¶¶ÒõÉçÇø

Selcouth [VMIN]

By wheewhy_

84.9K 12.3K 2.3K

Jimin tak pernah sekalipun mengandai-andai bahwa si misterius Kim Taehyung akan menjadi teman sebangkunya sel... More

PROLOG
1. Itu adalah V
2. Itu adalah Peretas
3. Itu adalah Sebuah Malam
4. Itu adalah Inspektur
5. Itu adalah Suatu Kebenaran
6. Itu adalah Ajakan
8. Itu adalah Hari Tanpa Taehyung
9. Itu adalah Rasa Penasaran
10. Itu adalah Perjanjian
11. Itu adalah Rencana
12. Itu adalah Choi Beomgyu
13. Itu adalah Kedua dan Keempat
14. Itu adalah Perbincangan Malam Hari
15. Itu adalah Hari yang Indah
16. Itu adalah Janji yang Dilanggar
17. Itu adalah Hari Kelabu
18. Itu adalah Kerinduan
19. Itu adalah Kejutan
20. Itu adalah Kegelapan
21. Itu adalah Pertemuan
22. Itu adalah Rasa Bersalah
23. Itu adalah Usaha
24. Itu adalah Keresahan
25. Itu adalah Kejutan yang Lain
26. Itu adalah Dunia Jimin
EPILOG

7. Itu adalah Malam yang Lain

2.7K 440 35
By wheewhy_

SELCOUTH
A Bangtan Fanfiction
Highschool!AU
Taehyung X Jimin

[NO BOYSLOVE, BROMANCE ONLY]

Genre : Drama
Chapter : 7. Itu adalah Malam yang Lain
Words count : 2.6K+
Disclaimer : All of BTS members belong to their agency and parents, original story is mine.


***

"Kapan aku bisa pulang?" tanya Jimin, mulai merasa jengah.

Sekarang sudah jam sebelas malam. Terlewat empat jam lamanya mereka hanya duduk di salah satu halte di tengah kota, hanya untuk menyaksikan sekian banyak bis datang dan pergi. Sementara dua jam sebelumnya mereka habiskan di salah satu rumah makan terdekat setelah makan malam.

Jimin sama sekali tidak mengerti apa maksud Taehyung membawanya ke tempat ini tanpa alasan yang jelas. Dan yang pasti, Jimin benar-benar bosan! Hanya duduk di halte selama berjam-jam dengan manusia aneh yang terus-terusan menyeruput enam kotak susu varian rasanya tanpa henti.

Berulang kali Jimin mengomel dan berprotes kalau dia ingin pulang. Jimin pikir dengan menghabiskan waktu di ruang belajar selama sepuluh jam akan terasa lebih menyenangkan dibandingkan hal ini.

Namun teman di sampingnya ini nampak begitu tidak peduli. Dia bersikeras untuk tidak melepaskan borgolnya meskipun Jimin berulangkali menimpuknya. Beruntung hari ini Jimin sedang tidak ada jadwal les. Akan membawa sebuah masalah kalau ketahuan dia bolos, berkeliaran di kota alih-alih belajar.

"Kim Taehyung!" Jimin mulai merajuk, "Aku benar-benar bosan. Aku mau pulang! Sekarang!"

Taehyung menaikkan sebelah alisnya saat melirik Jimin. Ia menjauhkan sedotan dari mulutnya dan meletakkan kotak susu ke tujuhnya di bangku halte. Kedua netra Jimin berbinar saat melihat Taehyung mengeluarkan sebuah kunci dari saku celana nya.

"Kamu tunggu disini dulu," tegas Taehyung saat ia membuka kunci borgol di tangan Jimin, "Dan jangan kabur."

"Kamu mau kemana?" tanya Jimin ketika Taehyung bangkit berdiri dan menggantungkan borgolnya pada sabuk celananya.

"Beli camilan di minimarket biar kamu nggak bosan. Mau ikut?"

Jimin langsung sumringah. Ia menggeleng cepat. "Aku tunggu di sini saja. Tolong belikan aku air putih juga, ya! Susu kotakmu itu malah bikin aku tambah haus."

Taehyung mengangguk singkat. "Ponselmu masih nyala, kan?"

