Sebelumnya aku mau jelasin dulu.
Untuk beberapa part ke depan, aku akan bahas kisah Joy. Kalau aja ada yang masih belum paham hehe:)
Oh iya! Kritik dan sarannya juseyo~~!
Terima kasih!
Selamat membaca, ma lovely-!✨💜
━━━━━━━━━━━━━━━━
"Bas, aku mau pinjam mobil."
Pria itu menyesap kopi sambil membaca majalah yang merupakan rutinitasnya setiap pagi, seperti bapak-bapak.
"Tidak boleh. Nanti mobilku rusak lagi," ucap Sebastian tanpa mengalihkan pandangannya dari majalah.
"Percayalah kepadaku, skill mengemudiku sudah bagus. Kau tidak perlu khawatir lagi."
Sebastian menutup kemudian meletakkan majalah ke atas meja. "Kau mengatakan hal yang sama semalam, sebelum kau merusak mobilku. Itu pun kalau kau ingat."
Joy hanya cengar-cengir.
"Memangnya kau mau ke mana?" tanya Sebastian.
"Ke rumah Bibi Sofia."
Mendengar nama itu disebutkan, Sebastian menyipitkan matanya. "Bibi Sofia? Kau yakin? Di rumahnya 'kan a—"
"Aku tahu, maka dari itu aku harus ke sana."
"Buat apa?"
"Ayah menyuruhku untuk menemui dan menjemput mereka."
"Sebentar. Ayah? Maksudmu paman Benedict?"
Joy mengangguk.
"Bukankah dia ada di rumah sakit jiwa?"
Joy mengeluarkan surat yang ada di tas selempang, lalu dia berikan kepada Sebastian. Surat itu berisikan pernyataan resmi, bahwa Benedict diperbolehkan pulang.
Yang Joy pikirkan sekarang, jika Benedict pulang lalu keluarganya yang lain kembali berkumpul, mereka akan tinggal di mana? Sementara rumah yang mereka tinggali dulu dijadikan pelunas hutang yang menumpuk.
"Bas, kau punya rumah kosong tidak?"
"Punya, kenapa?"
"Aku mau menyewa rumahmu, boleh ya? Untuk biayanya, nanti akan aku usahakan."
"Buat apa menyewa rumah? Kau tinggal saja di rumahku. Gratis," bujuk Sebastian, "lagi pula kalau kau pindah, nanti siapa yang mengurus rumah dan segala yang kubutuhkan?"
Joy menatap pria itu datar. Dia sangat paham apa maksud Sebastian. "Kau berkata seperti itu seolah aku ini pembantumu."
"Santai, aku hanya bercanda," kekeh Sebastian. Jangan lupakan gummy smile andalannya.
Pria itu meraih dompet yang tergeletak di atas meja, dia mengambil sebuah kartu lalu dia berikan kepada Joy.
"Itu kartu akses apartemenku. Lebih baik kau tinggal di sana, lebih dekat."
"Bukan aku yang akan tinggal di sana."
Sebastian mengangkat alis sebelah. "Lalu siapa?"
"Ayahku."
Pria itu ber-oh ria. Dia beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju kamar.
"Hei, berikan kunci mobilnya!"
"Tidak mau! Nanti mobilku rusak lagi!" sahut Sebastian dari dalam kamar.
"Kalau begitu antar aku ke rumah Bibi Sofia."
Tidak ada sahutan dari pria berkulit pucat itu.
"Bas, kau tidak mendengarkan aku?!"
Sebastian pun keluar dari kamar dengan kaos hitam dengan celana jeans yang berwarna senada. Dia juga menyampirkan jaket kulit di pundaknya.
"Sheryl ikut 'kan?" tanya Sebastian semangat.
"Tentu saja tidak! Dia 'kan kuliah."
Seketika hati Sebastian mencelos. Dia tidak bisa bertemu dengan perempuan cantik itu sekarang, padahal dia sangat ingin bertemu.
"Oh my gosh! Sepupuku ternyata menyukai teman lamanya." Joy tertawa puas.
"Tutup mulutmu atau kau tidak kuantar ke rumah Bibi Sofia."
"Baiklah ... baiklah."
