Hidup selalu berjalan tidak mulus. Selalu ada rintangan di setiap jalan. Namun, separah apa pun rintangan itu, ingatlah satu hal. Jangan pernah menyerah. Karena Tuhan memberikan manusia cobaan agar manusia semakin kuat, bukan semakin lemah.
***
Seorang gadis menggunakan seragam SMP itu baru saja keluar dari kelas. Ia adalah Shila Nashyta Winata. Ia lalu pergi ke belakang sekolah. Ia mencari tempat yang sepi dan aman dari CCTV.
Setelah merasa aman, ia lalu mengeluarkan bungkus rokok dan mulai menghisapnya. Ia memang sangat nekat merokok di area sekolah. Tapi, ia sudah terlanjur. Rokok itu sudah menjadi candu untuknya sejak kepergian Ayahnya.
Cara Shila mengatasi kesedihannya memang salah. Ia frustasi dan melampiaskannya ke rokok yang merupakan perbuatan buruk. Setelah Ayahnya meninggal, perusahaan Ayahnya bangkrut dan Luna-Mamanya Shila harus menjadi single parent. Luna terpuruk hingga tak mengurus anak-anaknya.
Shila merasa sendirian, ia hanya punya Viona yang menemaninya. Viona yang masih anak kecil. Shila menjadi seorang Kakak menggantikan peran seorang Ibu. Luna menjadi sibuk karena memulai bisnis butiknya dari 0 hingga tak ada waktu untuk keluarga. Oleh karena itulah, Shila merasa sendiri dan bertahan demi Viona. Ia melampiaskan beban pikirannya pada rokok. Setelah merokok ia merasa jauh lebih tenang. Namun, cara itu salah hingga membuatnya terjerumus dalam penyakit mematikan.
Shila mematikan rokok itu dan membuangnya. Ia sudah merasa cukup puas. Setelah itu, ia bangkit dari tempat duduknya dan berniat menemui Alana, Nara dan Zanna yang sedang berada di kantin. Ya, sabahat-sahabat Shila tidak ada yang tahu soal Shila merokok. Shila selalu menyembunyikan setiap masalahnya pada mereka.
Setelah berdiri, Shila merasa cukup pusing. Ia duduk kembali sambil memegangi dadanya yang sesak. Setelah keadaannya kembali normal, ia pergi dan menganggap hal yang baru saja terjadi adalah hal biasa.
Setiap hari, Shila semakin sering merasa lemas. Apalagi kurangnya perhatian dari Luna membuat berat badannya juga semakin menurun. Saat itu juga Bi Itoh dan Mang Baplang diberhentikan dahulu oleh Luna karena belum sanggup membayar gaji. Hingga Shila benar-benar mengurus dirinya sendiri dan Viona.
Saat ini Shila akan menyebrang di jalan yang sudah lampu merah. Namun, ketika dipertengahan jalan kepalanya terasa pusing. Semakin pusing hingga Shila pingsan. Shila pingsan tepat di depan mobil seorang dokter muda yang sedang berhenti menunggu lampu hijau kembali. Dia adalah Sean Axelional.
Melihat gadis itu pingsan, Sean langsung keluar dari mobilnya dan meminta orang-orang yang akan menolong Shila untuk memasukkan Shila ke dalam mobilnya. Melihat Sean yang mengenakan jas dokter, orang-orang langsung percaya pada Sean dan memasukkan Shila ke mobilnya.
Shila dibawa ke rumah sakit Sean. Merasa ada yang ganjal, Sean mengambil sampel darah Shila untuk diperiksa.
Setelah beberapa menit akhirnya Shila sadar. Sean duduk di kursi samping ranjang Shila. Sean sudah memeriksa keadaan Shila yang mulai membaik.
"Kenapa aku bisa ada di sini?" tanya Shila yang kebingungan.
"Tadi kamu pingsan. Bagaimana keadaanmu?"
"Cukup baik. Dokter yang menolongku?" Sean mengangguk sambil tersenyum.
"Wah, makasih Dokter Ganteng." Sean melihat Shila ini tipe gadis yang ceria.
"Nama saya Sean."
"Aku Shila," ucapnya sambil mengulurkan tangganya. "Masa kenalan gak jabat tangan, sih."
Sean menerimanya sambil tersenyum. Sean lalu mulai menanyakan gejala apa yang sering Shila rasakan. Shila menceritakan sering pusing, sesak dada, bahkan pernah batuk mengeluarkan darah.
Sean akhirnya mengajak Shila untuk melakukan rontgen dada. Shila menurut saja. Setelah selesai, Shila kembali ke ruangannya bersama Sean.
"Apa kamu tidak mau menghubungi keluarga kamu dulu?"
"Untuk apa? Sekarang juga Shila bisa pulang, kan?"
"Bisa, tapi besok kamu harus ke sini lagi untuk melihat hasilnya."
"Apa ada hal yang serius, Dok?"
