Kecemasan dan kekhawatiran Fara seketika luluh binasa, ketika melihat pemandangan yang ada dihadapannya. Pemandangan yang membuat hatinya terenyuh. Suatu gambaran keluarga bahagia yang menjadi impian terbesarnya.
Sejak pagi tadi perasaannya menjadi tidak tenang, setelah mendapat kabar dari sahabatnya Maya yang berada di rumah sakit. Mengingat kondisi sang sahabat yang tengah hamil tua, menjadi kemungkinan bahwa Maya akan melahirkan. Tanpa pikir panjang dirinya langsung pergi ke rumah sakit, walaupun hari masih pagi buta. Tentu saja dengan izin sang suami, dan bersyukur Alvin bersedia menemaninya.
"Aku mau ke rumah sakit." Ucap Fara dengan cepat setelah Alvin membuka pintu kamarnya. Terlihat jelas raut kekhawatiran di wajah Fara.
Alvin menatap heran. "Ngapain?"
"Maya disana, kayaknya mau ngelahirin." Suaranya yang bergetar menjadi tanda, bahwa kekhawatirannya sangat besar akan kondisi Maya.
"Nyetir sendiri?" Alvin meragukan keputas Fara, mengingat hari masih pagi buta.
"Gak ada taksi jam segini, lagian harus buru-buru juga."
Alvin sekilas menimang, mana mungkin dirinya tega membiarkan Fara mengemudi sendiri dalam keadaan seperti ini? "Kita berangkat bersama." Putusnya, membuat Fara melongo tidak percaya. "Aku ganti baju dulu." Dengan cepat dirinya kembali ke kamar untuk berganti baju. Tanpa memberi tahu Fara apa alasannya untuk ikut, sehingga membuat wanita itu kebingungan sendiri.
Dan disinilah sekarang mereka, di salah satu ruangan di rumah sakit tempat Maya dirawat.
"Selamat buat kalian. Kita ikut bahagia." Fara melerai pelukannya dengan Maya. Haru bercampur bahagia Fara rasakan atas kelahiran anak pertama Maya. Menggantikan perasaan kacau balau sebelumnya.
"Makasih Ra, Vin." Jawab Maya dan Hafiz bersamaan. Dan mendapat anggukan, sebagai balasan.
"Bagus lo ya, ngasih tau gue pas udah kayak gini. Kenapa gak pas masuk rumah sakit coba?" Fara melayangkan kekecewaanya. Jelas lah dirinya protes, karena rencananya untuk menemani Maya lahiran gagal sudah.
"Kenapa? Mau nemenin gue? Sorry ya, saking paniknya sampai lupa ngabarin, orang tua kita juga, baru aja di kasih tau." Maya serasa tersanjung akan sikap Fara.
Fara menggeleng keras. "Bukan itu, kalau tau dari awal kan gue jadi bisa nyaksiin muka ngeselin lo lagi kesakitan." Fara tekikik geli, dirinya hanya bercanda, karena alasan sebenarnya ia hanya ingin menyaksikan perjuangan Maya melahirkan. Barangkali, bisa jadi ilmu. Dasar Fara!
"Lo ya, emang paling bahagia kalau gue menderita." Maya menatap Fara garang.
"Inget baru lahiran, udah ngengas aja!"
"Udah tau gue baru lahiran, lo udah ngajak ribut. Tunggu jahitan kering, bisa kan?" Timpal Maya, membuat tawa mereka seketika pecah. Keduanya kembali berpelukan dengan penuh kasih sayang. Sebagai tanda kebahagian, yang tidak bisa digambarkan.
Namun tidak lama, perhatian Fara teralih pada bayi mungil yang terlelap di pangkuan Hafiz, Matanya berbinar melihat malaikat kecil yang menggemaskan itu, bayi imut nan lucu yang membangkitkan sisi keibuannya. Tanpa di komando, Fara beringsut mendekati Hafiz,
"Boleh gendong gak?" Sekilas Fara melirik Maya untuk meminta persetujuan, dan tentu saja Maya menyetujuinya. Kecintaanya terhadap anak-anak, membuatnya banyak belajar tentang cara berhadapan dengan anak-anak, termasuk bayi yang baru lahir.
Dengan tenang, Fara meraih bayi mungil itu kedalam pangkuannya. "Assalamualaikum jagoan." Suaranya bergetar sebagai tanda bahwa dirinya ikut bahagia untuk kelahiran si kecil.
Dengan penuh sayang, Fara mengelus dan menimang bayi mungil tersebut. Tidak lupa dirinya juga membisikkan lantunan doa untuk si kecil dengan khidmat. Seakan paham kondisi, semua orang diam untuk memberi waktu dan kesempatan bagi Fara meluapkan kebahagiannya bersama si kecil. Termasuk Alvin.