Jimin mengernyit bingung. Tidak mengerti kenapa Taehyung menanyakan tentang ponselnya. Biar begitu, ia mengeluarkan ponselnya dan menyalakannya, lalu menghadapkannya kepada Taehyung. "Masih, kok."

Taehyung kembali mengangguk dan bergumam, "Oke," sebelum mengambil langkah meninggalkan Jimin sendiri di halte.

Jimin terus memerhatikan punggung Taehyung yang kian lama semakin menjauh dan menghilang di tikungan jalan. Kemudian ia tertawa kecil. "Dasar bodoh. Bodoamat sama camilanmu, aku mau pulang!"

Dan tepat setelah Jimin bergumam pada dirinya sendiri, sebuah bus tiba. Maka Jimin cepat-cepat menumpanginya dan mengambil salah satu bangku di dekat jendela untuk diduduki.

Selama perjalanan, Jimin tak bisa memungkiri kalau sebenarnya dia juga merasa bersalah kepada Taehyung karena meninggalkannya tanpa pamit. Tapi, mau bagaimana lagi. Dia benar-benar terpaksa, hanya dengan begini Jimin bisa segera pulang. Karena Jimin tahu Taehyung tidak akan membiarkannya pulang, bahkan setelah merengek seperti anak kecil.

"Aku bakal kirim pesan nanti kalau udah sampai rumah," pikir Jimin.

Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di halte dekat rumah Jimin. Remaja Park itu pun turun dari bus tersebut dan berjalan kaki menuju rumahnya.

Terdapat sedikit rasa penyesalan dalam hati Jimin ketika ia mengambil rute jalan terdekat, yang mana membuatnya harus melewati Jalan Hakdong 30. Insiden dua minggu lalu di tempat itu meninggalkan trauma padanya.

Namun karena sudah terlanjur dan terlalu malas untuk mengambil putar balik, Jimin memilih untuk meneruskan perjalanannya. Lantas mempercepat jalannya ketika ia melewati Jalan Hakdong, terlebih saat anak itu melewati gang kecil, tempat dimana ia diseret oleh si preman beberapa hari lalu.

Drap.

Drap.

Drap.

Sertamerta Jimin merasa jantungnya berdegup lebih kencang saat mendengar derap langkah yang menyusul di belakangnya. Maka dia menghentikan langkah untuk memastikan apa yang didengarnya. Namun saat ia berhenti, indra pendengarannya tidak lagi menangkap suara langkah kaki yang berat itu. Jimin berpikir itu hanya halusinasinya saja, mungkin dia hanya menjadi paranoid. Lalu kedua kaki mungilnya melanjutkan langkah dengan sedikit lebih cepat.

Drap! Drap! Drap!

Dan bersamaan dengan itu, suara langkah kaki yang mengikuti Jimin juga terdengar lebih cepat. Jimin menoleh dan mendapati seseorang dengan pakaian serba hitam dilengkapi dengan topi dan masker berwarna senada. Lantas Jimin berbalik dan berlari.

"Sial, penguntit! Kenapa banyak orang jahat berkeliaran di sini?!"

Ia berlari sekuat tenaga. Telinganya bisa mendengar jelas suara langkah di belakangnya yang mengejar. Jimin berusaha untuk mempercepat larinya, meninggalkan kejaran di belakangnya. Dia sengaja berbelok ke kanan pada tikungan di depannya, mengambil jalan memutar hanya untuk membuat si penguntit kehilangan jejaknya.

Jantungnya berdegup kencang tak karuan. Benar-benar cemas dan ketakutan. Kali ini Jimin benar-benar sendiri, yang mana artinya jika dia tertangkap oleh sang penjahat, tak akan ada yang menolongnya seperti yang Taehyung lakukan dua minggu lalu. Maka dari itu, Jimin terus berlari walau kedua kakinya sudah sangat kelelahan. Jimin benar-benar payah dalam hal berlari, namun bagaimanapun, ia tak boleh tertangkap.

Dalam beberapa langkah akan ada tikungan lagi, dan Jimin berencana akan berbelok ke kiri.

Drap!

Deg.