"Besok kamu akan tahu. Mulai sekarang jangan pernah merokok lagi."
Shila terkejut karena Sean mengetahuinya. "Dokter tau? Dok tolong jangan bilang siapa-siapa."
"Asal kamu berhenti merokok. Masih banyak cara untuk melampiaskan kesedihan. Jangan sampai kamu malah merusak kesehatanmu. Kondisi fisik seseorang itu beda-beda, belum tentu tubuh kamu kuat menerima efek dari rokok."
Shila hanya menunduk dan sadar akan kesalahannya. "Makasih, Dokter Sean."
"Punya ponsel?" Shila langsung mengangguk.
"Ketik nomormu biar saya mudah menghubungi kamu, Shila." Sean memberikan ponselnya dan Shila mengetik nomornya.
"Ohh, iya berapa biayanya, Dok? Apa boleh ngutang dulu? Dokter tenang aja Shila gak akan kabur. Kredit boleh, Dok?"
Sean tertawa gemas melihat Shila. "Sudah, Shila tenang saja. Ayo, saya antar pulang. Takutnya orang tua kamu nyari kamu."
***
Tiba waktunya Shila kembali ke rumah sakit untuk melihat hasil pemeriksaannya. Ia dijemput pulang sekolah oleh Sean. Sebelum ke rumah sakit, Sean mengajak Shila makan terlebih dahulu di restoran.
Shila merasa senang seperti memiliki seorang Kakak. Sean selalu baik kepadanya. Bahkan Sean sering menanyakan kabarnya walaupun lewat chat. Setelah makan pun Shila banyak cerita pada Sean. Cerita banyak hal tentang ia di sekolah. Sean menjadi orang sabar yang selalu mendengarkan ocehan Shila.
"Kalo Shila cerita soal keluarga Shila, apa Dokter mau mendengarkannya juga?"
Shila merasa berbagi cerita dengan Sean membuatnya jauh lebih lega. Sehingga, ia ingin terbuka soal keluarganya.
"Tentu saja."
Shila tersenyum dan mulai menceritakan hidupnya dari mulai Ayahnya meninggal. Sean ikut merasakan kesedihan Shila.
"Makasih udah mau jadi pendengar yang baik untuk Shila," ucapnya setelah selesai bercerita.
"Kamu jangan merasa sendiri lagi Shila. Jika kamu butuh teman cerita, saya akan siap menjadi pendengarnya. Dan mulai sekarang, anggaplah saya seperti Kakakmu sendiri. Panggil saya Kak Sean."
Mata Shila langsung berbinar dan merasa senang. "Siap, Kak Sean! Shila jadi tau gimana rasanya punya seorang Kakak laki-laki. Sangat menyenangkan."
Setelah selesai bercerita, mereka pun pergi ke rumah sakit.
Saat ini mereka sedang di ruangan Sean. Sean sudah mendapatkan hasil pemeriksaannya dari lab. Ada rasa kecewa dan sedih dari raut wajahnya.
"Kenapa, Kak Sean?"
"Shila, kamu..." Hati Sean terasa sakit untuk menyampaikan berita ini.
"Kamu menderita kanker paru-paru stadium awal." Mata Sean berkaca-kaca. Shila yang baru usia 14 tahun itu harus menghadapi penyakit kanker.
Shila cukup tahu dengan penyakit kanker yang sering merenggut nyawa seseorang. Air matanya mulai menetes.
"Kamu tenang dulu Shila, ini masih stadium awal. Kita bisa melakukan pengobatan. Kanker kamu bisa diobati."
"Siapa yang bisa tenang divonis penyakit kanker? Walaupun baru stadium awal, itu tetap penyakit kanker yang mematikan. Bentar lagi juga Shila mati," ucapnya sambil diakhiri tawaan hambar.
Shila lalu pergi dari ruangan Sean. Sean tak mengejarnya karena ingin membiarkan Shila menenangkan pikirannya. Sean mengerti setelah ini hidup Shila tidak akan bebas dari obat. Untuk bertahan hidup, Shila akan mengkonsumsi obat setiap hari. Belum lagi Shila harus melawan gejala kanker yang akan membuatnya kesakitan.
Sean yang waktu itu baru berumur 22 tahun, ia baru saja selesai menempuh pendidikan S1 di Amerika. Niatnya dia ingin melanjutkan S2 di sana lagi. Tetapi, melihat kondisi Shila, ia memutuskan melanjutkan pendidikannya di Indonesia sambil bekerja di rumah sakit. Ia rasanya tak tega jika harus meninggalkan Shila. Sean juga yang akan membiayai pengobatan Shila.
***
Shila berjalan gontai dengan pikiran kemana-mana. Shila merasa menyesal telah menghancurkan hidupnya. Shila takut tak kuat melawan penyakit kanker. Apakah ia akan sanggup? Memikirkannya saja sudah membuatnya ingin menyerah.
