Musim semi, sebelas tahun yang lalu...
Angin musim semi berhembus tidak terlalu kencang. Membuat suasana terasa sejuk. Mengingatkan orang-orang jika sebelum musim di mana bunga-bunga bermekaran itu merupakan musim dingin. Musim yang mengakibatkan banyak orang memilih untuk bergelung di balik selimut yang hangat.
Sejak tadi, tatapan anak lelaki itu hanya tertuju ke arah anak-anak seusia dirinya yang tengah bermain beberapa meter di depannya. Ia ingin bergabung dan bermain dengan mereka. Namun, dikarenakan ada sebuah fakta yang tidak terelakkan, pada akhirnya anak lelaki itu pun mengurungkan niatnya. Ditambah dengan harga dirinya yang sangat tinggi membuatnya tidak ingin menghampiri mereka lebih dulu.
Di kala diri tengah larut dalam sunyi serta kesendirian, bahunya yang tiba-tiba ditepuk dari belakang membuatnya sontak berjengit kaget. Anak lelaki itu pun menoleh ke belakang untuk melihat siapa pelakunya. Namun, kala matanya menatap mata yang terlihat berbinar-binar itu seketika ia terdiam.
"Mengapa kau tidak ikut bermain?"
Gadis yang seusia dengan dirinya itu pun bertanya. Tatapannya tertuju ke arah beberapa anak lelaki sepantaran dengan mereka yang tengah bermain di depan sana.
Yang ditanya hanya diam. Toh bukan urusan gadis itu jika ia tidak ikut bermain dan hanya duduk di ayunan yang sudah mulai berkarat.
"Kalau begitu, bagaimana jika kau bermain denganku?" Gadis itu tersenyum lebar. Memamerkan deretan giginya yang tersusun rapi.
"Tidak mau."
Gadis itu tampak terkejut karena mendapatkan penolakan yang tidak ia sangka. Namun, setelahnya ia justru terkekeh dan kembali menanyakan kalimat yang sama.
"Kau tidak ingin bermain denganku? Aku baru saja pindah ke daerah ini dua hari yang lalu sehingga aku tidak memiliki teman. Apakah kau ingin menjadi teman pertamaku?" cerocosnya panjang lebar.
"Diamlah. Kau itu berisik."
Penolakan yang kedua kalinya terasa cukup membuat gadis itu tersentak. Ia hendak menanyakan kalimat yang sama lagi. Namun, gadis itu mengurungkan niatnya di kala anak lelaki yang menjadi lawan bicaranya sejak tadi memutuskan untuk pergi.
"Setidaknya beritahu namamu terlebih dahulu padaku," gerutunya.
***
Sudah dua hari berlalu semenjak ajakan pertemanan yang pertama kalinya itu. Kalimat penolakan yang kerap kali anak lelaki itu lontarkan untuknya sudah menjadi makanan sehari-hari bagi (Y/n). Bagai memakan nasi tanpa sayur apabila gadis itu belum mendengar kalimat penolakan darinya.
Di kala (Y/n) menanyakan pasal luka di wajah anak lelaki itu, gadis itu bahkan dibentak dengan lebih parah. Namun, pada akhirnya ia hanya memilih diam dan memendam rasa sedihnya seorang diri.
Setidaknya (Y/n) mengharapkan sebuah perubahan dari sikap anak lelaki itu terhadapnya. Tetapi, apa yang ia harapkan benar-benar hanya harapannya belaka. Hari ini pun masih sama saja.
Anak lelaki itu berdecak. "Urusai! Mengapa kau selalu memaksaku untuk menjadi temanmu?! Apakah kau tidak memiliki orang lain untuk dijadikan teman, hah?!"
Mendengar apa yang dikatakan olehnya, sesuatu di dalam diri (Y/n) terasa sakit. Rasa sakit yang tidak dapat ia jelaskan itu membuatnya hanya diam kala anak lelaki tadi berlalu pergi dari hadapannya.
Gadis itu meremas pakaiannya di bagian dada sebelah kiri. Tepat di jantungnya. Karena pasalnya rasa nyeri serta sesak itu berasal dari sana.
Perasaan apakah ini?
***
Hari ini berbeda.
(Y/n) tidak lagi membuntuti anak lelaki yang belum ia ketahui namanya itu. Ia baru saja tersadar jika hal yang ia lakukan selama dua hari belakangan ini telah membuat dirinya sendiri menjadi penghambat bagi anak lelaki itu. Mengapa ia bisa telat menyadarinya?

KAMU SEDANG MEMBACA
END ━━ # . 'When Sakura Blooms in Spring ? Shinazugawa Sanemi
FanfictionSeason Series #4 - Shinazugawa Sanemi Berawal dari sebuah janji di musim semi. Kalimat yang terucapkan begitu saja dari mulutnya. Membuat kehidupan seorang gadis bernama (F/n) (Y/n) itu berubah drastis, seratus delapan puluh derajat. Ketika seorang...