"Akhirnya kamu launching juga Nak." Pekik Fara bahagia.
"Lo kira anak gue Hp keluaran terbaru?"
Tanpa menggubris sarkasan Maya, Fara malah asik mengajak si kecil berbicara. "Hai sayang, ini bubu Nak." Fara memperkenalkan dirinya dengan sebutan aneh, yang bahkan Maya sendiri pun tidak tau artinya.
"Selamat datang di dunia Jagoan, jadilah si tangguh yang kuat dan hebat. Berjalanlah di jalan kebenaran sayang. Jadilah kebanggaan bagi kami yang menyayangimu. Hendaklah jadi anak sholeh Nak." Fara mengungkapkan harapannya. "Dia lucu May, gemes deh. Gue bawa pulang ya."
"Enak aja, siapa situ? Yang kerja sama tiap malem kan gue sama Mas Hafiz. Seenak jidat lo mau ngambil hasilnya." Maya naik pitam dibuatnya. Dasar, walaupun sudah menjadi seorang ibu tetap saja sikap bar-bar nya tidak hilang.
"Yang barusan ngomong itu Mamah kamu sayang, kalau gak mau kuping nya pengang, tinggal sama bubu yah." Fara sama sekali tidak menggubris ocehan Maya. Dan malah sengaja membuat Maya kesal.
Maya merenggut kesal. "Inget ya Nak. Gak mudah loh ngeluarin kamu. Gini-gini juga Mamah kamu."
Fara terkekeh. "Gue perhatiin, dia duplikat Mas Hafiz banget sih May."
"Emang iya, gue cuma nyewain perut sama ngerasain sakitnya doang. Padahal dapet sedikit aja gue udah bersyukur. Dikira yang bikin Mas Hafiz doang apa?" Maya mencebik kesal, dirinya masih tidak terima karena sang anak lebih mirip suaminya.
Fara terbahak mendengar gerutuan Maya. "Dibikin-dibikin, mulut lo May, dikira bikin kue apa?"
"Begitu adanya, dia itu hasil dari adonan gue sama Mas Hafiz, harusnya mirip keduanya dong?" Maya masih bersikeras.
"Udah sih. Lagian bagus kalau mirip Mas Hafiz, lebih kalem. Gak kebayang kalau mirip lo."
"Gini-gini gue emaknya."
"Pokoknya kalau udah besar nanti, kamu harus jadi jagoan yang kalem, lemah lembut, penyayang, biar banyak cewek yang naksir." Pesan Fara pada si kecil, dan langsung mendapat protes dari Maya.
"Please Fara. Anak gue otaknya masih suci, gak usah ngomong aneh-aneh. Bahaya kalau dia terkontaminasi bahasa aneh lo."
"Dih gak ngaca." Fara membalikkan fakta, sebelum keduanya kembali tertawa bersama.
Di lain sisi, tepatnya di sebuah sofa pojok ruangan. Hafiz dan Alvin yang sebelumnya memilih menghindar dari dua wanita yang berbeda tapi sama itu, malah asik menjadi penonton setia dari ulah istri-istrinya.
"Bukan mereka namanya kalau gak bikin ulah." Hafiz terkikik geli melihat sikap istri dan sahabatnya itu. "Tapi kayaknya dunia bakalan sepi deh kalau mereka gak berulah."
Alvin terkekeh, dalam hati ia menyetujui apa kata Hafiz. Terutama tentang Fara. Istrinya itu akan menjadi pribadi pendiam dan tidak banyak bicara saat bersamanya, dan menjadi si manja dihadapan keluarganya. Sedangkan diluar sana Fara adalah wanita yang ramah dan berwibawa. Berbeda jauh saat bersama Maya sahabatnya, istrinya itu menjadi sosok yang bebas dan ekspresif. Seperti saat ini.
Sejauh ini Alvin masih belum tau banyak tentang Fara, meskipun mereka cukup lama hidup bersama. Karena adanya jarak yang sengaja diciptakan, membuatnya seakan acuh dan tidak peduli. Namun bukan berarti dirinya benar-benar awam tentang Fara. Karena ada kalanya juga Fara melakukan hal-hal yang membuatnya sedikit demi sedikit tau dan memahami karakter wanita itu. Termasuk sisi keibuaanya, yang saat ini sedang Fara tunjukan. Memang bukan yang pertama, tapi entah kenapa hatinya selalu menghangat, saat Fara bersikap seperti itu. Manis sekali!!!
"Hari ini saya baru tau, arti sebenarnya dari perjuangan." Hafiz kembali membuka suara. "Perjuangan yang paling luar biasa, dan hanya seorang ibu yang bisa melakukannya." Pandangannya beralih pada Maya yang tengah tertawa bersama Fara.
