngopi, dan yang paling gila, payudara Kara waktu telanjang di ranjang, napasnya naik turun, matanya mengerjap liar sambil minta disentuh. Bayangan itu semakin jelas dan semakin menyiksanya.

Leo meremas pinggiran balkon kuat-kuat.

"Nggak bisa gini terus."

Dengan cepat, ia melonggarkan celananya. Celana itu langsung ditarik ke bawah sampai lepas dari kakinya, dan jatuh begitu saja ke lantai balkon. Angin malam menyentuh kulit telanjang seluruh tubuhnya, terasa dingin. Tetapi sensasi itu malah membuat dirinya semakin bergairah.

Ia sekarang telanjang bulat sepenuhnya, tetap menghadap laut, tangan kirinya bertumpu di pinggiran balkon, tangan kanannya mulai bergerak pelan ke batang penisnya yang sudah keras sejak tadi. Ia memainkan kelaminnya sambil memejamkan mata.

"Ah... Kara..."

Tangannya naik turun, ritmenya makin cepat. Di kepalanya Kara mendesah, merintih, menggigit bibir, lalu membuka pahanya lebar-lebar di atas ranjang dengan selimut setengah terbuka. Leo membayangkan dirinya di antara paha Kara, menjilat, menekan, menubruk... dan Kara menjerit.

Napas Leo semakin cepat.

Tangan kanannya menggenggam erat penisnya, otot perutnya tegang, dan satu dengusan panjang keluar dari mulutnya.

"Aaahh-fuck-"

Sperma muncrat di atas lantai balkon, beberapa bahkan terciprat ke betisnya sendiri. Leo masih berdiri tegak, tubuhnya sedikit bergoyang, napas beratnya putus-putus.

Ia membuka mata perlahan.

Memandang laut lagi.

Satu tangan mengelap lelehan sperma di pahanya dengan tisu yang diambil dari saku celana.

"Lo gila, bro... gara-gara satu cewek bisa sampai telanjang bugil di balkon," ucapnya pada diri sendiri.

Leo tertawa kecil dengan perasaan pahit, lalu mengambil celananya dan masuk kembali ke kamar. Ia tak merasa lega, tapi juga tak menyesal.

Satu hal pasti, ia tak akan kembali ke Los Angeles sebelum menemukan Kara.

•°•°•°•°•

Kara Periwinkle (Katy Perry).


Zayan Hadeer (Orlando Bloom).

Leo Wen Zelong.

•°•°•°•°•

Oke, sebelum lanjut bab selanjutnya, jangan lupa kasih vote ya beb. Bagaimana bab ini? Komen dong!

Continue Reading

You'll Also Like

517 121 8
Ubur-ubur ikan lele, mampir dulu lee.. Apa rasanya saat seseorang yang dulu kamu anggap segalanya, perlahan berubah jadi orang asing? Alea tahu rasan...
1.8K 321 5
#darkromance_story 鈥嶤harusella Casea tak pernah merasa bahwa hidupnya berharga sehingga dia tidak memedulikan nyawanya yang hampir kembali ke tangan...
63.1K 3K 31
鈿狅笍Peringatan鈿狅笍 Cerita ini mengandung tema dan adegan yang bersifat emosional dan intens, yang mungkin tidak cocok untuk semua pembaca. Harap membaca...
571 131 17
"Gue suka lo." Asha terdiam. Maniknya menatap laki-laki di hadapannya dengan napas tercekat. Hujan rintik-rintik membasahi trotoar, suara kendaraan d...