#2: Wawancara Bersama Kesayangan Mika; Mikana, oleh Matt (dengan Meminjam Kamera Seth)
Gue gak mau banyak prolog, jadi, begini ceritanya. Seminggu yang lalu, saat gue lagi cuti tahunan jadi pilot, Seth dateng ke rumah gue, membawa kamera digitalnya yang katanya sih, berharga, lalu meminta gue satu hal. Tiba-tiba, Seth ingin gue mewawancarai anaknya Mika, Mikana, tanya-tanyanya ya seputar kita berenam di mata anak itu. Sebenernya, gue gak tau kenapa dia dapet ide kayak gitu. Oh, iya, yang belum tahu Mikana, dia adalah anak dari perkawinan silang antara Mika dan Luna. Anaknya sih baik dan genuinely pintar seperti ibunya (enggak mungkin seperti Mika, tentunya), tapi, gue gak suka karena Mikana hampir sama seperti Mika—kalau enggak nyaman dikit, merengeknya sampai tujuh turunan gak selesai-selesai. Seth tetap memaksa gue untuk melakukan tugas suci ini, karena sejauh ini yang dekat dengan Mikana adalah gue (Karena Juna, Julian, dan Alvaro takut pada Mikana sejak perempuan itu menunjuk-nunjuk ruangan kosong di rumah Alvaro). Maka, hari ini, setelah gue mempersiapkan mental sekuat baja, gue pun pergi ke rumah Mika dan menculik—eh, membawa, Mikana menuju salah satu mall dekat rumahnya.
Gue menyalakan kamera digital dan langsung menyorot Mikana. Perempuan kecil berambut ikal cokelat itu melihat kamera sambil tersenyum lebar, sehingga garis matanya ikut tersenyum. Sisa es krim yang sedang ia santap—bentuk dari 'penyuapan' ala Matt—ada di giginya, dan gue berusaha untuk menahan ketawa karena hal itu.
"Oke, Om mulai, ya," ucap gue tetap mempertahankan kamera menyorot Mikana, karena astaga, bocah itu lebih cepat bergerak dibanding Bary Allen. "Menurut Mikana, temen-temen Ayah Mika gimana?"
Mikana sibuk menjilat es krimnya.
"Mikana?"
Mikana menoleh. "Om, beliin lagi dong, es klimnya yang lasa stobeli."
Sabar, Matt. Sabar. Tenangkan jiwa lo.
"Oh, iya, nanti ya. Jawab pertanyaan Om dulu," gue berusaha tersenyum semanis mungkin seraya memikirkan bahwa ini adalah Tasya, tapi tetep aja, dibanding Tasya, Mikana lebih parah rengekannya. "Jadi, Ayah Mika dan temen-temennya itu gimana? Om Juna, Om Matt, Om Julian, Om Seth, dan Uncle Alvaro?"
Mikana menaikkan alis, kemudian menurunkannya, sambil menatap ke arah gue. "Mereka berisik kayak anak kecil," tanpa kita sadari ngomongnya udah gak cadel lagi. "Mereka suka gangguin Mikana kalo lagi bobok. Mikana pernah nangis gara-gara Om Seth deketin kaki baunya ke mulut Mikana. Om Julian pernah bentak Mikana pas robekin bukunya. Terus, Uncle Alvaro bikin Mikana kesel karena cuma Mikana yang gak dikasih kado. Dan yang paling ngeselin, Om Juna pernah ngelempar bola basket ke kepala Mikana, katanya gak sengaja, tapi kan, Mikana pusing jadinya. Kalo Om Matt," Mikana berpikir sebentar, lalu nyengir. "Om Matt baik, tapi irit ngomongnya, Mikana jadi capek."
Dibanding kebejatan mereka berempat, yah, gue lebih baik. Bayangkan Juna, seorang bapak-bapak kepala empat melempar bola basket ke arah anak kecil tidak berdosa. Setidaknya gue gak sebejat itu.
"Om Matt! Liat itu ada bulung antu!! Fotoin Mikana ama bulung antuuu," ucapnya bersemangat ketika melihat burung hantu yang dipamerkan pada festival di mall ini.
Burung hantu itu ditaro di atas lengan pawangnya. Satu kakinya digembok ke tangan si pawang, biar gak kabur, kayaknya. Sebenernya, yang bikin gue takut adalah mata si burung hantu bener-bener mengintimidasi. Jangan-jangan, dia adalah burung hantu hantu yang bisa membahayakan nyawa Mikana—oke, Matt, sebenernya lo cuma takut, akuin itu, deh.
