Aku yakin ia bakal menolak jika aku meminta tolong untuk diantarkan sekarang. "Mas sebelumnya maaf dan terima kasih ya atas pertolongannya, saya tidak akan pernah akan melupakan kebaikan mas Jito". Ia tersenyum tipis dan mengangguk. "Tadi pak mantri sudah memeriksamu, katanya suruh istirahat". Duh apa-apaan pemuda yang sejak tadi malam tidak pernah memakai kaos ini. Aku jadi bingung sekarang, uang juga tinggal lima puluh ribu di dompet.
"Maaf mas tadi habis berapa biaya memanggil pak mantri, untuk sementara saya pinjam dulu ya besok saya tak kesini lagi kalo sudah gajian". Ada hal mengejutkan lagi setelah aku berbicara seperti itu pada mas Jito. Ia menyerahkan obat dan sebuah amplop coklat. "Aku tadi habis dari asrama dan mengaku sebagai saudaramu, namun bos mu yang biasa dipanggil gendut mengusirku saat menjelaskan keadaanmu". Ia mengelus pelan lenganku, ada tatapan iba dari sorot matanya. Aku sendiri masih bingung apa yang baru saja orang ini lakukan.
Ia menyerahkan hp nya setelah memanggil sebuah nomor asing ke tanganku. "Bicaralah sendiri dengannya biar kamu percaya". Setelah beberapa kali terdengar nada sambung, suara seorang lelaki terdengar dari seberang.
Aku benar-benar terpukul oleh keputusan sepihak ini, bos gendut memecat ku. "Maaf mas tapi bisakah mas Jito mengantarkan saya ke terminal setelah hujan reda". Ia tersenyum dan seperti tahu maksudku.
Tak menjawab apapun mas Jito bangkit dan membawakan tas ransel milikku. Lagi-lagi lelaki ini penuh kejutan. "Tinggalah hingga kamu benar-benar sehat". Beberapa kali ia menepuk pundak ini lalu meninggalkanku lagi.
Setelah duduk beberapa saat di kasur, aku menyusul si pemilik rumah yang sedang duduk di ruang tamu melihat acara televisi, aku baru tersadar ternyata wajah kita berdua ada kemiripan hanya saja alisnya yang sedikit tebal membuat ekspresinya seperti orang dingin. "Mas, tadi biaya berobat habis berapa ya?". Meski sedikit pusing tapi badan sudah lumayan enteng sehingga aku sudah bisa duduk berhadapan dengannya. "Gratis, kamu tenang aja pak mantri gak memungut biaya". Sejujurnya aku tidak percaya namun mau gimana lagi, daripada ia risih jika aku memaksa. "Sekali lagi terima kasih mas". Ia melihatku dengan seksama padahal aku sudah berusaha tersenyum. Tatapan juga tajam tapi aku merasa orang ini baik. "Gimana badanmu". Aku melihat memar di tubuh ini, rasanya masih nyeri cuma tidak mengganggu, hanya saja pusing masih sesekali datang. "Sudah sembuh mas akibat pingsan tadi". Aku tertawa lirih karena mengarang cerita.
"Usiamu berapa". Tanpa rambu atau apa, mas Jito tiba-tiba bertanya usia. Aku menghela nafas sebentar. "21 tahun mas". Ia mengangguk mendengar jawaban singkatku.
"Kalo mas Jito umur berapa?". Tatapan itu tak pernah ia lepas ketika berbicara denganku, "23" Dingin sekali jawabannya. Namun aku jadi tahu bahwa kita hanya terpaut dua tahun.
"Mas, kamu kerja di tempat kemarin?". Aku mengingat ia mengambil motor dan seperti berpamitan dengan satpam berwajah seram semalam. Mas Jito pun mengangguk sebagai jawaban. "Kamu berasal dari mana memang?". Pertanyaannya mengingatkanku pada desaku dimana ibu, Johan dan Jihan sedang menunggu kiriman uang dariku. "Desa Bukit mas" Ia mengernyitkan dahi karena tempat tinggalku daerah tertinggal dan begitu jauh dari rumah mas Jito
"Kamu sudah punya kerjaan di desamu". Pertanyaan lelaki ini mengingatkanku pada kenyataan bahwa Jarod Seto saat ini tidak punya kerjaan sekarang. Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.
