Penyesalan
.
.
.
"Hyung, tulisan di cermin kamar mandi itu bukanlah kekonyolan semata yang ditulis orang gila."
"Bagaimana bisa? Apa artinya kalau begitu?"
"Itu adalah pesan peringatan, Hyung."
"Aku tidak mengerti ... apa itu artinya ... kita sedang dalam bahaya?"
"Bukan kita, tapi ... Jimin. Penjahat itu ingin merenggut Jimin dari kita!"
-oOo-
Seokjin adalah yang pertama merasa begitu terpukul ketika mendengar tuturan Yoongi semalam.
Usai mengetahui niat busuk di balik tulisan berdarah yang memenuhi cermin kamar mandinya, benak Seokjin malah dipenuhi semacam perasaan takut yang membuatnya tak bisa tidur semalaman. Rasanya dia ingin sekali memberontak dan berteriak, melepas degup kemarahan yang mencengkeram jiwanya kepada siapapun keparat yang bersembunyi di balik semua insiden ini, tetapi dia sadar kalau pikiran itu hanya akan tersimpan di angan saja selama pelakunya belum ketemu.
Seokjin pikir, hal terbaik yang bisa dia lakukan sekarang adalah melindungi Jimin dengan pengawasan ekstra. Maka bukanlah tanpa alasan bila seharian ini Seokjin selalu menguntit Jimin kemanapun dia pergi, menanyakan kabar setiap satu jamnya, dan sebisa mungkin tidak membebani Jimin―termasuk dengan melarangnya membantu orang lain sekalipun. Karena celah sekecil apapun tetaplah berarti sebuah kesempatan, bahaya yang mengintai mereka bisa muncul kapan dan di mana saja.
Bahkan barangkali bisa terjadi sekarang, ketika yang dicemaskan Seokjin benar-benar terjadi.
"Sialan!"
Lagi-lagi Seokjin mengumpat. Tangannya yang penuh keringat karena digigiti oleh kecemasan dia usapkan pada celana yang dikenakannya. Seokjin membanting pintu ruang latihan dengan suara gebrak keras dan berlari keluar dengan langkah terburu.
Salahkan Jimin yang tiba-tiba saja menghilang tanpa kabar. Padahal, para anggota timnya baru saja mengalihkan perhatian dari bocah itu barang sejenak. Ketika pelatih mereka selesai memberikan arahan, niat Seokjin yang hendak menawari minuman pada Jimin (untuk kesekian puluh kalinya dalam hari ini) harus gagal karena mendapati kursi anak itu yang kosong, bahkan jaket dan topinya juga lenyap.
Dan jauh lebih buruk lagi, ponsel Jimin yang seharusnya menjadi barang wajib bawaannya justru teronggok begitu saja di bawah kursi.
"Aku bahkan sudah memberitahunya ratusan kali agar tidak pergi keluar sendiri!" mata Seokjin berkilat tidak terima, memancing kegusaran member lainnya yang merasa bodoh sendiri karena berhasil dikecoh Jimin.
Yoongi di sebelahnya menyahut dengan tegang, "Apa dia tidak tahu kalau hidupnya sekarang benar-benar dalam bahaya?"
"Mana tahu dia? Kita kan memang sengaja merahasiakan soal itu!" berang Seokjin sebelum menendang udara kosong di depannya dengan frustasi. Dia tidak tahu siapa yang paling patut untuk disalahkan untuk kekacauan ini; para member yang merahasiakan berita semalam dari Jimin, atau anak itu sendiri yang kabur entah kemana karena risih dengan perlakuan mereka yang overprotective. Karena baik keduanya memiliki maksud, dan sifat alami manusia yang kurang bisa mengadili sebuah keputusan lahir di tengah-tengah pilihan itu. "Tidak bisa diam saja, ini sudah hampir duajam dan Jimin masih belum kembali. Apa kita perlu lapor Hyung-nim?"
"Bukan ide bagus," kata Namjoon. "Kalian tahu siapa yang kena marah kalau Hyung-nim tahu apa yang terjadi."
