Tubuh yang sekarang tidak sadarkan diri itu diangkat oleh Lucio dan dibawanya menuju pintu yang tadi ia lewati, berbeda dengan pintu yang tadi Cecil buka.
Akses menuju ruang eksekusi bawah tanah memang ada 2. Pertama adalah pintu yang berada di kebun yang sekarang sudah sangat jarang digunakan dan kedua adalah pintu yang berada di parkiran basement-nya.
Pintu tersebut dibukakan oleh salah satu bawahannya dan Lucio segera melewati pintu itu. Pintu itu juga berdampingan dengan pintu lift yang akan menuntunnya menuju rumah utama.
Setelah menaiki lift dan sampai di lantai 2, Lucio membawa tubuh Cecil menuju kamarnya sendiri. Diletakannya gadis itu di kasur, sedangkan dirinya sendiri berjalan menuju jendela yang berada di kamar Cecil.
"Bawakan saya minuman!"
Tidak lama setelah memberikan perintah itu melalui teleponnya, kepala pelayan segera datang dan memberikan minuman beralkohol yang telah menjadi langganan tuannya tersebut.
Cecil terbangun dalam keadaan tersentak, masih terbayang kejadian yang telah membuatnya tidak sadarkan diri. Matanya menangkap bayangan Lucio sedang meneguk sebuah minuman dengan tubuh yang membelakanginya.
Lucio belum mengganti pakaiannya, ia hanya melepas jas dan kedua kancing teratas kemejanya serta menggulung lengannya sampai siku.
Merasa ada gerakan dari kasur, Lucio yang menikmati pekarangan rumah di hadapannya melirik ke arah bayangan Cecil yang juga terpantul dari jendela kamarnya.
"Apa yang kamu lakukan di sana?"
Cecil membalas tatapan Lucio dari jendela yang memantulkan bayangan mereka tersebut.
Gadis itu terdiam sejenak. Mengingat kembali perkataan ibunya yang menyuruh dirinya untuk jujur apapun keadaannya.
Dengan menarik napas panjang, Cecil mulai menceritakan apa yang ia lakukan malam ini hingga akhirnya menemukan pintu yang sudah lama terbengkalai itu. Nada Cecil tidak dapat membohongi perasaannya, gugup dan terbata-bata cukup menjelaskan bahwa gadis itu ketakutan.
Setelah mendengar penjelasan dari Cecil, Lucio mengangguk dan meletakkan minumannya yang tinggal sedikit ke meja di sampingnya dan menghampiri tubuh lemah Cecil yang sedang menatapnya dengan takut.
Sadar akan hal itu, Lucio melanjutkan langkahnya untuk berjalan ke arah pintu. Sebelum pintu itu dibuka, Lucio sempat mengucapkan beberapa kalimat.
"Kamu sudah tahu jika saya adalah pemimpin Mafia,"
"Saya minta kamu untuk bungkam tentang apa yang kamu lihat tadi dari orang luar,"
Lucio pun akhirnya keluar dari kamar Cecil dan gadis itu menghembuskan napasnya lega.
"Permintaan macam apa itu? Lebih terdengar seperti perintah," gumam Cecil sebelum akhirnya kembali merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya.
***
Pagi ini, entah apa yang merasuki Cecil, dirinya merasa bersemangat dan mulai nyaman tinggal di rumah ini. Dirinya tidak ragu lagi untuk keluar kamar hanya sekedar untuk bersantai minum teh di kebun.
Matanya menatap kebun itu kosong. Ia teringat kembali apa yang terjadi tadi malam, kejadian terkejam yang ia lihat menggunakan mata kepalanya sendiri.
Tiba-tiba pikirannya tertuju pada Lucio, ia belum melihat Lucio dari tadi pagi. Pelayan yang ia tanyai juga tadi memberikan pernyataan bahwa pria itu sedang tidak berada di sini.
"Don Lucio sedang berada di kantornya, Nona."
Gadis itu kembali ke kamar setelah menghabiskan sarapan dan secangkir teh yang ia nikmati di kebun pagi itu. Ia kembali berkutat dengan peralatan lukis seadanya yang ia bawa dari London untuk membunuh waktu luangnya.
Setelah beberapa saat, akhirnya Cecil memutuskan untuk mengganti pakaiannya menjadi 2 pasang bikini dan menutupinya dengan kimono. Ia turun, bermaksud untuk renang, menggunakan fasilitas yang ada di rumah ini.