"Mata saya jadi saksi, saat rasa sakit yang menyiksa menguasai tubuhnya. Bahkan nyawanya menjadi taruhan demi menghadirkan nyawa baru yang kami tunggu-tunggu. Sebelum itu, dirinya juga selalu menjaga dan membawa si kecil saat masih dalam kandungan. Dan masih banyak hal lagi, yang hanya seorang ibu merasakannya. Tapi katanya rasa sakitnya terbayar saat si kecil ada dalam dekapannya." Hafiz kembali mengingat bagaimana perjuangan Maya untuk putra mereka. Semenjak istrinya hamil sampai melahirkan.
Dengan seksama Alvin mendengarkan Hafiz yang bercerita tentang perjuangan Maya. Dirinya membenarkan, tentang besarnya perjuangan seorang ibu. Maka dari itu dengan sebisa mungkin dirinya selalu menghormati sang Bunda.
"Liat luka ini!" Hafiz menunjukan luka cakaran ditangannya yang merukapakan karya sang istri.
Alvin bergidik ngeri. "Sakit Mas?" Tanyanya serasa mengamati luka-luka tersebut.
Hafiz bergeleng. "Gak sebanding sama sakitnya Maya pas ngelahirin tadi."
"Pasti Mas."
"Saya yakin semua suami pasti akan merasakan apa yang saya rasakan. Termasuk kamu."
Alvin terperangah mendengar ucapan Hafiz. Dirinya tidak lupa akan statusnya saat ini, namun saja untuk merasakan apa yang Hafiz rasakan, dirinya belum berpikiran ke arah sana. Tapi, bukankah hal yang pasti dirinya akan merasakan juga? Satu kenyataan yang baru ia sadari.
"Seperti apapun dia, dia adalah istri saya, wanita yang saya sebut namanya dalam ijab kabul. Dan sekarang menjadi ibu dari anak saya. Tidak ada alasan untuk menyakitinya, karena saya tau perjuangan apa yang dia lakukan untuk saya. Sebisa mungkin untuk menjadikannya yang pertama dan terakhir." Sekilas Hafiz menatap Alvin. "Dia takdir saya."
"Kenapa Mas yakin?"
"Karena dia istri saya. Siapapun dia? Seperti apapun dia? Atau alasan kita bersama? Dialah takdir saya. Tuhan punya cara dalam mempertemukan takdir hambanya." Hafiz menjeda ucapannya. "Seperti kamu bersama Fara."
Sejenak Alvin termenung, kata-kata Hafiz barusan menjadi tamparan keras bagi dirinya. Karena selama ini ia menghindari takdir yang tidak bisa untuk dihindari. Kemungkinan memang Fara lah takdirnya, egois yang besar telah membutakan. Dalam artian, itu adalah masa lalunya yang sulit untuk terlupakan. Karena bisa dikatakan, tidak ada yang salah dalam perjodohan ini. Begitu pun dengan Fara yang menjadi istrinya. Hanya karena, semua yang dianggap serasa tiba-tiba, dan keadaan hatinya yang belum siap sepenuhnya. Alasan klasik!
..........
"Tehnya A." Fara mengulurkan segelas teh hangat kepada Alvin yang langsung diterimanya.
"Makasih." Sedikit demi sedikit Alvin menyesap teh hangat tersebut, seraya menikmati suasana taman rumah sakit yang cukup rimbun dan ramai.
Ya, keduanya sepakat untuk keluar sebentar, karena perut mereka yang lapar. Selain itu mereka juga tidak ingin mengganggu Maya yang sedang beristirahat.
"Kalau mau kita ke kantin dulu. Sarapan disana." Fara memberi tawaran, mengingat keduanya sama-sama belum sarapan.
"Nanti aja."
"Atau mau pulang duluan gak apa-apa. Aku masih disini, nungguin Mas Hafiz balik, atau sampai orang tua mereka datang." Fara memberi tawaran lain, tapi sepertinya suaminya itu enggan untuk menjawab. Entah apa maksud dibalik diamnya? "Maaf."
"Untuk?"
"Udah ngerepotin pagi-pagi." Ucapnya, dengan rasa bersalah.
Alvin menatap sekilas Fara disampingnya. "Nothing." Jawabnya acuh, sebelum kembali mengalihkan perhatiannya. "Se-care itu yah?" Tanyanya, mengalihkan topik pembicaraan.
"Ehh-ehh kenapa?" Fara tergugu, karena tidak paham maksud Alvin.
"Sama Maya?" Tanya Alvin singkat, membuat Fara membutuhkan waktu untuk menjawabnya.
'Kebiasaan banget kalau nanya gak pernah tuntas?' batin Fara menggerutu.
"Gak ada alasan buat gak care sama temen sendiri."
"Padahal gak selamanya temen itu ngelakuin apa yang kita lakuin."