"Ah, apa dia pergi ke kedai minuman di dekat agensi?" gagas Jungkook seraya melempar pandang ke jalanan lenggang di luar jendela. "Baru ingat! Sepertinya tadi dia bergumam di belakangku kalau tenggorokannya kering."
Seokjin dan yang lain tentu saja mengamini pendapat Jungkook. Mereka tak bisa lagi berpikir tentang kemungkinan kemana Jimin pergi ketika seluruh tempat di dalam gedung itu telah disusuri. Taehyung dan Jungkook memberikan laporan kalau seluruh toilet yang bisa mereka temukan di gedung agensi sama sekali kosong. Begitu pula dengan trio rappers yang tak menemukan jejak Jimin di studio ataupun ruang staf. Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah café di persimpangan jalan depan yang selalu mereka kunjungi bila senggang tiba.
Dan sekarang, di sinilah Seokjin berada. Mengambil langkah lebih cepat dari yang lainnya, Seokjin telah menjejakkan kakinya di salah satu petak lantai kedai yang mengkilat. Kepalanya langsung berpaling meneliti wajah-wajah yang berada di dalamnya―kelompok-kelompok yang sedang berdiskusi di meja-meja café, orang-orang berseragam pelayan yang mondar-mandir, barisan pembeli yang sedang mengantri di loket pemesanan ....
Tetapi di antara mereka tidak ada Jimin ....
Merasa masih belum cukup, Seokjin langsung membawa langkahnya ke dalam bilik toilet, mengintip setiap celah di bawah pintu, berharap setengah mati melihat sepatu kets merah Jimin yang hari ini dia kenakan. Namun ketika tak ada tanda-tanda apapun dari anak itu, akhirnya dia keluar dengan langkah lesu.
Pikiran Seokjin yang tak mau tenang mulai meracau. Rasanya dia nyaris bisa membayangkan Jimin yang kini sedang menangis memohon pertolongan, entah di mana. Dia merasa gagal ketika kini tak ada lagi yang tersisa dari keberadaan Jimin selain ponselnya yang dia genggam. Dan tepat ketika langkah pasrahnya membawa Seokjin menjejak aspal, hatinya jauh lebih pedih lagi tatkala melihat Yoongi berdiri di sana, di depannya, menatap dirinya dengan sorot penasaran yang begitu menusuk.
"Hyung, kau menemukan Jimin?" tanyanya dengan sedih. Terdengar nada putus asa di dalam suaranya, dan Seokjin, tanpa harus berusaha untuk memahami, bisa ikut merasakan letupan emosi yang kini sedang mengguncang Yoongi.
Tetes-tetes air dari arak awan pada akhirnya jatuh membumi, tetapi Seokjin memilih untuk bergeming saja di sana, memandang balik Yoongi dengan ekspresi kosong, seakan-akan dengan cara itu jawabannya bisa tersampaikan.
-oOo-
Jimin menangkup sebuah cangkir putih dengan kedua tangannya walau kehangatan kopi di dalamnya telah larut bersama dengan udara yang beku. Di antara keheningan yang mengalir, matanya tak henti menatap titik entah di bawah balkon, lalu tetes air hujan mulai jatuh membasahi birai pagar kayu di hadapannya dan memercik kulitnya, secara ajaib menyadarkannya dari lamunan.
Dua jam yang lalu, Mijin membawanya ke sebuah toko kue yang berada di pinggir jalan lenggang di daerah Byongsan, jauh dari pemukiman penduduk kota Gangnam. Jimin tak pernah melihat bangunan ini sebelumnya (sebenarnya itu karena ia tak pernah tahu), dan seketika beban pikirannya langsung lenyap digerus oleh perhatian barunya terhadap tempat ini. Dia menyukai ketika indera penciumannya disambut oleh aroma manis roti saat pertama kali masuk ke dalamnya, dan bagaimana dekorasi mebel era abad kedelapan belas serta tembok bata putih yang berdiri di sekelilingnya menyamarkan pendar modernisasi Seoul di luar sana.