Cecil tersenyum ramah menanggapi sapaan dari para pelayan.
"Apakah Nona ingin berenang?" dan dibalas anggukan oleh Cecil.
"Perlu saya bawakan cemilan dan jus jeruk?"
"Boleh, terima kasih,"
Cecil melanjutkan langkahnya dengan senyum yang selalu terpasang di wajahnya. Ia melepas kimononya dan mulai memasuki kolam dengan perlahan dan mulai berenang.
Saat cemilan dan jus jeruknya sampai Cecil menghentikan sejenak aktivitasnya dan mulai meminum jusnya dan memakan cemilannya.
Gadis itu sibuk dengan dirinya sendiri sampai akhirnya ia mendengar suara langkah kaki yang bukan hanya sepasang berjalan mendekatinya. Ia menoleh ke arah Lucio yang terus berjalan menuju kursi santai yang berada di pinggir kolam renang.
Lucio duduk dengan kaki kanannya yang ia tumpukan ke kaki kirinya. Mata Lucio menatap Cecil lekat dengan tatapan datar. Pria itu memerintahkan semua orang untuk meninggalkannya dengan Cecil.
Cecil tidak protes, ia terbius oleh bola mata biru safir milik Lucio yang mengintimidasi dan menyesatkan, tatapannya setajam elang.
Arah pandangan Cecil turun ke rahang Lucio yang tegas dan ditumbuhi oleh rambut-rambut halus, rambut Lucio yang terlihat sangat halus, serta bibir merah yang tanpa etika menggoda seluruh setan yang ada di dalam dirinya berteriak kesenangan.
Jangan lupakan perawakan pria itu, badan tinggi kekar yang membuat Cecil kesulitan untuk bernapas. Tatapannya beralih memperhatikan jari-jari tangan Lucio yang sekarang sedang digunakan untuk mengetuk pegangan kursi di sebelahnya.
Tubuh Cecil sedikit gemetar membayangkan bagaimana jari-jari itu meraba kulit sensitifnya, merambat turun menuju pusat—
"Cecil?"
"Cecillia!"
Gadis yang memiliki nama tersebut akhirnya tersadar dari khayalannya. Ia mengerjapkan kedua matanya mencoba untuk mengontrol wajahnya yang mungkin saat ini sudah sangat merah, malu dan bergairah.
"Ibu ingin bertemu kamu,"
"Tante Kate? Kita akan ke rumah orang tua kamu?"
Lucio menganggukan kepalanya.
***
Suasana hening mengisi perjalanan menuju rumah orang tua Lucio. Sudah lama orang tua Lucio pindah ke rumah di pinggir pantai ini. Setelah Dominic, ayah Lucio, memutuskan untuk pensiun dan mewariskan posisinya kepada Lucio.
Theo berada di depan bersama sopir, Lucio dan Cecil berada di belakangnya. Cecil sibuk dengan pemandangan yang ia lihat setelah seminggu tidak keluar dari rumah. Lucio sibuk dengan berkas-berkas di tangannya.
Sesekali Cecil melirik Lucio, ingin mengajaknya bicara untuk membunuh kebosanannya.
"Workaholic," cibir Cecil dalam hati.
Takut membuat Lucio marah, akhirnya Cecil memutuskan untuk tetap diam menikmati perjalanan sampai tempat tujuan.
Di rumah orang tua Lucio, mereka disambut oleh para pengawal pribadi orang tuanya. Meskipun sudah lama pensiun, keselamatan orang tua Lucio juga harus tetap terjaga karena musuh ayahnya banyak.
Lucio dan Cecil segera menuju pintu utama rumah tersebut, sedangkan Theo dan sang sopir bergabung dengan pengawal yang lain.
Memasuki rumah pensiunan tersebut, Cecil tidak bisa menutup mulutnya.
Desain interior dari rumah ini indah, hawa yang Cecil rasakan juga sangat khas membuat dirinya merasakan rindu pada keluarganya yang ada di London. Arsitekturnya sederhana namun elegan membuatnya ingin berlama-lama berada di sini.
Seperti rumah pada umumnya, foto-foto keluarga tertempel di dinding rumah ini juga berdiri tegak di atas meja. Tidak lama kemudian, terdengar suara derap langkah mendekati Lucio dan Cecil.
"Ya Tuhan! Ini Cecil? Ya ampun, sudah besar sekali kamu, Nak,"
***
To be continued