Bruk
Shila terjatuh karena bertabrakan dengan tubuh seorang anak laki-laki seusia. Anak laki-laki itu mengulurkan tangannya dan membantu Shila berdiri.
"Maaf, gue gak sengaja."
Shila hanya mengangguk sambil membersihkan telapak tangannya. Begitu ia mengangkat wajahnya, tatapannya bertemu dengan anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu langsung membuang muka dan melanjutkan jalannya.
Shila melihat dengan jelas bahwa matanya merah. Terlihat jelas bahwa anak laki-laki itu telah menangis. Shila merasa penasaran dan mengikuti jalannya. Anak laki-laki itu berhenti di minimarket dan membeli banyak cemilan. Shila sampai mengikutinya ke dalam. Merasa dirinya diikuti, ia menoleh dan membuat Shila langsung menjauh agar tidak ketahuan.
Shila pura-pura akan berbelanja agar tidak dicurigai pembeli yang ada di sana.
"Dek, mau beli tespek?" tanya salah satu ibu-ibu. Ibu itu melihat pakaian Shila yang masih mengenakan seragam SMP.
"HAH! NGGAK!" Saking tidak fokusnya Shila sampai tak tahu bahwa ia berada di depan rak dengan berbagai jenis tespek.
Shila langsung kabur karena takut disangka yang tidak-tidak.
"Masih SMP tapi udah hamidun," cibir Ibu itu yang melihat Shila kabur.
Melihat anak itu sudah keluar, Shila mengikutinya lagi, untung saja ia tak kehilangan jejak. Kali ini anak itu berhenti di warung makan dan membeli banyak nasi bungkus.
Shila merasa bingung karena anak itu membeli banyak makanan. Apakah perutnya cukup untuk menghabiskan semua itu?
"Buset, ganteng-ganteng perut gentong," gumam Shila.
Setelah selesai, anak itu kembali melanjutkan jalannya. Dia berhenti di tempat anak jalanan yang sedang memungut sampah. Dia lalu membagikan makanannya. Para anak jalanan yang terdiri dari anak SD, bahkan SMP seperti Shila, mereka terlihat begitu senang. Anak laki-laki itu pun terlihat ikut senang. Bahkan mereka saling bercanda gurau dan tertawa bersama.
Shila tersenyum melihat anak laki-laki itu tertawa. Shila juga merasa kagum dengan cara dia melampiaskan rasa sedihnya. Shila juga ikut merasa bersyukur karena masih banyak orang yang hidupnya lebih malang dari Shila. Shila seperti merasa mendapatkan semangat hidup baru.
Sebuah mobil mewah berhenti di depan anak-anak itu. Sang pengendara keluar menghampiri anak laki-laki itu.
"Den, untung aja Aden ada di sini. Saya udah nyari-nyari Aden takut Aden ilang," ucapnya dengan raut wajah panik.
"Kenapa pergi sendiri? Kan bisa saya anterin."
"Gak pa-pa, kok. Lebih seneng pergi sendiri."
"Ya, sudah, Den. Mau pulang sekarang?"
"Iya." Anak itu lalu berpamitan dulu kepada anak-anak jalanan. Mereka saling berpelukan dan ntah apa yang anak laki-laki itu ucapkan karena intonasinya pelan. Shila tak bisa mendengarnya. Tapi mereka terlihat sedih. Anak laki-laki itu pun pergi.
"Aku jadi sadar, sehancur apapun kita, seterpuruk apapun kita, kita gak boleh melampiaskan kesedihan itu ke hal negatif karena akan berakibat negatif. Sedangkan, kalo melampiaskan ke hal positif, maka akan berakibat positif juga. Aku jadi bersyukur banyak hidupnya yang lebih menyedihkan dari aku."
"Ohh, iya namanya siapa, ya? Ahh, bodoh banget tadi gak baca nametag nya."
Sejak saat itu, Shila tak pernah bertemu dengannya lagi. Menurut informasi yang Shila tanyakan pada anak jalanan, anak laki-laki itu pindah ntah kemana. Shila selalu berharap bisa bertemu dengan dia lagi. Dia yang menjadi semangat hidupnya. Shila menyebutnya My Prince.
Hidup Shila mulai membaik. Usaha butik Luna mulai berjalan maju. Saat Shila masuk SMA, butik Luna sudah memiliki beberapa cabang. Luna juga memiliki banyak karyawan dan memperkerjakan Bi Itoh juga Mang Baplang lagi. Luna menjadi punya waktu untuk Shila dan Viona. Keluarga Shila pun kembali bahagia walaupun tanpa sosok seorang Ayah.
Kini masalah yang selalu ia hadapi adalah penyakitnya. Shila menjadi sadar bahwa kesehatan adalah hal utama yang harus disyukuri. Shila menyembunyikan penyakitnya dari semua orang termasuk Luna karena ia tidak ingin membuat mereka sedih.
***
Shila Nashyta Winata
Jangan lupa vote and komen.
*Telah diperbaharui.