Langkah Jimin terhenti. Jantungnya seakan jatuh dari tempatnya saat melihat pria muda dengan masker dan pisau lipat di tangan kanannya tengah berdiri menghalangi jalan Jimin. Biarpun separuh wajahnya tertutupi, Jimin tetap bisa mengenali bahwa dia adalah orang yang berbeda dari yang baru saja mengejarnya di belakang. Maka bisa dipastikan, penjahat yang mengincarnya tidak berjumlah sedikit. Setidaknya lebih dari satu.

Lalu Jimin tersadar dia tak boleh terpaku terlalu lama, maka ia berbalik. Namun saat hendak kabur, lagi-lagi langkahnya tersendat. Di hadapannya, tiga orang mengepungnya dari tiga arah yang berbeda.

Nafas Jimin terengah, tak beraturan. Ditambah jantungnya yang terus berdegup dua kali lebih cepat dari keadaan normal. Dengan tenaga yang tersisa, Jimin berteriak, "Apa yang kalian mau?!"

Tidak seorangpun dari empat yang menjawab. Mereka terus mengambil langkah mendekati Jimin dengan perlahan. Jimin ingin sekali berontak, namun melihat senjata tajam yang terdapat pada masing-masing genggaman keempat orang itu menciutkan nyalinya. Dia bisa saja mati karena serangan mereka.

"Tuhan..., apa yang harus aku lakukan sekarang?" Jimin memelas dalam batinnya. Dirinya dikepung. Ia menunduk, berpikir tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain pasrah dan berharap seseorang akan menolongnya. Polisi, mungkin? Inspektur Seokjin?

Ah, benar. Inspektur Kim Seokjin! Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepala Jimin. Remaja itu merentangkan kedua tangannya, memberikan gestur agar para penjahat di sekelilingnya itu menghentikan langkah mereka yang terus mendekatinya. "Jangan mendekat!" jeritnya.

"J-jangan macam-macam sama aku! Papaku seorang polisi!" Jimin mencoba untuk menggertak walau suaranya terdengar bergetar.

Tetapi, apa yang ia dapat hanyalah senyuman remeh yang terlihat dari kedua mata mereka. Keempat pria bermasker itu terus mengambil langkah mendekati Jimin.

"Aku nggak bercanda! P-papaku seorang inspektur kepolisian!" seru Jimin, "I-inspektur Kim Seokjin! D-dan saudaraku, Kim Taehyung juga asistennya!"

Jimin memejamkan mata rapat-rapat saat menyadari kebodohannya dalam berucap. Astaga, kemampuan berbohongnya itu benar-benar payah. Siapa pula yang akan percaya dengan bualan macam itu?

"Aku bahkan gak kenal siapa mereka." Salah satu dari pria bermasker itu tertawa remeh.

"Ah, benar juga." Jimin teringat akan satu hal. "Dia itu—"

"CHIM BANTET!"

Sontak Jimin membuka kedua matanya lebar-lebar. Dan entah kenapa, Jimin tersenyum lebar saat melihat teman dengan surai dark brown-nya tengah berlari ke arahnya. "V!" teriak Jimin, "DIA ITU V!"

Jimin memekik tertahan, terlampau senang ketika melihat teman dari kepolisian-nya itu mempercepat larinya, anak rambut panjangnya yang biasa menutupi dahi hingga alisnya tersapu angin. Memperlihatkan dahi dan alis tebalnya yang mendukung kesan garang pada kedua mata tajamnya.

"Bangsat! Itu V!" Jimin mendengar salah satu pria bermasker mengumpat.

Jimin tak mampu berkata-kata saat melihat keempat pria dengan pakaian serba hitam di sekelilingnya itu langsung kelabakan. Mereka berpencar dan berlari dengan tergesa-gesa, hanya karena mendengar nama V. Keempatnya berlari ke empat arah yang berbeda, terbirit-birit bak mangsa yang kabur dari predator.

Namun salah satu dari mereka tak cukup cepat sehingga Taehyung berhasil menangkapnya. Taehyung melompat dan menerjang tubuh pria itu. Remaja Kim itu langsung memasang borgol pada kedua tangan di belakang punggungnya saat berhasil menumbangkannya.