"Bukan pertemanan namanya, kalau mengharap balasan." Seperkian detik suasana kembali hening, sebelum akhirnya Fara kembali bersuara. "Udah jadi kodratnya, sesama mahluk hidup itu berteman. Karena hidup ini gak bisa sendirian." Fara menjeda. "Apapun yang kita lakukan, itu udah jadi naluri tersendiri, biarpun diakhir kita mendapat kekecewaan, gak masalah yang jelas niat awal kita baik. Urusan balasan, biar Tuhan yang tentukan." Kata-katanya barusan sebenarnya adalah gambaran dari hubungannya saat ini. Mengingat hubungan mereka yang berjalan sebagai teman. Sejak awal niatnya keduanya memang untuk memperbaiki pernikahan yang tanpa perkenalan itu. Dan berharap semuanya berjalan sesuai harapan. Semoga Tuhan mengabulkan.
"Bagaimana dengan pertemanan kita?" Mendengar ucapan Fara membuatnya teringat akan hubungan teman yang ia usulkan dan dijalankan.
"Kenapa nanya itu? Selama ini baik-baik aja kan?"
"Sampai kapan?" Bukannya menjawab, Alvin malah kembali bertanya.
"Apanya?" Fara belum paham.
"Teman?"
"Tergantung kamu A. Karena aku siap kapanpun untuk melanjutkan hubungan kita dan menjalankannya dengan seharusnya."
"Kamu masih mau menunggu?"
"Selagi aku di kasih waktu, kenapa tidak? Tapi jangan terlalu lama, karena menunggu bukanlah hal yang menyenangkan."
"Aku masih butuh waktu untuk menerima sepenuhnya."
Fara meringis, ternyata suaminya masih belum menerima sepenuhnya. "Nothing. Asal bisa memanfaatkan waktu yang ada."
Alvin mengangguk ragu. Karena sejauh ini hatinya belum benar-benar menerima."Aku usahakan."
Dalam beberapa waktu mereka terdiam, keduanya kembali tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Yang jelas pemikiran mereka sama, tentang hubungan yang di anggap rumit untuk dijalani, padahal semuanya tidak akan rumit, jika mereka tidak memperumit.
"Kamu gak tergiur?"
"Apa?" Fara mengikuti arah pandang Alvin. Tepat beberapa meter didepannya ada sebuah keluarga kecil yang sepertinya sedang menunggu kehadiran anggota baru dikeluarga mereka. "Bohong besar kalau aku bilang enggak." Fara terkekeh diakhir jawabannya. Lagipula dia wanita dewasa dan bersuami, salah satu keinginannya adalah untuk memiliki keturunan, dan memiliki keluarga yang bahagia adalah impian terbesarnya.
Alvin sendiri membenarkan apa kata Fara, dirinya juga memiliki keinginan besar untuk menjadi seorang Ayah. Apalagi setelah mendengar cerita Hafiz tadi, keinginannya semakin besar, dan berharap semoga segera terlaksana.
"Apa kamu siap ..." menjadi ibu dari anak-anak aku?' Alvin menggantung pertanyaannya dan malah melanjutkannya dalam hati. Lagipula mana berani dirinya mengatakan hal itu. Ditakutkan dirinya hanya memberi harapan yang belum pasti dan membuat Fara tersakiti.
Seakan paham kemana arah pembicaraan suami nya, Fara serega menyela ucapan Alvin.
"Kamu tau kan A, sejak awal aku selalu siap. Karena memang udah keharusan juga. Tapi kamu sendiri yang bilang, kita masih butuh waktu. Secara perlahan kita jalani dan nikmati prosesnya." Dirinya berusaha tidak egois, Karena pernikahan ini bukan hanya dirinya sendiri yang menjalani. Sebagai istri yang baik, ia hanya mengikuti jalan seperti apa yang akan dipilih suaminya. Selagi itu demi kebaikan hubungan mereka. Itu tidak masalah, biarpun memakan waktu lama.
"Karena semua waktunya, sudah diatur." Ya, dirinya hanya menunggu waktu untuk menuai makanya hasil perjuangan.
"Hhmm." Mulutnya seakan terkunci, tidak mampu membalas ucapan sang istri. Karena tiba-tiba perasaan bersalah menghantam hatinya.
Payah!
Alvin mengumpat pada dirinya sendiri. Sejauh ini hanya Fara yang berjuang, karena dirinya hanya mampu meminta Fara menunggu, tapi sendirinya tidak melakukan apa-apa. Dalam artian selama ini dirinya hanya membuang-buang waktu Fara.
Dasar egois!
Beraninya memberi keyakinan, tanpa melakukan pembuktian. Tanpa disadari, apa yang dilakukannya akan menyebabkan sepasang hati tersakiti.