Kini Jimin berada di balkon, memesan sepiring kudapan kue teh hijau dan kopi hitam, selagi gerimis halus turun dan semakin membuatnya merinding oleh rasa dingin. Setelah berdiri lama menikmati pemandangan balkon, Jimin membalikkan tubuh dan menghampiri Mijin, yang duduk di salah satu meja pesanan sambil menyibukkan diri mengetik berkas pekerjaan di laptopnya. Dengan tampang serius, Mijin menghentikan kegiatannya sejenak, lalu beralih menyesap coklat dari cangkirnya sebelum bersinggungan mata dengan Jimin.
"Dari tadi kau melamun terus di pinggir balkon," katanya ketika Jimin menarik kursi di dekat Mijin dan duduk di atasnya. "Apa kau sedang ada masalah?"
"Tidak ada," jawab Jimin, dalam hati meyakinkan dirinya bahwa dia tak perlu memberitahu Mijin tentang persoalannya. Kalau Mijin tahu di mana seharusnya dia berada saat ini, Noona-nya pasti akan marah. Maka sebelum wanita itu berdecak sesuatu untuk melanjutkan pembicaraan, Jimin cepat-cepat mengalihkan topik. "Noona merekomendasikan tempat yang bagus. Aku akan ajak yang lain datang ke sini kapan-kapan." Dia berkata dengan ceria.
Jimin bisa melihat betapa Mijin senang mendengar komentarnya.
"Yah, tempat ini memang sudah jadi favoritku dari dulu," kata Mijin, tersenyum simpul. "Pemandangannya dari atas sini sayang untuk dilewatkan. Kuenya juga enak, bikin ketagihan."
"Pedesaan, kan," sahut Jimin bersemangat, lalu berpaling memandang wilayah kejauhan yang terhampar di balik balkon. Kabut terang bercahaya mengecup kulitnya yang menengadah. "Aku bisa melihat perkebunan teh dari atas sini, memang indah dan sejuk, tetapi sayang sekali hari ini sedang gerimis ...." Jimin berkata dengan nada menggantung, selagi sebuah pemikiran melintas di benaknya ketika dia melihat tetes hujan yang jatuh menyentuh birai pagar balkon.
"Noona."
Mijin mendongak. "Ya?"
"Ini daerah Byongsan, 'kan?" tanya Jimin, lalu yakin dengan ingatan yang mengisi memorinya kemarin pagi. "Bukankah kau bilang nona Gong Joo juga tinggal di dekat sini?"
"Ah, ingat juga rupanya," kata Mijin, lalu tangannya terulur menunjuk sesuatu di belakang kepala Jimin. "Tidak dekat, sih. Kau harus sedikit naik lagi ke atas sana. Rumahnya berdiri di tanah kosong perbukitan yang menghadap desa. Besar sekali, seperti istana. Sayang sekali di tempat seperti itu dia hanya tinggal seorang diri."
Jimin kemudian mengerutkan alisnya. Menerima informasi semacam itu membuatnya bertanya-tanya tentang sesuatu mengenai Gong Joo. Dia ingat bagaimana kesan pertama yang ditinggalkan Gong Joo membuat para member bergidik karena penampilannya yang lusuh dan ... mengerikan. Apa yang seperti itu adalah seorang kaya yang tinggal di sebuah rumah seperti istana? Jimin tentu tak bermaksud merendahkan. Tetapi sebuah fakta yang memburamkan persepsi seringkali memancing tanda tanya, seperti saat ini.
"Apakah dia orang kaya?" tanya Jimin, yang mengundang delikan terkejut dari Mijin. Selepasnya Jimin langsung merasa malu. Kenapa dirinya jadi mirip seperti Yoongi Hyung yang berbicara secara terang-terangan, sih?
"Hmm, bisa dibilang begitu," jawab Mijin. "Tapi sepertinya Gong Joo bukan tipe yang menghabiskan hartanya untuk belanja. Aku tidak tahu di mana dia menyimpan atau bagaimana dia menghabiskan uangnya, yang pasti semua itu tidak bermuara pada pengeluaran pakaian yang dikenakannya." Mijin mengerling pada Jimin dan tertawa. "Kau tahu maksudku, 'kan?"