"Em...," gue melihat sekitar lebih jelas lagi. Semoga ada yang menarik daripada burung hantu, semoga ada—nah! "Mikana mau naik jungkat-jungkit, gak? Itu ada taman bermain di sana."
Gue menyorot wajah Mikana yang kini cemberut, kesal. "Jungkat-jungkit itu mainan anak-anak!" Lahhh? Situ kan juga anak-anak! "Pokoknya Mikana mau bulung antu!"
"Mau es klim aja, gak?" tawar gue sambil tersenyum kecil.
Mikana menyipit curiga. "Om Matt takut ama bulung antu, ya?!"
"Bukannya takut, Om Matt cuma gak mau kamu dipatok sama bulung antunya," ucap gue yang sepenuhnya enggak salah.
Mikana cemberut dan menyilangkan kedua tangannya di dada. "Itu berarti, Om Matt takut!!"
"Ya udah, terserah," ungkap gue sambil menghela napas dan menggiring Mikana ke tempat pawangnya.
Mikana langsung berpose ceria di samping burung hantu sementara gue mengambil gambarnya ya lewat video juga, jadi praktis. "Oke, satu... dua... tiga... sip!"
Bukannya pergi dari pawang sesegera mungkin, Mikana malah mengangkat tangannya ke arah burung hantu. Mungkin niatnya ingin mengelus. Namun seperti yang gue duga, burung hantu itu mematuk punggung tangan Mikana, membuat bocah itu memekik kaget dan mundur ke belakang. Si pawang tampak bersalah karena tidak berhasil mencegahnya dan berusaha menenangkan Mikana.
Gue menghela napas.
***
"Masih sakit, gak?" tanya gue, sambil menyorot Mikana dengan kamera Seth.
Mikana mengusap ujung matanya, masih menangis melihat tangannya yang luka karena dicubit burung hantu. Dia meniup-niup lukanya yang sudah gue obati seperti tiupannya itu bisa menyembuhkan.
"Kenapa ditiup-tiup?" tanya gue.
Mikana kini menoleh sekilas, lalu sibuk meniup lagi. "Kata Om Juna, kalo luka halus ditiup. Pas kepala Mikana benjol gala-gala bola, Om Juna niup-niup kepala Mikana."
Gue mengangguk-angguk, meski sebenernya bengong karena ajaran Juna yang tidak berfaedah.
Kami duduk santai di salah satu bangku mall, dekat dengan jajaran outlet baju. Mikana anak yang kuat, dia menahan tangisnya dan meringis kecil. Gue sebenernya pengen ngajak Mikana pulang, tapi mukanya sangat lucu dan perlu direkam. Lagipula, Mikana sendiri yang tetep keras kepala ingin di sini. Jadilah gue membuat 'kejutan kecil' untuknya. Mungkin mereka dateng sekitar... setengah jam lagi?
"Halo, anak Papa!" seruan itu membuat gue dan Mikana lantas menoleh. Ee copot e copot copot. Kok cepet banget ya?
Di sana, Mika nyengir super lebar ke arah Mikana, membuat bocah itu memekik dan langsung bersiap mode 'koala'. Yaitu, mengalungkan lengannya di leher sang objek, Papa Mika. Gue langsung menyorot wajah Mika yang super senang karena dipeluk anaknya.
"Huhuhuhu, atit, Pap," ungkap Mikana, mengadu soal cubitan burung hantu.
"Ahhh, ini mah kecil! Diobatin pake betadine juga udah sembuh," ujar si Papa Mika sambil mengacungkan jempolnya. "Mikana kan anak jagoan!"
Ah. Gue suka cara Mika ngasih tau Mikana kalo cubitan burung hantu itu masalah kecil yang bisa diselesaikan. Mikana bisa jadi pribadi yang gak mengeluh dan kuat. Gue menyorot Mikana dan lihat, bocah itu mengangguk sambil menahan isak tangisnya, bibirnya jadi mendelep, lucu banget. Dia lagi nyoba tegar!
"Cieee, Om Matt sama Dedek Mikana lagi jalan bareng! Gak ngajak-ngajak," suara Seth membuat gue tercengang setengah mati. Gue langsung mengarahkan kamera ke wajah tengilnya.