Taehyung membalik tubuh pria itu dengan kasar, menduduki dadanya, lalu membuka masker hitamnya. Dari remang-remang lampu jalanan, Jimin bisa melihat seringaian pada wajah Taehyung ketika ia mengacungkan jari tengah dan telunjuknya membentuk huruf V di depan wajah pria itu. "Jung Taebin. Kamu tertangkap."

***


Jimin masih bisa merasakan tubuhnya yang bergetar. Rasa takut masih menghinggapi dirinya. Ia benar-benar tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau Taehyung terlambat datang tadi. Ini sudah yang kedua kalinya dalam dua minggu, hal yang membahayakan terjadi pada dirinya.

Sekarang, Jimin kembali berada di kantor polisi yang sama semenjak kejadian dua minggu lalu. Kedua tangannya membawa mug dengan susu hangat di dalamnya. Taehyung yang memberikannya padanya.

Jimin tak bisa mengingat apa yang terjadi setelah Taehyung berhasil menangkap salah satu penjahat itu. Ia jatuh pingsan karena ketakutan. Dan bangun-bangun dia sudah berada di tempat ini dengan salah satu sersan yang berjaga.

Jimin menoleh untuk melihat Taehyung yang tampak berbincang-bincang dengan Inspektur Seokjin dan beberapa polisi lainnya. Jimin berasumsi mereka tengah membahas penjahat yang mengepungnya tadi.

Kemudian remaja dengan manik kelam itu menunduk. Helaan nafas bergetar keluar dari mulutnya. Dia butuh penjelasan. Siapa keempat orang tadi, dan kenapa mereka mengepungnya? Bukankah biasanya para perempuan yang dijadikan korban penguntitan? Hei, Jimin itu laki-laki tulen.

Selain itu, Jimin juga tidak pernah berurusan dengan dunia gelap bawah tanah, yang mana berpeluang untuk menjadikannya sebagai sasaran para kriminal. Sejauh ini Jimin tidak pernah membuat masalah. Yang ia lakukan selama ini hanya belajar di sekolah, di ruang belajar, di bimbel, juga di rumah. Kenakalan terbesar yang pernah dilakukannya hanyalah menghabiskan waktu di depan minimarket bersama teman-temannya saat seharusnya ia menggunakan waktunya untuk belajar. Hanya kehidupan normal seperti pelajar pada umumnya.

Semuanya normal-normal saja..., sampai dia bertemu dengan Kim Taehyung.

"Bantet." Tiba-tiba suara Taehyung terdengar di samping Jimin, menyadarkannya dari lamunan. "Kamu nggak menghabiskan susumu?"

Jimin menatap Taehyung sayu lalu menggeleng lemah. Kemudian ia menunduk. Setelah apa yang dialaminya, terlebih lagi dia telah mengalami hal yang sama dua kali, secangkir susu tidak akan mempan untuk menenangkan dirinya.

"Kamu takut?" tanya Taehyung.

Jimin mengangguk pelan dan mencicit, "Sangat...."

Taehyung terdiam sejenak. Kedua hazel-nya memandangi susu yang mulai mendingin di tangan Jimin. Helaan nafas pelan keluar dari sela bibirnya. Lalu ia mengambil paksa mug dari tangan Jimin dan meletakkannya di bangku samping kanannya. "Makanya, jangan kabur dariku," ucapnya sembari menarik tengkuk Jimin agar bersandar pada pundaknya. Dia menarik Jimin ke dalam pelukannya.

Jimin balas memeluk Taehyung. Ia menenggelamkan wajahnya pada pundak Taehyung. Indra penciumannya menjumpai aroma kopi bercampur mint dari jaket denim milik Taehyung. Tangan mungilnya bergerak untuk meremat jaket temannya itu. "Maaf...."

"Hm," gumam Taehyung, memberikan tepukan ringan pada punggung temannya itu.

Secangkir susu memang tidak mempan untuk menenangkan Jimin, namun faktanya, sebuah pelukan bisa membantu. Jimin mempererat cengkeramannya pada jaket Taehyung saat ia membayangkan apa yang akan terjadi kalau temannya ini tidak datang untuk menolongnya. Berita bahwa dirinya hilang diculik akan menggemparkan keluarga dan sekolahnya. Jimin tentunya tidak mau hal itu terjadi.