Jimin ingin sekali menjawab, 'Benar, dari penampilannya, dia seperti seseorang yang kabur dari rumah sakit jiwa.' Tapi tidak jadi.
"Aku tidak bisa menebak karakternya. Noona kan tahu bagaimana kesan pertama kami ketika melihatnya," kata Jimin, menganggukan kepala dengan yakin. "Kecuali dia seorang otaku―penggemar anime Jepang, aku akan percaya kalau dia berpakaian seperti itu untuk menghadiri acara cosplay,"
"Seleranya memang beda dari yang lain," kata Mijin, membenarkan tanggapan Jimin. "Aku tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, tetapi Gong Joo sepertinya sudah tidak peduli dengan pendapat orang-orang di sekelilingnya."
"Apakah ada sesuatu yang terjadi kepadanya?" Jimin bertanya.
"Yah, begitulah," jawab Mijin pendek. "Akhir-akhir ini Gong Joo sulit sekali dinasehati. Dia melakukan apa yang disukainya dan tidak mau mendengarkan aku."
"Oh, memangnya apa yang Nona Gong Joo suka sampai-sampai tidak mendengarkan nasehat Noona?" tanya Jimin.
Mijin mulanya bergeming, kelihatan ragu. Dia menatap ke dalam mata Jimin dan sangsi hendak membicarakannya atau tidak.
Pada akhirnya Mijin menjawab, "Dia sepertinya sedang tertarik pada ilmu nujum."
Lalu Jimin menaikkan alisnya, "Hah? Ilmu nu―Apa?"
Tahu-tahu ponsel Mijin yang diletakkan di atas meja berdering. Jimin secara spontan menjeda pertanyaannya, sementara Mijin langsung berdiri, menyela permisi kepada Jimin dan menarik diri untuk pergi ke ruangan di balik dinding teras balkon. Tampaknya wanita itu menerima panggilan dari seseorang. Jimin menggelengkan kepalanya, memaklumi, lalu kembali menikmati suasana café sembari mengudap kue.
Tidak lama selepas Jimin duduk seorang diri, Mijin muncul lagi dari balik ruangan balkon. Dengan tampang panik bercampur marah, wanita itu menghampiri Jimin. Dia bisa melihat ketajaman mata Noona-nya yang seakan siap menusuk siapapun yang menatapnya, lalu merasa ini bukanlah saat yang tepat untuk menduga bahwa wanita itu tengah bersenda gurau. Tiba-tiba saja Jimin tahu ke mana sebab perubahan ekspresi tersebut bermuara.
"Kau sedang kabur dari agensi, 'kan?" Mijin mengatakannya dengan panas.
Dan Jimin langsung membeku di tempat duduknya.
"Jawab aku, Jim!"
"I―itu ... aku tidak―"
Mijin langsung menghambur duduk di tempatnya dengan kasar, menarik napas dalam-dalam dan mengusap wajahnya seakan dia sudah melalui hari yang begitu berat dan melelahkan. Seketika Jimin merasa ketakutan mencekiknya pelan, membuatnya tidak nyaman dengan perubahan sikap Mijin.
"Manajermu meneleponku, suruh aku pergi ke dorm untuk mengecek kalau kau ada di sana. Dia bilang sudah dari tadi kau tiba-tiba menghilang setelah sesi latihan dan tidak kembali," kata Mijin, bergerak gelisah dengan menyisipkan anak rambutnya ke balik telinga. "Kenapa kau tidak menghubungi mereka kalau sedang bersamaku?"
"Ponselku ketinggalan!" sergah Jimin.
"Kau 'kan bisa pinjam ponselku!" sambar Mijin dengan emosi. Dia menatap Jimin dengan sorot nyalang, kemudian menambahkan dengan marah. "Itu artinya kau memang tidak ada niat untuk menghubungi mereka, 'kan? Kau memang sengaja kabur dari para member yang lain, 'kan?"