Ini... ini... sudah direncanakan! Kalo gitu, kenapa gue doang yang seolah-olah orang luar di sini???
"Om Seth!" seru Mikana sambil nyengir lebar, lupa semua sakitnya.
"Ada Om Jul-Jul juga!" tiba-tiba, Julian juga muncul bersamaan dengan Juna dan Alvaro.
Juna membawa Aslan bersamanya, sementara Alvaro sendiri. Dan kalian semua tahu, kalau ada enam bapak-bapak dan satu laki-laki muda, siapa yang akan Mikana pilih. Tentu saja, bocah itu meminta dilepas dari pelukan papanya dan berlari ke arah Aslan.
"Gendong! Gendong!" seru Mikana jenaka.
Aslan yang sekarang duduk di bangku SMP tersenyum dan menggendong Mikana. Gue menyorot mereka sambil tertawa dalam hati. Awas aja kalo Mikana udah gede dan lihat betapa manjanya dia sama Aslan, pasti malu banget, hahaha!
"Gak laku kita mah," ungkap Juna sambil tertawa geli.
"Kok lo semua di sini?" gue berbisik ke arah Seth yang ikut tertawa melihat Mikana.
"Kenapa juga kita gak di sini?" tanya Seth balik, dengan senyum menyebalkannya.
Astaga. Sejak kapan sih, Seth bisa lebih nyebelin dibanding Alvaro? Belajar dari mana, coba?
Dan kenapa gue gak ada 'bayangan' sama sekali kalo mereka bakal ke sini?
***
Akhirnya, kita ber... berapa, ya? Berenam ditambah Mikana dan Aslan, kita akhirnya ke restoran sunda untuk makan siang. Kami tentu saja duduk lesehan seperti saran Julian, biar lebih dekat. Gue masih kaget tapi yang lain tampaknya santai-santai aja. Kemungkinan terbesar mereka memang sudah merencanakan ini dari awal.
"Kenapa sih?" tanya gue pada Julian yang kebetulan duduk di sebelah gue. "Niat banget ngerjainnya."
Julian nyengir polos. "Mikana kalo sama lo jadi beda kalo dibanding yang lain. Mungkin karena lo deketnya sama Mika duluan kali, ya. Jadi ada ikatan batin yang kuat."
"Serius itu alesannya?"
"Ya iya lah, masa ya iya dong. Sana makan lagi."
Dih.
Gue akhirnya makan lagi seperti yang lain, sambil sekali-kali melirik Mikana yang sedang digendongan papanya. Kemudian melihat Aslan yang sedang dihasut sesuatu oleh Seth dan Alvaro. Kemudian ke arah Juna yang sedang terbahak melihat atraksi di restoran ini.
Semuanya happy banget. Gue jadi ikut happy.
Selesai semua makan, barulah Seth mengambil alih kamera dan menyorot Mikana.
"Jadi, Mikana, kamu lebih sayang ke siapa dari Om Juna sampai Om Alvaro?" tanya Seth.
Mikana mengerjap sesaat, terus melihat ke arah gue. Pasti mau jawab gue, ya? Hahaha, makasih loh, Mikana.
"Gak ada," ucap Mikana enteng. "Mikana sayangnya sama Aslan dan Blyce."
Semua om-om di sini hatinya mendadak retak.
"Eh... kenapa?" tanya Seth kuyu. Semua rencananya sudah gagal hancur total begitu saja karena jawaban pertama dari Mikana.
Mikana nyengir. "Kalena Mikana sayang sama semuanya! Hehehehe."
Eut. Pengen geplak bapaknya, rasanya.
Semua orang termasuk gue melihat ke arah Mika, tau kalo sikap ngeyelnya nurun ke Mikana. Mika hanya terbahak canggung, seperti ketahuan sudah berbuat kriminal.
"Tapi, Mikana paling sayang sama Om Matt," ungkap Mikana dengan senyum kecil. "Om Matt gak ngelarang Mikana ini itu, tapi bilangin Mikana kalo itu gak baik. Kalo Mikana gak nulut, Om Matt gak malah. Dan kalo Mikana kenapa-napa, Om Matt gak pelnah nyalahin Mikana. Mikana sayang banget sama Om Matt. Lain kali, Mikana janji nulut telus sama Om Matt."