🅔🅟🅘🅟🅗🅨🅣🅔
Setelah melewati perjalanan yang cukup jauh, akhirnya Joy dan Sebastian pun sampai. Mereka masih di dalam mobil sambil memandang rumah dengan dua lantai di depan mereka.
Joy sedikit gugup, ini pertama kalinya dia datang setelah kembali dari Jepang. Dia takut jika mereka masih membencinya.
"Jika kau masih takut, biar aku saja yang menemui mereka. Kau tunggu di sini."
Joy menggeleng seraya berkata, "Tidak perlu. Aku tidak takut lagi dengan mereka."
"Dan aku tahu kau berbohong."
"Ck! Seharusnya kau mengatakan sesuatu yang membuatku semangat, bukan yang membuatku jadi semakin takut."
Sebastian mengangkat kedua jempolnya dengan malas. "Semangat," ucapnya datar.
"Terima kasih, tapi itu sama sekali tidak membantu." Joy keluar dari mobil lalu berjalan menuju rumah itu.
Sementara Sebastian merasa sedikit kesal. "Katanya tadi mau diberi semangat, tapi setelah aku semangati, balasannya seperti itu. Dasar perempuan, maunya apa?" gerutu Sebastian keluar dari mobil. Dia menyusul Joy yang sudah ada di depan teras.
Tok! Tok! Tok!
Sebastian menertawakan aksi Joy yang mengetuk pintu. Orang yang ditertawakan pun menatap tajam.
"Apa yang lucu?"
Pria itu tidak menjawab, dia masih tertawa lalu memencet sebuah tombol yang berada di sebelah pintu.
"Ini ada bel, tapi kau justru mengetuk pintu."
Joy mendengus kesal. Dia juga heran kenapa dia tidak melihat keberadaan bel itu, padahal warnanya sangat mencolok.
Tak lama kemudian, pintu terbuka dan muncullah seorang pria yang tinggi. Pria itu tampak terkejut dengan kehadiran mereka.
"J-Joyi? Kau kah itu?"
Panggilan itu, Joy sangat merindukannya. Sudah lama dia tidak mendengar seseorang menyebut namanya dengan panggilan itu.
"Iya, ini aku. Bagaimana kabarmu?"
Alih-alih menjawab, atensi pria itu beralih ke Sebastian. Dia tampak bingung.
"Kau siapa?" tanya pria itu heran.
"Wah! Kau tidak ingat denganku? Aku ini Sebastian!"
"Bastian? Kau sangat berbeda. Dulu kau gendut, dan sekarang ...."
"I'm diamond, you know I'm glow up," ucap Sebastian sembari menyibak rambutnya ke belakang, sehingga terpampanglah jidat pucat paripurnanya.
"Kau ini terlalu percaya diri," cibir Joy.
Sebastian mengangkat bahu acuh. Mata sipitnya menatap ke pria yang ada di hadapannya. "Sampai kapan kita berdiri di sini? Kakiku lelah berdiri."
"E-Eh ... silakan masuk."
Mereka pun masuk kemudian duduk di ruang tamu. Pria itu pergi ke dapur sebentar, lalu kembali lagi dengan nampan yang penuh dengan minuman dan makanan.
"Bagaimana kabarmu, Kak Lukas?" tanya Joy tersenyum tipis.
Lukas menghela napas panjang, dia menatap adiknya yang lama tidak dia temui. Semenjak Joy memutuskan untuk pergi ke Jepang, Lukas tidak pernah bertemu dengan adiknya itu. Padahal dalam hatinya, dia sangat ingin bertemu, tapi terhalang oleh ibunya.
"Sejauh ini aku baik-baik saja secara fisik."
Joy mengernyit. "Maksudnya?"
"Secara batin, aku sedikit tertekan. Ibu selalu menuntutku untuk bekerja lebih keras, walaupun itu memang untuk kebaikanku. Namun, ibu menuntut terlalu berlebihan."
"Jadi ibu tidak berubah ya?" tanya Joy pelan.
Lukas mengangguk pelan. "Tetapi ... satu tahun terakhir, ibu tidak seperti biasanya. Sesekali dia merenung sambil menangis, aku tidak tahu apa yang dia pikirkan."