Jimin menunduk dengan perasaan kesal. Dia tak bisa menjelaskan rasa sakit di dadanya yang mendadak muncul ketika Mijin menyeretnya pada memori beberapa jam yang lalu. Para Hyung, Taehyung, bahkan Jungkook yang lebih muda darinya menatapnya begitu iba, seakan-akan dia sangat lemah dan bisa mati kapan saja. Jimin hanya merasa risih dengan perlakukan mereka, walau mungkin terasa salah untuk bersikap agak egois dengan tidak menghubungi mereka, tapi apakah sikap Jimin sudah cukup kelewatan?
"Sebaiknya kita pulang sekarang," cetus Mijin, seraya menyesap tegukan terakhir coklatnya sebelum mulai membereskan berkas-berkas pekerjaan di meja.
Jimin langsung berceletuk, "Mereka terlalu berlebihan!"
Mijin menghentikan aktivitasnya. Ditatapnya wajah Jimin yang sedikit menunduk, menuntut tatapan mata dari sorot kelamnya, namun tahu kalau perasaan Jimin yang sekarang terlalu rapuh untuk sekedar menatapnya balik.
"Aku tahu semuanya khawatir padaku karena insiden pembobolan keparat itu! Karena tulisan bernada ancaman yang ditujukan untukku!" Jimin menyentak dengan tajam.
Mijin melotot pada Jimin tanpa berkata apa-apa.
"Padahal peristiwa itu sudah berlalu cukup lama," kata Jimin, tak berusaha mengurasi emosi dalam suaranya. "Tetapi mengapa mereka masih saja cemas dengan hal itu, sementara kepolisian bahkan sudah tidak mengusut kasus itu lagi? Seharian ini mereka bertingkah menyebalkan, menguntit kemanapun aku pergi dan menanyakan keadaanku tiap sejam sekali. Apa itu perlu? Apa mereka ingin aku terus merasa takut karena ancaman itu? Aku hanya ingin merasa tenang dan menjalani kehidupan seperti biasa!"
Jimin merasa pening dengan semua memori yang tiba-tiba berkumpul di dalam kepalanya, seolah-olah ledakan kemarahan membawa kembali ingatan buruk Jimin yang selama ini sudah mati-matian dia lupakan. Dia bahkan sempat mengingat kata-kata Jungkook yang memintanya untuk tetap tenang dan tidak memikirkan insiden itu terlalu dalam. Tetapi apa yang dia dapat sekarang? Jungkook bahkan menjadi salah satu di antara orang-orang yang memandangnya iba, seakan-akan perbincangan dengannya beberapa hari yang lalu tak ada artinya.
"Jimin-aa," ujar Mijin dengan lembut. Dia menyentuh tangan Jimin yang terkepal erat, berusaha menenangkan emosinya. "Polisi yang tidak memberikan keterangan lebih lanjut bukan berarti mengumumkan kalau kasusnya sudah selesai. Itu artinya mereka masih belum bisa memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Sebab itulah semuanya berusaha sebaik mungkin melindungimu."
"Aku hanya merasa kalau semua ini berlebihan," kata Jimin, tanpa mau menatap Mijin.
"Tak ada salahnya menerima perhatian dari orang lain, Jim," kata Mijin.
"Tapi mereka membuat ketakutanku makin parah!"
"Kalau kau yang ada di posisi mereka, melihat salah satu temanmu mengalami kejadian buruk, apakah kau akan diam saja saat tahu bahaya mungkin saja sedang menunggunya di depan sana?" Mijin bertanya dengan tegas.
"Tentu saja tidak," jawab Jimin secara spontan.
Mijin memutuskan untuk bergeming selagi menatap lurus pada Jimin, membiarkan pemuda itu larut dalam jawaban penuh ketekatannya.