Aduh. Gue jadi baper gini, kan. Gue tersenyum kecil dan kali ini Seth menyorot gue sampe hidung gue doang yang di-shoot. Dasar! Momen sentimental ini jadi rusak gara-gara Seth. Gue pun merusaknya juga dengan mengambil tissue dan pura-pura menghapus air mata. Ternyata, Mikana mengira gue beneran nangis. Dia bangkit dari pangkuan papanya dan memutari meja untuk berlari ke arah gue.
"Om Matt, gak boleh nanis! Katanya jadi olang halus kuat. Nih, Mikana udah kuat. Om Matt juga kuat, dong! Masa kalah ama Mikana," ucapnya jenaka seraya memeluk gue.
Sumpah, ya. Adem. Kayak pas pertama kali meluk Tasya dan Tata....
Semua orang terharu dan Seth tersenyum miring, tau bahwa hal ini bakal terjadi. Dasar! Gue tau ini rencananya.
***
"Ini rencaka Mika, kok," ungkap Seth ketika gue menginterogasinya.
Kami sedang di perjalanan pulang ke rumah Mika. Gue sengaja meminta untuk berdua dengan Seth di mobil gue, sementara yang lain satu mobil keroyokan di Alvaro. Gue pengin tau yang sejelas-jelasnya. Sebelum celana bunga-bunga gue dipertaruhkan.
"Mika kan awalnya deket sama lo dulu, Matt. Terus kalo dipikir-pikir, mungkin lucu kalo lo sama Mikana jalan di mall dan liat, kan?" Seth senyum-senyum sendiri. "Pasti gen gemes-gemesnya Mikana itu dari Luna."
"Kenapa gak dari Mika?"
"Ye, Mika mah amit-amit," ungkap Seth sambil bergidik geli.
Kami sontak tertawa geli. Sementara gue berpikir bahwa, iya, ya. Dulu pas SMP, gue pertama deket ya sama Mika. Gue jadi mengingat-ingat lagi momen pertemuan kami yang super duper menyebalkan, yang sungguh, mending gak usah diinget. (Ini Before We Meet kedua, cuma kode doang, sih, hehehe).
Mobil gue sampai di rumah Mika dan betapa terkejutya gue ketika rumahnya lumayan ramai. Oke, sekedar penjelasan singkat, rumah Mika itu mungil, tapi tamannya lumayan luas untuk dijadikan tempat main. Tamannya itu nyambung dari belakang, samping, dan depan. Sekarang, taman yang tadinya udah bagus (Mou merengek pingin yang kayak gini di rumah kami), jadi makin bagus lagi karena dihiasi balon-balon dan banner besar.
SELAMAT ULANG TAHUN OM MATT DAN OUR DEDEK MIKANA!!!
KETJUP MANJA DARI GENG SMA
Hah????
Oke, gue tahu kalo hari ini gue ulang tahun, tapi gue gak menebak hal itu. Udah selazimnya, kita gak merayakan ulang tahun sejak berkeluarga karena, yah??? Banyak hal yang perlu diperhatikan daripada itu. Tapi ini???? Gue bahkan lupa kalau Mikana ulang tahunnya sama kayak gue. 24 Maret ya, bukan 13 Februari. Kadang, si Wulan khilaf, biasa dia mah.
Gue spechless, dari samping gue, Seth sudah merekam muka gue yang bengong gak banget. Gue memarkirkan mobil dan turun, terkesima dengan semuanya. Semua orang ada di sini. Mobil Alvaro baru sampai juga. Dan, Mikana turun bersama si papa. Ikut bengong dan senang dengan kejutan itu.
"Alhamdullilah, selamat ulang tahun!" seru mereka serempak.
Udah lama banget kami gak kumpul dan pas kumpul silaturahmi, pas ulang tahun gue dan Mikana. Spesial banget, kayak nasi goreng pake telor! Gue tersenyum sambil menggendong Mikana yang tampaknya sudah ingin menangis. Anaknya Seth... yang paling tua, siapa ya? Fey? Datang ke arah kami dengan kue di tangannya. Orang-orang mulai bernyanyi.
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya!" seru anaknya Julian, Jasmine, yang setahun lebih tua dibanding Mikana.
MIkana melihat ke arah gue seolah minta petunjuk. Gue mengangguk. "Bareng-bareng ya."
"1... 2... 3...!"