Lalu, tiba-tiba satu hal terlintas di kepalanya. Bagaimana Taehyung bisa menemukannya di perempatan jalan itu? Bukankah dia berjanji akan membelikannya camilan dan air putih di minimarket? Dan, mana camilan yang dijanjikannya? Jimin tidak melihat Taehyung membawanya.

Saat Jimin akan bertanya tentang hal itu, tiba-tiba Taehyung berujar, "Tapi, kamu menjalani peranmu dengan bagus. Semuanya jadi berjalan sesuai rencanaku. Sukses besar."

Sontak kedua alis Jimin menyatu. Ia melepaskan pelukannya dan menatap Taehyung tidak mengerti. "Kamu bicara apa?"

Taehyung balas menatap kosong pada Jimin. "Jung Taebin, Kim Daejoon, Lee Byunghoon, dan Kim Namgi. Aku berusaha menangkap geng preman gadungan yang selalu merampok dan memeras warga itu sejak dua minggu lalu. Tapi, mereka agak sulit ditangkap karna markas mereka yang nggak menentu.

"Jadi, yang bisa kulakukan cuma meretas jaringan komunikasi mereka dan menemukan jadwal mereka yang kebetulan bakal mencari 'mangsa' di Jalan Hakdong 30, hari Sabtu dan Minggu sekitar jam sepuluh malam sampai subuh. Aku nggak bisa langsung datang ke sana untuk menangkap mereka, karna aku yakin mereka pasti bakal langsung kabur begitu melihatku. Itu bakal menyusahkan, jadi—"

"Kamu menjadikanku umpan...?" tanya Jimin menginterupsi, menatap temannya itu tidak percaya.

Taehyung terdiam sejenak, menatap dalam kedua obsidian Jimin sebelum mengangguk singkat.

Jimin mendelik. "Lagi?!"

Taehyung kembali mengangguk. Tepat sebelum Jimin berprotes, ia kembali bersuara, "Awalnya aku mau mengajakmu hari Sabtu kemarin, tapi kamu bilang kamu harus istirahat. Jadi aku pakai Plan B.

"Aku bohong soal makan malam, dan aku pura-pura SMS Inspektur Seokjin biar kamu percaya. Dari situ aku yakin kamu bakal merasa bersalah, dan kamu pasti bakal mencarikan hari pengganti. Kamu benar-benar melakukannya, jadi aku cukup puas.

"Dan hari ini kamu datang tepat waktu. Aku udah menduga kalau kebohonganku tentang makan malam bakal ketahuan saat itu juga, karena aku hafal kesibukan Inspektur Seokjin, jadi aku langsung memborgolmu biar kamu nggak kabur. Cukup keren karena kamu nggak begitu memberontak selama enam jam diborgol. Kupikir kamu bakal meninju atau menendangku."

Taehyung mengambil jeda sejenak. Jimin kehabisan kata-kata dibuatnya, hanya bisa menatap tidak percaya pada Taehyung yang mengambil mug di sampingnya. Remaja bersurai kecokelatan itu dengan santainya menyesap susu yang tadinya milik Jimin itu. "Lalu jam sebelas, aku sengaja melepas borgolnya. Aku sengaja meninggalkanmu, karena aku tahu kamu pasti bakal kabur dan pulang duluan. Kamu benar-benar melakukannya, jadi aku mengikutimu dengan naik bis setelah bis yang kamu naiki.

"Tapi, saat sampai di Jalan Hakdong, aku kehilangan jejak kalian. Untung saja aku sempat install pelacak di ponselmu saat pura-pura SMS inspektur kemarin. Jadi aku bisa langsung menemukanmu dan menangkap salah satu dari mereka untuk di interogasi. Kamu hebat, Chim."

Plak!

"HEBAT, KEPALAMU!" seru Jimin setelah menampar pipi Taehyung sekuat yang ia bisa. Jeritannya itu menarik perhatian para polisi yang ada di sana. Kedua remaja itu menjadi pusat perhatian, namun Jimin tidak peduli. Saat salah satu petugas hendak menegurnya, Inspektur Seokjin yang berada disana menahan petugas tersebut. Nampaknya beliau paham bahwa Taehyung dan Jimin perlu membicarakan hal ini.