Sementara Jimin mendadak terdiam. Tiba-tiba saja, bayangan Yoongi memenuhi benaknya. Terakhir kali berpisah, dirinya sedang bertengkar. Jimin menyadari kalau seharian ini dia tak berbicara pada Yoongi, dan rasanya sulit untuk menepis kenyataan bahwa dia sedang dilanda rasa bersalah karena sudah bersikap cetus kepadanya. Jimin paham betul sifat Yoongi yang sebenarnya lembut dan perhatian. Walau tampak tak peduli, tapi untuk sikapnya yang kali ini kelewatan, Yoongi pasti sudah tak bisa lagi menyembunyikan raut datarnya. Dia pasti khawatir setengah mati dengan dirinya ....
Dan hal yang sama juga pasti tengah dirasakan member yang lain.
Jimin meratap penuh sesal ke dalam dirinya. Dia menatap cangkir kopi di depannya dengan merana, merasa begitu bodoh dan sedih sekali. Apa yang sudah kulakukan sejauh ini? Pikir Jimin, ketika Mijin berdiri lagi dari kursi dan mencondongkan tubuh untuk menyentuh bahunya. Dia bertanya-tanya kemarahan macam apa yang akan dia dapatkan ketika pulang nanti.
"Ayo kita pulang, Jim." Mijin bergumam sambil mengisyaratkan Jimin untuk ikut berdiri.
-oOo-
Sore itu Jimin kembali, di tengah gerimis yang masih turun, dia memencet bel pintu dorm dengan perasaan takut bercampur gelisah.
"Maafkan aku," kata Jimin dengan menderita. Suaranya nyaris teredam guyuran hujan di luar sana. Di hadapannya, Yoongi memandanginya beberapa saat, kemudian tangan pucatnya terulur melingkari bahu Jimin, mendorongnya ke depan, hingga tubuh keduanya merapat dalam pelukan.
"Kau membuat kami khawatir," kata Yoongi lirih.
Jimin merasakan embusan napas panas di belakang telinganya, dan dia merasa begitu sedih dan bahagia pada waktu bersamaan. Ketika suara penuh rasa syukur terdengar dari mulut Yoongi, Jimin tak bisa lagi merasa menyesal lebih dari ini. Dia tak bisa menyembunyikan seberkas kerinduan dari emosi hangat yang menyeruak masuk menembus tubuhnya, seakan-akan pelukan Yoongi menyalurkannya dengan begitu lembut, hingga Jimin bisa merasakan matanya memanas.
"Aku yang salah, Hyung," kata Jimin. "Aku benar-benar minta maaf." Jimin merasakan air matanya menetes melewati pipinya.
"Ssst, sudah, tidak apa-apa," kata Yoongi dengan lembut, ketika dia membelai rambut pirang Jimin dan melepaskan pelukannya.
"Kau seperti babi kalau menangis," ledeknya.
Jimin tak bisa menahan dengus tawanya.
"Aku sedang serius, Hyung!" rengeknya dengan agak kesal. Meski begitu dia merasa begitu tenang melihat sikap Yoongi yang seperti biasa. Jimin pikir kecerobohannya akan membawa kemarahan para member yang mungkin saja akan berteriak penuh emosi di mukanya, atau paling tidak mereka akan mendiamkan Jimin selama beberapa hari. Tapi, seakan-akan semua itu salah, ketika Jimin menghambur masuk ke dalam rumah, dia langsung disambut pekikan riuh yang lain.
"Kau datang juga akhirnya, Chim!" Namjoon memukul bahu Jimin dengan keras, hingga anak itu mengernyit kesakitan."Balasan karena sudah membuat kami khawatir," katanya sebelum memeluk Jimin dengan cara bersahabat.
Begitu juga dengan Taehyung yang mengusak rambut Jimin dengan gemas, kemudian mengambur memeluknya dan berteriak tepat di depan kupingnya; "Jangan bikin kami cemas lagi, Bangsat!" lalu ia terkekeh sambil menendang bokong Jimin dengan bergurau.
"Jimin-ssi, kukira kau sudah diculik oleh penjahat itu!" kata Jungkook, tak kuasa menahan raut riangnya melihat Jimin yang pulang dalam keadaan selamat. Hoseok yang ada di sampingnya setengah melirik Jungkook, lalu tanpa diketahui Jimin ia mencubit pinggang Jungkook hingga mengundang pekikan perih dari mulutnya.