"Carilah kerja di kota, sementara kamu bisa tinggal disini". Aku terkejut dengan apa yang ia sampaikan, bahkan kita baru semalam kenal. "Tapi apa tidak merepotkan jika Jarod disini?". Aku tahu bahwa mas Jito hidup sendiri karena semalam ia cerita. "Santai aja, itung-itung buat menemaniku". Ucapan orang ini benar-benar tenang dan aku bisa merasakan bahwa ia tidak sekedar basa-basi. "Terima kasih mas". Sedari tadi menatap tajam kali ini ia tersenyum.
Mendengar tawaran mas Jito aku jadi bingung, pulang ke desa juga harus cari kerja lagi, sedangkan jika tinggal disini aku tidak enak. Kalau pulang, uang tadi juga tidak cukup jika besok harus kerja di luar kota lagi. "Sebelum disini dulu pernah kerja apa?". Aku sedikit berteriak saat mendengar suara mas Jito. Ia pun tertawa pelan melihatku terkejut. "Dulu pernah kerja buruh bangunan mas". Ia menggelengkan kepala bukan karena jawabanku tapi pasti ada yang lucu dari ekspresi kaget ku. "Tapi sayang proyek yang pembangunannya berhenti, jadi buat menyambung hidup aku menerima tawaran temanku untuk berjualan bubur". Meski masih tertawa lirih sesekali namun ia mendengarkan penjelasanku. "Asal kamu yakin besok bakalan dapet kerjaan baru". Ia menyodorkan rokok kretek miliknya saat ingin menyalakan. Aku mengingat sepertinya aku memiliki rokok di tas. "Makasih mas, aku masih punya". Segera ku angkat badanku yang masih sedikit pusing lalu mengambil rokok di ransel yang sudah dibawakan pemuda berkulit lebih terang dariku ini.
"Hari ini mas Jito gak kerja?". Ia menggelengkan kepala. Jika dilihat mas Jito memiliki potongan rambut yang hampir sama denganku, cuma bagian atasnya lebih rapi, apa memang model rambut di tukang cukur seperti ini semua, tipis bagian samping hingga belakang. "Setiap senin aku libur". Asap yang keluar dari mulutnya terlihat nikmat. Akupun segera menyalakan rokok ku untuk menemaninya berbincang siang ini.
-
Mas Jito ternyata orang yang taat pada peraturan, setelah menawariku untuk tinggal ia segera meminta identitasku dan melapor pada ketua RT.
Aku diajak dan dikenalkan pada pak RT dan istrinya. Mas Jito di sini dikenal sebagai perjaka yang baik budinya meski tak banyak memiliki kerabat dekat. Aku menarik kesimpulan setelah beberapa kali bertemu warga magrib ini, mereka semua hanya menyapa pada lelaki tegap ini.
Menyusuri sawah gelap dan jalanan basah, menggunakan satu payung untuk berdua, kami segera kembali setelah dari rumah pak RT. Namun aku sedikit heran saat seorang wanita mencegat mas Jito di area persawahan yang sepi.
"Jito dari mana, kok hujan-hujanan". wanita dengan dandanan menor dan baju seksi menghampiri mas Jito dan memijat lengan kokoh miliknya. Jika aku tebak wanita ini menyukai mas Jito namun bertepuk sebelah tangan.
Beberapa kali mas Jito melirik ke arahku, wajahnya bingung dan memerah sehingga terlihat sangat aneh. Lagipula wanita di depan kami benar-benar kegatelan.
Melihat semua ini aku juga jadi bingung harus ngomong apa.Kita berdua sore ini bagai dua orang lelaki yang sedang dihadang dan akan diperkosa oleh seorang wanita.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pemuda Hujan
RomancePertemuan Pertama re-POV dan re-Upload cerita fiktif belaka, kesamaan nama dan tokoh hanya kebetulan
Pemuda Hujan 2
Mulai dari awal