"Dia sakit?"
"Tidak," jawab Lukas menggeleng, "kurasa."
Hening menyelimuti mereka. Lukas dan Joy bergelut dengan pikiran mereka masing-masing, sementara Sebastian sibuk memakan cemilan yang disuguhi oleh tuan rumah. Dari pada diam saja, lebih baik makan, pikirnya.
"Joyi," panggil Lukas pelan.
Perempuan itu menoleh.
"Aku merindukanmu."
Brusshh!
Sebastian menyemburkan air dari dalam mulutnya, dia juga sedikit tersedak.
"Astaga! Kau jorok sekali!" seru Joy yang sedikit terkena semburan air itu.
"Aku terkejut mendengar perkataan Lukas," ucap Sebastian mengelap mulutnya.
"Memangnya kenapa? Salah?"
Pria itu menggelang. "Tidak. Hanya saja ... kau tahu lah maksudku."
Lukas menunduk, dia paham maksud pria itu.
Jadi dulu sejak duduk di bangku SMA, Lukas mulai tidak peduli dengan adiknya. Terkadang dia bersikap dingin dan kasar. Dia melakukan itu karena merasa iri kepada Joy, karena saat itu Joy mendapat perhatian yang lebih dari orang tua mereka berdua.
Lukas mengetahui tentang aksi kekerasan di sekolah yang dialami Joy, tapi dia hanya diam. Tidak ada niatan untuk menolong karena sikap tidak pedulinya sudah mendarah daging.
Hingga tiba saatnya Joy menolak perjodohan yang dilakukan ayahnya, yang membuat dia mendapat perlakuan yang sangat buruk dari kedua orang tuanya, dan saat itu juga Lukas merasa senang melihat penderitaan Joy. Karena menurut dia, Joy adalah sebuah parasit yang membuat kebahagiaannya lenyap.
Namun, setelah Joy pergi ke Jepang meninggalkan keluarganya yang berada di dalam keterpurukan, Lukas menyesali perbuatannya. Saat itu dia sadar betapa pentingnya kehadiran Joy dalam hidup Lukas. Hanya Joy yang dapat membawa ketenangan ketika keluarganya di ambang kehancuran. Tetapi semuanya terlambat, hanya penyesalan yang tertinggal.
"Maafkan aku, seharusnya ak—"
"Ssstt ... tidak perlu dibahas lagi. Semua itu hanya masa lalu," ujar Joy memotong pembicaraan kakaknya, "lagi pula aku sudah memaafkan kalian."
Lukas tersenyum tipis, lalu berkata, "Kau bersikap seperti ini membuatku semakin merasa bersalah dan menyesal. Aku sangat bodoh waktu itu."
"Penyesalan itu wajar. Setidaknya kau sudah sadar bahwa yang kau lakukan itu salah."
Tiba-tiba Sebastian terkekeh. "Lihatlah, Luk. Adikmu lebih dewasa dari pada kau," celetuknya.
"Bisakah kau diam? Kau hanya merusak suasana," desis Joy menyenggol bahu pria itu.
"Apa yang dikatakan Bastian itu benar, Joyi," timpal Lukas.
Joy mengibas-kibaskan tangannya di udara. "Sudahlah, tidak perlu dibahas lagi. Sekarang, di mana ibu?"
"Kau mau bertemu dengannya?" tanya Lukas.
Joy mengangguk mantap.
"Baiklah, ikuti aku."
Mereka pun berjalan menuju sebuah ruangan yang berada di sebelah selatan rumah. Setelah sampai di depan ruangan itu, Lukas memasukkan pin untuk membuka pintu.
Joy terheran, kenapa pintu ruangan ini sangat canggih sampai memakai password berupa pin yang biasanya dipakai di apartemen.
Saat pintu terbuka, mereka bisa melihat sosok wanita paruh baya yang duduk di kursi sambil menatap ke arah jendela dengan tatapan kosong. Tubuh wanita itu kurus dan rambutnya sedikit memutih.
Joy tidak percaya melihat kondisi ibunya yang bisa dibilang jauh dari kata baik-baik saja. Sebenarnya apa yang terjadi dengan ibunya?
"I-Ibu ...."
«○●○»
To be continue ....