Dan Hoseok langsung berkilah dari serangan balik Jungkook dengan mengapit bahu Jimin. "Apa yang harus kau lakukan untuk menebus kesalahanmu, Bocah!" katanya sambil mencubit dada Jimin dengan main-main.
"Ya, ya, Hyung―awwh―aku minta maaf ... tak akan kuulangi lagi―aduh, ampun!" Jimin berjingkat kesakitan sambil tertawa geli karena Hoseok dan Jungkook menghujaninya dengan cubitan.
"Jimin-aa!"
Jimin berhenti bergurau, lantas memandang Seokjin yang berdiri beberapa meter di depannya. Dan, berbeda dari yang lain, Hyung-nya yang satu ini memasang tampang dingin, seakan-akan itu berarti sebuah bencana yang baru bagi Jimin. Seokjin memajukan langkahnya hingga tubuh keduanya hanya berjarak tiga puluh senti, kemudian berkata dengan nada hampa.
"Apa yang kau bawa itu?"
Jimin setengah mendelik, lalu pandangannya turun ke bawah, melihat sebuah bingkisan kue yang menggantung di lengannya.
"Ah, ini untuk kalian," katanya sambil mengulurkan bungkusan itu ke hadapan Seokjin. "Tadi aku pergi bersama Mijin Noona. Dia bilang kue-kue ini akan cukup untuk menebus kesalahannya karena sudah membawaku pergi tanpa ijin kalian."
Kemudian Seokjin langsung meraih bungkusan itu dan menaruhnya di atas meja terdekat, lalu menghapus jarak di antara keduanya, dia lantas meraih tubuh Jimin dan menariknya dalam pelukan.
"Jangan membawa-bawa Noona dalam masalah ini. Jelas-jelas kau sendiri kan yang kabur dari kami," katanya lembut, lalu langsung mengeratkan pelukannya di bahu Jimin, membuat Jimin sesak dan merasa bahagia. Ternyata Seokjin tak marah kepadanya.
"Hyung, aku minta ma―AAAWHH HYUNG!"
Dan dia baru saja salah menebak.
"Kau, beraninya mempermainkan kami ... tak tahu ya betapa cemasnya kami menunggumu di sini sementara kau malah enak-enakan pergi bersama Noona dan melupakan kami ...," Seokjin memelintir kulit kedua belah pantat Jimin dengan keras, membuat si empunya mengaduh kesakitan sampai wajahnya memerah dan matanya memanas lagi. Member di sekelilingnya rupanya sama sekali tak mempermasalahkan pekikan Jimin yang begitu kesakitan. Mereka menganggapnya sebagai komedi gratis dan malah tergelak puas menontonnya.
Sore itu menjadi sore terpanjang dan penuh rasa sakit yang dilalui Jimin, terutama setelah menerima bekas cubitan keunguan di bokongnya, dia harus menahan mati-matian untuk tidak menghempaskan tubuhnya begitu saja saat duduk di manapun.[]
a/n
Jadi, bagaimana perasaan kalian setelah membaca chap ini? Nah, share tanggapan kalian yaah :)
Aku bikinnya dengan perasaan campur aduk. Di awal sedih menye2, kebelakangnya makin geli sendiri 😂
[edited]
3100+ words, astogeh ini rekor pertama aku pas dulu nyelesaiin chap ini 😁
Moga semuanya yg baca bisa menghargai jerih payah aku ya^^ Yuk lah vote dan komen2 receh, meski wp akhir2 ini gaenak dijadiin temen, atau mungkin dari kalian yg juga penulis ff mulai bosen sama wp (samaaaa, aku jugaa) but, still, jangan tinggalin dunia ini begitu aja. Terutama kalo kalian nemuin banyak kenangan baik di dalamnya :") mari sama2 pertahanin wp!!!
Spoiler buat next chap: "bencana mulai datang"