⋆˚☼₊°
Lantunan Through The Night milik IU terdengar lewat earphone yang menyumpal kedua telinganya. Beriringan dengan motor milik bapak ojek online yang telah bergerak menjauh dari sekolah sejak lima menit yang lalu.
Entah mengapa, walaupun gendang telinganya menghantarkan nada dan suara indah dari lagu tersebut, namun yang sampai di otaknya justru tentang percakapan mereka beberapa jam yang lalu.
"Gue penasaran deh, kira-kira background-nya dia tuh kayak gimana? Kok bisa gitu nggak masuk sekolah sama sekali." Maura yang memulai. Percakapan seperti ini memang paling pas untuk mengisi jam kosong.
Helsa menggeleng. "Nggak-nggak, gue lebih penasaran sama reaksi orang tuanya. Ortunya marah nggak sih anaknya nggak pernah masuk kek gitu?"
Della menggumam panjang. Lalu ikut bersuara. "Pengaruh lingkungan nggak sih?"
"Lingkungan gue ancur tapi gue nggak gitu, tuh. Semuanya tergantung sama diri sendiri. Kalo dia-nya kek gitu, berarti emang dia-nya aja yang nggak mau survive."
Jawaban terakhir yang diberikan oleh Hani lah yang mengganggu pikirannya saat ini. Semua teori yang dibuat oleh teman-temannya itu makin membuatnya penasaran tentang bagaimana kebenarannya.
Dan semua jawaban dari segala pertanyaan tersebut hanyalah si objek pembicaraan yang tau, alias Harsha sendiri.
Della melemparkan tubuhnya ke atas kasur berukuran queen-size miliknya. Melepas semua rasa lelah setelah menempuh kurang lebih tiga puluh menit perjalanan di bawah teriknya matahari.
Lama ia menutup kedua kelopak matanya, helaan napas berat ia keluarkan.
"Bisa nggak sih, Del, nggak usah mikirin itu lagi? Itu, kan, bukan urusan lo," ucapnya pada diri sendiri. Menyuruh otaknya untuk berhenti memikirkan kejadian hari ini.
Della beringsut duduk, hendak mengganti pakaiannya ketika sebuah ketukan terdengar dari depan pintu kamarnya.
"Della, ada telpon dari Bapak." Itu suara Uti. Pembantu di rumahnya yang sudah Della anggap sebagai neneknya sendiri.
Dengan segera, Della langsung membuka pintu dan berlari melewati Uti menuju ruang tengah. Bergegas agar yang berada diseberang, tidak menunggu terlalu lama. Kemudian ia mengambil telepon rumah yang tergeletak menunggu penerima sebenarnya.
"Halo, Pa?" Della diam menunggu balasan dari seberang sembari mengatur napasnya yang terengah.
"Halo, Della. Papa kira kamu belum pulang." Suara yang terakhir kali ia dengar tiga minggu yang lalu itu kini menyambut pendengaran.
Senyum kecil terpatri di wajahnya. "Iya, tadi ada rapat guru. Jadi pulangnya lebih cepet."
"Gimana? Kamu baik-baik aja? Nggak ada masalah, kan?" Pertanyaan yang biasa Papa berikan tiap kali mereka terpisah jauh. Entah dalam maupun luar negeri.
"Aman, Pa. Papa kalo mau telepon mending langsung ke nomorku aja. Nggak bakal ganggu kok."
"Iya, nanti Papa telepon langsung."

KAMU SEDANG MEMBACA
All We Want [?]
Fanfiction"Semua yang gue mau, semua yang lo mau, semua yang kita mau, nggak ada di dunia ini."