Air mata mulai menggenang di kedua pelupuk mata Jimin. "Aku benar-benar takut, bodoh.... Menjadikanku umpan buat para penjahat..., kamu sudah melakukannya dua kali. Apa kamu nggak berpikir itu keterlaluan?"

Taehyung memegangi pipi kirinya yang memanas akibat tamparan Jimin. "Setidaknya kamu nggak terluka."

"Bajingan...," umpat Jimin sembari bangkit berdiri, "Aku muak sama kamu. Enyah sana!"

Kemudian Jimin segera keluar dari sana setelah membungkuk, memberi salam kepada beberapa polisi yang ada, termasuk Inspektur Seokjin. Jimin tidak tahan lagi. Dia benar-benar membenci Kim Taehyung yang menjadikannya mainan seperti ini. Maka langkahnya semakin cepat, ingin segera meninggalkan tempat itu.

Saat Jimin terus melangkah lebar melewati trotoar, tiba-tiba lengan kirinya ditahan. Tanpa menoleh Jimin sudah tahu kalau itu Taehyung.

"Kubilang jangan kabur dariku!" seru suara berat milik Taehyung.

"AKU BILANG, AKU MUAK, BRENGSEK!" jerit Jimin, menepis kuat-kuat genggaman Taehyung pada lengannya dan memicing tajam pada Taehyung dengan mata berairnya. Pandangannya menjadi buram karena air mata.

"Kamu milikku, Park Jimin," ujar Taehyung, yang terdengar mengancam dengan suara yang direndahkan seperti itu. "Aku sudah bilang berulang kali, kamu milikku. Dan kamu nggak bisa lari dariku."

"Kamu pikir aku peduli, huh?" Jimin mencoba untuk berontak. Untuk pertama kalinya, ia mencoba untuk melawan aura intimidasi yang ada pada diri Taehyung. Walaupun kedua kakinya bergetar, terasa begitu lemas seakan tulangnya melunak menjadi daging. "Kalau memang aku milikmu, harusnya kamu jaga baik-baik 'milikmu' ini! Bukannya memperalatku dengan menjadikanku umpan bagi para penjahat buat kamu tangkap!"

"Aku kan sudah menyelamatkanmu—"

"Setelah membawaku dalam bahaya! Benar sekali!" tukas Jimin. Ia mengusap wajahnya kasar. Benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. "Kamu menyelamatkan ragaku, tapi kamu membahayakan jiwaku. Padahal kamu bisa menjadi lebih baik dari ini. Aku bisa jadi gila, tahu! Aku sama sekali nggak mengerti apa yang ada di pikiranmu, dan aku muak dengan itu. Jangan pernah ganggu aku lagi, Kim Taehyung!"

Taehyung tampak terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya. "Jadi..., kamu bakal pergi?"

Jimin tidak membalas, mengusap kasar air mata dari pipinya. Ia menatap sengit remaja di depannya, sebelum berbalik dan meninggalkan Taehyung tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dia benar-benar lelah dan tidak ingin terlarut dalam masalah lebih dari ini.

Sementara Jimin melangkah seorang diri, dalam diam Taehyung mengikutinya. Taehyung hanya bisa menatap punggung sempit Jimin dalam jarak dua meter, mengawasinya.

Sungguh, Taehyung tidak ingin melepas Jimin.

***


Enjoy!

Continue Reading

You'll Also Like

1.2K 65 16
Bercerita tentang ketiga sahabat yang bersekolah di SMA KEBUN SWASTA yang menjalani hari mereka bersama kakak tercintanya dan bertemu teman baru "pun...
2.6K 686 35
Cinta memang tak harus memiliki, merelakan sesuatu yang berharga untuk orang lain. Sakit, kecewa, marah menjadi satu namun harus ada yang tau bahwa p...
GAZE By Rereekim

Fanfiction

542K 50.9K 59
[COMPLETE]✔ Yoora, seorang gadis yang duduk di tahun kedua menengah atas, di pertengahan semester ia mendapat teman baru. Awal-awal terasa wajar dan...
475K 32.4K 40
Park Jimin salah satu member BTS yang pandai menyembunyikan kesusahannya. Masalahnya berdampak pada para member. Meski begitu sejujurnya masalah itu...