Gue niup sekuat tenaga, begitu pun Mikana. Tapi apinya gak padam-padam. Gue dan Mikana coba niup lagi, tapi tetep aja usaha kami percuma.
"Itu kan lilin yang magic-magic itu. Susah matinya," kekeh Alvaro, ber-toast dengan bocah kecilnya yang bernama Anggi.
"Yah, gak bisa mati, Mikana," ucap gue.
Mikana menggeleng kuat. "Pasti mati! Ayo semuanya! Bantuin Om Matt sama Mikana!!"
Semua orang tertawa dan entah kenapa ya, hati gue tuh anget banget kayak tai ayam kalo denger Mikana ngomong.
***
Kami semua duduk-duduk manja di taman dan disuguhkan oleh yang wanita-wanita makanan enak yang membuat perut kami bisa-bisa makin membuncit. Anak-anak berlarian mengikuti Lili, seolah anak tertua dibanding yang lain itu adalah kapten kecil mereka. Dan di buntut pasukan kecil itu, ada Mikana, anak paling muda dibanding yang lain.
Mika tiba-tiba menghalangi jalan mainnya mereka dan meminta semua orang duduk di tempat masing-masing karena pesawatnya sebentar lagi take off—hah? Dasar gila.
"Oke semuanya," ucap Mika, di sebelahnya, Mikana sedang dirangkul. "Kita semua silaturahmi di sini untuk merayakan ulang tahun Mikana yang ketujuh dan Matt yang ke... berapa ya?"
"Gak usah disebut."
"Oke, yang bersangkutan tidak mau disebut umurnya. Kita sebut saja sekarang ulang tahunnya yang ke-17! Apa ada kata sambutan yang mau diberikan?"
Gue berdiri dan tersenyum hangat ke semua orang yang datang. Pada Juna dan Lio, serta dua anak mereka, Liliana dan Aslan. Lalu pada istri gue dan si kembar Tata dan Tasya. Pada istri Mika yang tampak sangat senang hari ini. Lalu pada Seth dan Rina, serta lima anaknya yang membawa gen dan aura menganggumkan dari si ibu, tentu bukan dari si ayah, ya. Terakhir, pada Alvaro dan Anggia serta tiga anaknya yang membanggakan.
Gue tersenyum kecil. "Seperti baru kemarin kita berkumpul bersama dan setiap perkumpulan selanjutnya, saya selalu berdoa kalau anak-anak tetep kecil-kecil, imut-imut, dan entah kenapa lihat anak-anak sudah sebesar ini, saya menyadari bahwa tiap hari umur saya berkurang, bukan bertambah. Dan karena itu, hari ini sebagai pengingat bagi kita semua untuk memperbanyak amal ibadah dan terus mengajari anak-anak kita kelak agar menjadi pribadi yang sholeh dan sholehah. Semoga kita semua selalu di lindungi."
Semua orang menyahut 'aamiin' yang khidmat. Gue pun duduk dan kini semua mata melihat ke arah Mika dan Mikana. Lebih tepatnya kepada Mikana.
"Ayo," ucap si papa.
Mikana tersenyum. "Telimakasih udah dateng ke lumah Mikana dan main-main. Mikana seneng banget punya temen-temen, om-om, dan tante-tante yang sayang sama Mikana. Mikana juga sayang sama Om Matt yang ngajakin Mikana jalan hari ini, sampe dicubit ama bulung hantu!" semua orang tertawa geli. "Tapi, Mikana juga sayang kok sama semuanya. Apalagi ama Uncle Alvalo!"
Mika tertawa. "Uncle Alvaro disebut ya, biar dapet uang jajan."
Mikana menempelkan jari telunjuknya di bibir. "Pap! Mikana kan mau jajan kue cubit di sekolah Mikana. Nanti Uncle Alvalo gak ngasih, Papa tanggung jawab!"
Semua orang sontak tertawa geli melihat tingkah Mikana. Sungguh, anak-anak itu penyejuk hati.
Seharusnya, gue menceritakan kisah ini untuk menyorot kami berenam di mata seorang anak kecil. Tapi Wulan salah milih orang yang bercerita. Wulan milih gue, dan gue terlalu menaruh perasaan ketika menggarapnya. Salah dia sendiri cerita ini jadi menyimpang dari yang seharusnya.
Tapi kadang, kan, kesempurnaan itu dimulai dari ketidaksempurnaan, kan?
[<3]